COWASJP.COM – DI salah satu ruangan di rumah kediaman Cikeas, Susilo Bambang Yudhoyono, merancang Partai Demokrat. Ia bersama istrinya, Ani Yudhoyono, juga mendesain bendera partai berwarna biru dengan bintang mercy di tengahnya. Tak hanya itu. Rapat-rapat persiapan pendirian partai yang pernah menjadi pemenang pemilu itu digelar. Ya, Di ruangan yang luasnya hanya sekitar 20 meter persegi.
Baca Terkait Sebelumnya: Mega, Sosok Personifikasi PDI Perjuangan
Ruangan itu memang bukan ruang biasa. Itulah ruang perpustakaan yang sekaligus menjadi ruang kerja SBY. ''Di sini ini kami merancang kelahiran Partai Demokrat. Saya, Bu Ani dan sejumlah teman terkadang berdiskusi sampai pagi. Mulai menyusun AD/ART, platform partai, sampai mendesain bendera,'' katanya suatu saat.
Ruang itu tidak terlalu mewah. Nuansa perabotnya coklat. Sekeliling tembok ada rak berisi buku koleksi SBY. Jumlahnya ribuan. SBY memang dikenal sebagai jenderal intelektual yang maniak membaca buku. Ia menjadi salah satu konseptor reformasi ABRI (sebelum kini bernama TNI).
Ibu Ani dan Pak SBY, (Foto wordpress)
Ada satu meja panjang yang sekaligus berfungsi sebagai meja rapat. Tidak ada meja kerja khusus di situ. SBY bekerja di ujung meja tempat ia memimpin rapat-rapat khusus. Di depannya selalu tersedia ipad untuk menulis. Terkadang, Bu Ani ikut mendampingi.
Saya pernah berada di ruangan itu saat diundang Andi Alfian Malarangeng untuk wawancara khusus. Itu terjadi di awal periode kedua pemerintahan SBY. Saat itu, Antok --panggilan akrab Andi Malarangeng-- memang salah satu kepercayaan presiden dengan jabatan Menteri Pemuda dan Olah Raga.
Di tempat itu pula, SBY mengisahkan sejarah berdirinya Partai Demokrat. Termasuk suka dan dukanya. Mulai dari tidak banyak yang melirik. Sampai partai itu menjadi rebutan banyak orang karena besarnya. ''Hanya sedikit teman yang bersedia diajak bersusah payah mendirikan partai baru,'' katanya.
SBY menuturkan, saat awal dia menyampaikan gagasan mendirikan partai, tidak banyak orang yang yakin bisa, Tidak jarang yang mencibirnya. Demikian pula sejumlah kawannya sesama jenderal di lingkungan TNI. Apalagi kalangan luar. Keyakinan yang kuat membuat ia tak surut melangkah.
Kisah runtut tentang pendirian dan perjuangan membesarkan Partai Demokrat itu berlangsung beberapa saat setelah Kongres di Bandung. Dalam Kongres tersebut, Anas Urbaningrum terpilih menjadi Ketua Umum. Mantan Ketua Umum PB HMI itu juga mulai menggalang kekuatan, mempersiapkan diri menjadi pemimpin negeri ini di masa mendatang.
Di Kongres itu, SBY memang tidak menginginkan Anas memimpin Partai Demokrat. Ia lebih condong menyiapkan Andi Malarangeng sebagai orang pertama di partai tersebut. Namun, dalam pertarungan di arena Kongres, Andi Malarangeng kalah. Padahal, Andi-lah yang sejak awal mendampingi SBY sebagai partner berdiskusi sebelum menjadi presiden periode pertama.
Sby dan isteri dalam salah satu acara kampanye. (Foto istimewa)
Dalam pertemuan berikutnya di istana Bogor, SBY juga kembali mengisahkan detil tentang sejarah berdirinya Partai Demokrat. Bagaimana suka duka dia dalam mendirikan partai tersebut? Juga betapa penuh perjuangan yang keras untuk membesarkannya. Tidak lupa, ia beberapa kali menyinggung peran Bu Ani dalam proses kelahiran dan perjalanan partai itu.
Berbeda dengan Megawati yang lahir di Jakarta dan besar di lingkungan istana, SBY lahir di Pacitan Jawa Timur, Inilah kota kecil yang tidak terlalu jauh dengan Solo dan Jogja. Dua kota yang menjadi sumber dan pusat kebudayaan Jawa. Karena itu, nilai-nilai Jawa sangat kental dalam dirinya. Perilaku politiknya juga tampak demikian, Tata nilai Jawa sarat dengan simbol. Demikian juga dalam pemikiran politiknya.
Setiap ia mengisahkan proses kelahiran Partai Demokrat, saya menangkap makna bahwa ia ingin sekali menekankan kepada publik bahwa partai ini ada karena hasil jerih payahnya. Ia lahir dari pemikirannya. Ia besar karena kerja kerasnya. Dan ia ada karena dirinya. Bukan karena orang lain. Juga bukan karena ideologi partai yang dipilih.
Saat dia memulai berjuang membesarkan partai, saya hanya sekali berjumpa SBY dalam momen khusus. Saat itu, Heru Lelono, salah satu tokoh kelompok nasionalis yang dekat dengan SBY, sebagai mak comblangnya. Itu terjadi ketika baru saja SBY memilih mundur dari Kabinet Megawati. Juga menjelang ia memulai safari kampanye untuk Partai Demokrat yang belum lama ia dirikan.
Pertemuan khusus dengan SBY terjadi di Bandara Soekarno-Hatta sebelum ia berangkat kampanye di Banyuwangi Jawa Timur. Mengapa dia memulai kampanye kali pertama Partai Demokrat dari Banyuwangi? Saya lupa menanyakan. Yang pasti, SBY merupakan seorang politisi yang penuh dengan perhitungan dalam setiap melangkah.
Ia menggunakan berbagai pendekatan untuk mengambil keputusan. Semuanya terencanakan dengan baik. Juga dengan berbagai pendekatakan. Politik, sosial, budaya dan seterusnya. Bisa juga pertimbangan geografis, geoetnik, sosio-geografis, dan lain sebagainya. Tidak jarang menggunakan pertimbangan simbolik untuk setiap langkahnya.
Makanya personifikasi Partai Demokrat dengan SBY jauh lebih kental. Bisa dikatakan, Partai Demokrat adalah SBY. Tingkah laku politik partai tersebut sepenuhnya mencerminkan kepribadian SBY. Jalan tengah yang dipilih adalah cerminan sikap SBY yang selalu tidak mau bertentangan secara frontal dengan pihak lawan.
Gaya kepemimpinan SBY yang demikian bukan tidak menuai kritik. Ia sering dianggap tidak btegas, cepat dan lincah dalam mengambil keputusan. Lebih mementingkan menjaga citra diri ketimbang kepentingan yang lebih besar. Juga karena kepentingan tersebut, ia dianggap tega terhadap anak buahnya yang menjadi korban politik.
‘’Setiap keputusan memang harus dihitung dengan cermat. Dikalkulasi baik buruknya, juga dampak yang akan ditimbulkan dari keputusan tersebut. Ada saatnya, keputusan diambil dengan cepat. Ada saatnya melalui pertimbangan panjang dan matang,’’ kata SBY.
Gaya itu juga tercermin dalam pengambilan keputusan politik di partainya. Katidakcekatan manuver politik partai tersebut merupakan manifestasi sikap kehati-hatian SBY dalam setiap mengambil langkah dan kebijakan.
Ia selalu berusaha mencitrakan partainya sebagai partai yang berperilaku politik cerdas dan santun. Itulah yang selalu alam bawah sadar yang selalu ia bangun. Pokoknya hati dan buah pikirannya adalah perilaku partai yang dibayangkan.
Tidak heran jika kebesaran partai itu sangat tergantung pada karir politiknya. Partai ini hanya memperoleh 7 persen suara dalam pemilu 2004. Jumlah itulah yang kemudian menjadi modal dasar dia maju menjadi presiden. Perolehan suara partai itu meroket menjadi hampir 21 persen dalam pemilu 2009, saat SBY menjabat sebagai Presiden RI periode pertama. Posisi SBY sebagai presiden membuat PD jadi percaya diri (Pede).
Sby dalam salah satu acara kampanye pada tahun 2014. (Foto:beritasatu)
Sayang, posisinya sebagai pemenang pemilu 2009 itu tidak bisa dipertahankan dalam pemilu 2014. Dalam pesta demokrasi di ujung pemerintahan SBY, Partai Demokrat hanya mendapatkan 10 persen. Dari yang semula sebagai pemenang pemilu sebelumnya, jadi melorot di nomor urut keempat setelah PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Gerindra.
Jebloknya partai besutan SBY ini tak murni karena berakhir pemerintahannya. Gelombang kasus korupsi yang mendera sejumlah kader utamanya saya rasa ikut ambil bagian. Sejumlah kader utama partai tersebut justru menjadi bidikan KPK di pemerintahan kedua SBY. Bahkan, menyeret Ketum PD Anas Urbaningrum dan sejumlah orang dekatnya.
Kasus korupsi yang melibatkan Bendahara Umum Nazarudin dan anggota Fraksi Partai Demokrat Angelina Sondah menjadi semacam drama panjang kemerosotan partai itu. SBY sebagai presiden dan sosok sentral partai seakan tidak berdaya menghadapi gelombang kasus tersebut. Bisa dibayangkan betapa sakit hatinya menyaksikan partai yang dilahirkan dan dibesarkan dirusak oleh para kadernya sendiri.
Bisakah partai ini bangkit kembali setelah tidak menjadi bagian dari pemerintah? Jawabannya kembali kepada SBY. Mampukah ia melakukan konsolidasi partai pada saat dia tidak memegang kendali pemerintahan? Dapatkah dia melakukan ideologisasi pemikirannya menjadi perekat dan spirit baru partai? Mungkinkan dia menciptakan sosok ikonik di Partai Demokrat seperti saat membesarkan partai tersebut.
Yang pasti, identifikasi partai dengan pemerintahan yang sukses seperti saat dia menjadi presiden bisa mendongkrak partai penguasa. Karena itu, jika identifikasi PDI Perjuangan dengan pemerintahan Jokowi ini berhasil, punya peluang partai pimpinan Megawati itu menang kembali.
Namun, bukan tidak mungkin partai berlambang kepala banteng moncong putih itu disalip partai lain.
Sebab, sejak Reformasi belum pernah ada partai menjadi pemenang berturut-turut. Jadi, meski SBY tidak lagi memegang kendalai kekuasaan, masih ada celah untuk partainya menjadi pemenang.
Jangan-jangan SBY sudah memikirkan itu semua. Mengalkulasi, menyiapkan dan menyusun langkah ke depan. Tinggal menunggu momentum kapan bergerak. Siapa tahu? *)
Penulis Arif Afandi (Foto: Dok/CoWasJP.com)
Baca dan Simak Berita Lainnya di CoWasJP.Com. Dan Klik di SINI