Sistem Pencalegan Harus Kembali Tertutup

Penulis (kiri) juga yang jago nyanyi itu saat berduet dengan sahabatnya. (Foto: CoWasJP.Com)

COWASJP.COM – ockquote>

C a T a T a N: Djoko Edhi Abdurrahman SH

--------------------------------------------------------------

MENGAPA begitu? Pertama, sistem terbuka sangat liberal. Kedua, ia telah mengubah demokrasi partisipatif menjadi demokrasi transaksional. Ketiga, parpol tidak diberikan kesempatan utk menjamin caleg yg terpilih adalah berkualitas karena caleg yg dihasilkan adalah hasil transaksional.
 
Padahal fungsi parpol adalah menyediakan pemimpin berkualitas, bukan caleg tajir tapi tak berkualitas. Keempat, menghilangkan sistem kader dan manajemen kader pada parpol. 

Akibat demokrasi transaksional, sistem kader lenyap, berubah dengan perlombaan jual beli di mana pembeli yg lebih besar modalnya yg terpilih oleh sistem itu sendiri. Hilangnya manajemen kader, telah membuat harkat martabat parpol menjadi hina, karena segalanya dihitung secara hedonisme dan borjuasi, menyingkirkan manusia idealis dan idealisme dari parpol. 

Akibat lanjut hilangnya trust dari rakyat sebagaimana hari ini. Hilangnya trust publik mendorong caleg mens rhea (niat jahat), mengubah paradigma korupsi menjadi cara membiayai parpol.

Kelima, kader parpol menjadi kehilangan asa. Toh, pada akhir perjuangan, yg menang adalah pemilik modal terbesar. Lalu utk apa kader mengurusi parpol yg harus rapat tiap pekan tanpa dibayar selama 5 tahun jika pada akhirnya yang jadi adalah orang yang baru dua bulan masuk dan jadi hanya karena ia mampu membayar lebih? 

Kata sang kader, "Kita telah membakar dan mengipasi sate selama 5 tahun, tapi yang makan satenya tamu yg mampir dua bulan". Kita semua sudah tergadai, hanya karena kita tak punya uang. Jadi sistem caleg terbuka itu, telah melindas kemanusiaan dam perasaan manusia ber-Tuhan, menindas keadilan dan rasa adil. Sistem itu menjadi lucifer yg menegaskan eksistensi Ilahiah, melenyapkan sila 1, 2, dan 3 pancasila.

System hedonisme iluminati itu, harus dikembalikan ke semula, ke sistem kader, ke supremasi ketua umum. Dalam system closed, setidaknya publik punya calon dan alamat tertuduh jika kadernya bermasalah di ranah publik. Yaitu supremasi ketua umum parpol.

Keenam, sistem liberal kini membuat persaingan menjadi laiszes fairy, unlimited, dan unpredictable.

Berapa biaya yg harus disiapkan seorang caleg, tak dapat diprediksi karena rivalitas sepenuhnya menggunakan sistem pasar dalam model komoditas kartel. Akibatnya, hanya yang terkuat modalnya, dan ternekad kiat kejahatannya yg menang. Penguasa kartel suara ini, belakangan adalah tokoh-tokoh preman kampung sedang modalnya dari tokoh-tokoh kaum modal setempat. Itu bukan demokrasi, itu pesta kriminal kartel suara dan modal lucifer. Itu wajib dihentikan. Polisi tak mempan di situ, apalagi cuma KPU yabg cuma berorientasi pada tabulasi, sementara tabulasinya hasil dari kartel.

Hasil dari kartel aktif yg ganas. System kartel aktif ganas ini yg secara hukum dimaksud dalam pasal "systematik dan massif" dalam pemilu, pilkada, dan pilpres. Sekalipun disadari eksistensi kartel ini, tak ada upaya hukum utk menghentikannya, sehingga hukum menjadi penganut paham distributif, yang mengabaikan penjeraan dalam mazhab utilitarian. Itu paham ortodox. Tapi toh terus dipakai dengan bangga padahal sudah primitif. Jadi, tak relevan lagi keluhan tentang neolib karena nyatanya kita bangga dan terus mendorongnya ke tingkat massif, terstruktur dan sistematik. 

Kita adalah bangsa yg paradoks.**

Baca Berita-Berita Lainnya. Klik Di Sini

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda