But, I Am The King.....

Penulis ngopi di sela perjalanan panjang di Georgia, USA

COWASJP.COM – ockquote>

O L E H:  BAMBANG INDRA KUSUMAWANTO

---------------------------------------------------------------

SEPAK bola Indonesia masih di ujung tanduk. Wacana menyatu kembali ke badan dunia olahraga terpopuler itu, FIFA, masih menjadi isapan jempol belaka.

FIFA sudah berkunjung ke Indonesia. Bahkan, sudah bertemu dengan Presiden Jokowi. Pemerintah, melalui Kemenpora sudah menindaklanjuti, dengan membentuk tim kecil. Sedangkan dengan PSSI –yang dibekukan—membentuk tim ad hock.

FIFA semdiri masih berbenah menjelang sidang 26 Februari nanti. Kita masih berdebar, hasil sidang apakah dapat menghasilkan muara yang lebih sehat pasca kasus suap yang mendera kepengurusan sebelumnya.

Kita sedang di-banned. Sudah hampir setahun tanpa terasa. Selama itu pula sepak bola Indonesia melakukan pembenahan, pasca pembekuan. Banyaknya turnamen adalah upaya pemerintah dalam mengisi kekosongan, dan menggairahkan semangat bersepak bola pada saat menjalani sanksi FIFA.

Tetapi, tentu bukan hanya turnamen. Memutar kembali kompetisi –apapun bentuknya—akan menjadi parameter bagi FIFA dalam evaluasi kelak.

Pembekuan

Tercatat, hanya di era Menpora Imam Nahrawi, carut marut sepak bola ditata setelah memasuki usia 85 tahun. Pembekuan diharapkan dapat melahirkan organisasi olahraga yang profesional dan tertib. 

Dibentuknya tim 9 dan tim transisi ketika itu, adalah mekanisme nyata dalam upaya mewujudkan sepak bola yang sehat berbasis prestasi. Menjauhkan kepentingan yang melenceng, berazas pada profesionalisme dan menegakkan kembali visi kebangsaan.

Langkah ini sejalan dengan semangat kebangsaan itulah yang ditekankan Ir Soeratin Sosrosugondo, ketua umum PSSI, pada pendirian PSSI di Jogjakarta 1930. PSSI ketika itu menjadi cikal bakal tonggak kebangkitan olahraga nasional.

Semangat atau filosofi satu, yakni kebangsaan. Nasionalisme, adalah berada di atas segalanya, termasuk sportivitas itu sendiri.

Saat itu, nasionalisme menjadi terdepan karena keinginan yang kuat lepas dari aturan penjajah Belanda. Dan, sepak bola melalui PSSI, menjadi pelopor organisasi pertama olahraga Indonesia yang berani bersikap. 

Setelah PSSI berdiri, menyusul organisasi lain, seperti Pelti (1935) di Semarang, ISI di Jakarta, Persatuan Bola Keranjang Seluruh Indonesia 1940 dan seterusnya. Hingga, akhirnya Indonesia menggelar Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama di Solo, 8 -12 September 1948.
Begitu besarnya semangat kebangsaan ketika itu. Semangat yang menjadi garda terdepan dalam mewujudkan persatuan. 

Sepak bola menjadi bagian dalam proses terwujudnya persatuan. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, sepak bola merupakan national pride dan dapat menyatukan sebuah bangsa. Terdapat satu kasus pada tahun 2006 yaitu perang sipil di Pantai Gading, Afrika. Tetapi pada saat Pantai Gading bermain di Piala Dunia, kedua pihak yang berkonflik setuju untuk ’’bersatu’’ guna mendukung usaha dari tim sepak bolanya di Piala Dunia tadi. 

Tanpa membandingkan dengan situasi dan kondisi sepak bola sebelum pembekuan, kasus di Italia bisa menjadi rujukan.

(Sudah bukan rahasia, sepak bola memang selalu melahirkan oligarki baru. Bahkan, penulis buku Franklin Foer, pernah menyajikan bagaimana sepak bola sesungguhnya dapat menjelaskan zaman yang terjadi di jagat ini).

Pada 1990, reputasi Juventus seperti tidak ada yang akan menandingi. Namun kemudian mendapat rival sepadan ketika Silvio Berlusconi ikut campur menangani AC Milan, klub utama Italia itu.

Berlusconi bukan hanya membawa para pemain AC Milan ke lapangan dengan helikopter. Tetapi, ia juga melakukan manuver-manuver sebagai politisi. Menurut kesaksikan seorang rekan, Mario Sconcerti, wartawan Corriere delo Sport, saat itu pers disetir sebab Berlusconi juga dikenal sebagai raja televisi di Italia.

Kekuasaan ketika itu memang mendekat pada sosok Berlusconi. Dari raja media 1986-an, ia kemudian terjun ke politik 1994, mencalonkan diri menjadi perdana menteri. Ia benar-benar menggunakan media sepakbola (olahraga) sebagai kendaraan memuluskan langkah meraih kekuasaan.

Salah satu strategi yang terkenal, adalah dia menggunakan Publiitalia, agensi iklan miliknya, menerbitkan slogan-slogan dalam electoral strategy-nya. Di Indonesia pun, slogan itu menjadi terkenal, seperti Forza Italia (Go Italia), dan julukan atas tim nasional Italia, the Azzuri.

Faksi Berlusconi cukup kuat. Ia bahkan berhasil menempatkan wakilnya di AC Milan, Adriano Galliani, menjadi ketua Liga Italia –dengan portofolio antara lain negosiasi dengan hak siaran televisi.

Conflict of interest ini pula lah, yang lama-kelamaan mengikis Berlusconi. Korupsi yang menggurita pada saat berkuasa, akhirnya menggulung dirinya. Terlalu pongah, mengesampingkan filosofi kebangsaan, dan ambisi kekuasaan berlebih.

Ia dicatat pula oleh Italia banyak memanipulasi publik melalui operasi pers memihak AC Milan, hingga membuat sepak bola Italia terpuruk. Italia baru merebut Piala Dunia lagi 2006, langkah yang terlalu panjang sejak ukiran prestasi sebelumnya di tahun 1982.

Kompetisi

Kita tentu tak berharap, oligarki seperti yang menimpa Italia itu muncul di Bumi Pertiwi. Sebab, sejarah pendirian PSSI dengan semangat kebangsaannya menjadi azas utama.

Sebagaimana disampaikan Franklin Foer, yang juga editor di The New Republic dan New York Times itu, sepak bola bisa menggambarkan dunia. Artinya, jangan sampai ’’dunia kita’’ tergambarkan buruk karena carut marut sepak bola yang tak terselesaikan.

Karenanya, segera gelar kompetisi. Kompetisi yang sehat seyogjanya melibatkan seluruh provinsi di Indonesia. Kompetisi paling pas adalah U-17, sekaligus menopang pembibitan pemain.

Anggap saja ada 33 provinsi, kemudian dibagi 11 zona dengan masing-masing tiga provinsi di dalamnya. Seluruh provinsi mengirimkan 6 tim.

Dengan 18 tim masing-masing zona, tentu akan banyak stok pemain jika diperlukan untuk klub profesional atau pun tim nasional, kelak. Zona ditentukan dengan mempertimbangkan aspek geografis.

Dengan 38 kali pertandingan yang digelar setiap pekan, maka gaung persepak bolaan kita akan menggelegar lagi. Apalagi didukung dengan kemudahan komunikasi di era digital sekarang, sehinga publikasi dapat dilakukan lebih efektif.

Dari mana anggarannya? Pemerintah dapat mengeluarkan aturan bahwa mereka dapat didanai dari APBD masing-masing daerah. Bentuknya bisa langsung, atau pun tidak langsung –misalnya bantuan transportasi. Atau, mengerahkan BUMD seperti bank daerah.

Sedangkan operator diserahkan pula ke daerah, dengan koordinasi atau kesekretariatan dilakukan oleh pemerintah pusat (dalam hal ini Kemenpora).

Kompetisi adalah parameter FIFA. Kemenpora harus all out mewujudkan ini, sebelum banned FIFA dicabut. Hanya dengan adanya kompetisi maka sanksi bisa dicabut, mengingat peringkat kita di FIFA terus melorot mendekati 200.

Di dalam negeri, walau Menpora adalah sebuah jabatan politik, namun kebijakan pembekuan sesungguhnya diambil berdasarkan pada hasrat murni untuk melakukan reformasi dan membangkitkan kembali sepak bola Indonesia. Dan, hasilnya dapat kita nikmati mendatang.

Pembentukan tim kecil-tim ad hock adalah diplomasi murahan yang dihelat oleh rezim korup FIFA. Keduanya, selain belum/sulit ada titik temu, sudah afkir karena tidak adanya kompetisi.

Sanksi pembekuan harus tetap dipertahankan, namun segera putar kompetisi. Jangan goyah sedikit pun tentang adanya upaya atau desakan pencabutan pembekuan. 

Seperti kata Pangeran Faisal saat mendapat desakan dari Letkol Thomas Edward Lawrence pada masa revolusi Arab (perang dunia I 1914-1918). Tokoh yang tenar sebagai Lawrence of Arabia ini, hanya mampu nyengir ketika Pangeran Faisal menolak nasihatnya, ‘’Yes Mr Lawrence of Arabia, but you are colonel….and I am the King.’’ ‘’Anda si Polan Sir...tapi saya pemerintah Republik Indonesia.’’ 
Tentu saja, tetap dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. ***

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda