COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Roso Daras
------------------------------
BUMI Nusantara kembali diguncang berita gempa hebat. Gempa berkekuatan 8,3 Skala Richter (SR) mengguncang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Gempa yang mengguncang barat daya Kepulauan Mentawai tersebut berpotensi tsunami.
Menurut rilis dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) gempa tersebut terjadi pada Rabu 2 Maret 2016, pukul 19.49.41 WIB. Pusat gempa, dijelaskan BMKG berada di 682 kilometer Barat Daya Kepulauan Mentawai dengan kedalaman 10 Kilometer. Lokasi gempa tersebut terletak di 5,16 Lintang Selatan dan 94,05 Bujur Timur.
Tentang kekuatan gempa ada yang memberitakan 7,8 Skala Richter (SR). Seperti yang diberitakan Kompas.com. Dan sebesar itu pula ukuran guncangan gempa dari informasi update dari BMKG. Dan ternyata Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) meminta masyarakat untuk kembali ke rumah masing-masing. "Masyarakat dapat kembali ke rumah masing-masing dengan tenang. Tidak perlu takut dan kondisi aman," kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo, Rabu malam. Tidak terjadi tsunami.
****
Begitulah sekilas balik peristiwa yang membuat Kepulauan Mentawai jadi topik berita nasional. Namun, bagaimanakan potret Kepulauan Mentawai?
Ini adalah sepenggal catatan yang tercecer dari sebuah perjalanan ke Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, beberapa waktu lalu. Kota Kabupaten berbentuk gugusan kepulauan di Sumatera Barat itu, secara lebay saya katakan sebagai “surga tertutup kabut”.
Betapa tidak. Mentawai menawarkan semua jenis keindahan alam. Kekayaan ombak besar yang bergulung-gulung bisa dipastikan menjadi lokasi surfing terbaik di negeri ini. Almarhum aktor Paul Walker (Fast and Furious) termasuk salah seorang asing yang “memiliki” private resort di sana.
Ratusan pulau – besar dan kecil— yang menawarkan pantai-pantai indah, spontan melupakan memori saya tentang pantai mana pun yang pernah saya kunjungi.
Penulis Roso Daras (kiri) dan Konco Lawas Djono W. Oesman. (Foto: CoWasJP.Com)
Bagaimana kita bisa menjangkau Kepulauan Mentawai? Jika kebanyakan lokasi wisata menawarkan “cara mudah” dan “cara susah”, sejatinya menuju Mentawai hanya ada satu cara: cara mudah. Dari Pelabuhan Bungus, Padang, kapal-kapal ro-ro siap mengantar wisatawan ke Kepulauan Mentawai dengan waktu tempuh delapan jam.
Jika ingin lebih cepat, tersedia pula kapal cepat yang bisa memangkas waktu separuhnya. Wisatawan juga bisa mengakses Mentawai lewat udara. Dari Bandara Internasional Minangkabau di Padang, ada penerbangan langsung ke Bandara Rokot, Sipora. Hanya saja, jalur penerbangan perintis yang dilayani Susi Air itu, baru tersedia satu penerbangan dalam seminggu.
Sesampai di Kepulauan Mentawai, baik di Pagai Utara, Pagai Selatan, Sipora, maupun Siberut, terdapat banyak kapal carteran yang bisa digunakan untuk mengunjungi pulau-pulau di luar empat pulau utama. Jarak yang relatif dekat antarpulau, menjadikan Kepulauan Mentawai seolah tampak berada dekat di ujung mata.
Kabupaten yang baru saja diguncang gempa dahsyat itu, beribukota di Tuapejat, Pulau Sipora. Di pulau ini, tersedia banyak guest house. Sekadar informasi, panjang jalan di keseluruhan pulau ini hanya belasan kilometer. Selebihnya, adalah jalanan tanah yang di beberapa bagian terputus akibat lintasan sungai. Masyarakat Sipora, lebih senang berlalu-lalang menyusur bibir pantai dengan boat.
BUNUH DIRI MASSAL
Jarak pelabuhan Sipora ke pusat kota Tuapejat sekitar 6 kilometer. Menyusuri jalan menanjak, akan kita jumpai billboard atau baliho milik Pemda yang sangat mencenangkan... yakni imbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan “bunuh diri masal”. Demi melihat billboard “aneh” itu, saya tepuk pundak abang ojek agar berhenti sejenak. Setelah ambil foto, perjalanan menuju pusat kota Tuapejat dilanjutkan.
Objek itulah yang kemudian saya jadikan bahan obrolan sepanjang perjalanan dengan Oscar, si tukang ojek pelabuhan. Darinya (kemudian saya konfirmasi melalui berita internet) saya baru ngeh, bahwa masyarakat Mentawai memiliki tradisi berburu penyu pada bulan-bulan tertentu.
Foto: Roso Daras/CoWasJP.Com
Penyu tangkapan penduduk, kemudian dijadikan menu santap bersama. Sebagian daging penyu, dijual bersama telur-telurnya. Nah, inilah awal petaka “bunuh diri masal” tadi. Tidak semua warga Mentawai mengetahui, bahwa ada sedikitnya dua jenis penyu dari sekitar delapan jenis yang mengandung racun, dan tidak boleh dikonsumsi. Kedua penyu beracun itu adalah Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata).
Kejadian “bunuh diri masal” ternyata bukan kejadian baru di Kepulauan Mentawai. Sejak tahun 2005 hingga saat ini, puluhan penduduk tewas, ratusan lainnya keracunan dan selamat setelah mendapat perawatan medis. Yang mengherankan, kasus-kasus “bunuh diri masal” itu masih saja terjadi hingga sekarang.
Imbauan “Stop Bunuh Diri Masal” melalui billboard.... Sosialisasi dari dinas terkait serta oleh perangkat desa.... Bahkan imbauan aktivis lingkungan agar menghentikan tradisi berburu penyu (mengingat populasi yang terus merosot)..., dicuekin.
Sudahlah... masih teramat banyak sudut lain di Kepulauan Mentawai yang menarik untuk dipotret. Dari yang eksotik sampai dramatik. Semua tiinggal diketik. Tunggu barang sedetik. ***
Baca dan Simak Berita-berita lainnya. Klik Di SINI