Cerita tentang Sapi dari Haji Sapi

Penulis (kanan) dengan Pak Mat Aji, peternak sapi dari Bandarjaya, di rumahnya, Bandarjaya, Lampung Tengah, Rabu (9/3)

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Agung Pamujo 

----------------------------------

PAK Mat Aji terhenyak.  ‘’Mau impor daging sapi lagi?’’ katanya,  dengan nada tanya, sore itu, saat ngobrol santai dengan penulis di pendapa rumahnya di Bandarjaya, Kabupaten Lampung Tengah. 

Tanpa banyak kata lagi, pria paruh baya ini lantas mempersilakan saya melihat bagian belakang rumahnya. Tempat deretan kandang sapi yang penuh dengan sapi-sapi lokal jenis peranakan ongole (PO), peranakan simenthal maupun limousine. 

Tidak kurang ada 800 sapi di kandang-kandang itu. Pak Mat Aji masih punya ratusan sapi lagi, yang dititipkan di penduduk-penduduk sekitar Bandarjaya. ’’Di Bandarjaya ini saja yang punya sapi ratusan ekor kayak saya banyak mas. Setidaknya, satu orang punya puluhan ekor,’’ katanya. 

Karena itu, dia paling tidak mengerti kalau ada kabar yang menyebutkan bahwa produksi sapi kurang. Stock sapi tidak cukup. 

Bahwa belum memenuhi kebutuhan secara keseluruhan iya. Namun, kalau itu lantas dijadikan alasan pemerintah untuk terus menambah dan menambah impor daging sapi, dia jadi heran. ’’Lha wong pasar lokal saja sekarang sepi,’’ katanya. 

Bukti bahwa pasar sepi adalah banyak sapi-sapi Mat Aji tidak juga ‘’keluar’ kandang. Sore itu, saya lihat sendiri banyak sapi besar-besar, dengan bobot perkiraan lebih dari satu ton. Sapi-sapi itu ditahan tidak dijual, ya karena pasar sapi sedang sepi. 

Kalau pun ada permintaan, harganya relatif murah. Dan, menurut Mat Aji, di Bandarjaya saja ada ribuan ekor sapi milik peternak lokal yang tetap di kandang. Menunggu pasar. 

***

Populasi sapi di Lampung memang relatif besar. Provinsi paling selatan dari Sumatera ini adalah sentra sapi potong Indonesia di samping Jawa Barat, Jawa Timur dan NTT.  Beda dengan NTT yang sapi nya nyaris semua lokal –jenis  sapi Kupang (sejenis sapi Bali tapi warna lebih gelap, mendekati hitam) dan  Sumba Ongole yang diternakkan dengan model dilepas di padang rumput--, di Lampung, selain peternak lokal juga banyak perusahaan besar sapi potong yang melakukan penggemukan sapi dengan metode feedlot (karena itu perusahaannya biasa disebut feedloter). 

PT Great Giant Livestock Co (GGLC), salah satu feedlot besar di Lampung bisa memelihara sampai 30 ribu ekor sapi potong dalam satu masa. Perusahaan lainnya –ada belasan feedloters di Lampung—berkisar antara 2.500  sampai belasan ribu. Antara lain Suntori (sekitar 10 ribu ekor), Juang Jaya (20 ribu), Elders Indonesia (8 ribu),  Andini (4 ribu) dan Indo Prima Beef (2.500). 

Diperkirakan populasi sapi potong di provinsi yang juga dikenal dengan atraksi sepakbola gajah-nya ini tidak kurang dari 400 ribu ekor. Jika dikonversi menjadi daging, bisa menghasilkan sekitar 150 ribu ton daging. Sekitar 25 persen dari kebutuhan daging nasional yang mencapai 675 ribu ton daging sapi per tahun. 

titip-sapiIBuNz.jpg

Sapi-sapi di kandang milik Pak Mat Aji di Bandarjaya, Lampung Tengah. (Foto: Agung Pamujo/CoWasjp.com)

Bahkan, populasi ternak sapi potong di Lampung juga masih sangat potensial ditingkatkan. PT KASA contohnya. Feedloter yang relatif baru di Lampung ini sekarang memelihara sekitar 3.000 ekor sapi di lahan seluas 15 hektar milik mereka di Simpang Rengas, Lampung Tengah. Mereka siap memperluas kandangnya hingga empat kali lipat, dengan kapasitas 10 ribu ekor sapi potong.  

’’Masih sangat potensial mengembangkan usaha sapi potong di Lampung. Daya dukungnya masih cukup besar,’’ kata Gunawan, salah satu pimpinan PT KASA. 

Lampung potensial menjadi sentra sapi potong karena berbagai kelebihan. Mulai dari keberadaan lahan yang masih luas, ketersediaan pakan (limbah industri kelapa sawit dan singkong yang banyak di Lampung), hingga lokasi strategis yang relatif dekat dengan Jabodetabek. Seperti diketahui 60 persen konsumsi daging nasional ada di Jabodetabek. 

Itulah alasan mengapa banyak feedlot di Lampung. Itu juga alasannya, mengapa banyak warga setempat  beternak sapi potong pula. Salah satunya, ya Pak Mat Aji. 

*** 

Pak Mat Aji boleh dikata salah satu peternak lokal yang berhasil di Lampung Tengah. Khususnya, untuk ternak sapi potong. Karena itu pula agaknya, dia pun lebih dikenal dengan sapaan Haji Sapi. 
Nama yang cocok. Bukan semata karena dia lah bisa dikata peternak sapi lokal terbesar di Lampung saat ini. Lebih dari itu, lewat sapi pula lah, Mat Aji merengkuh keberhasilan. 

Dia dilahirkan dari keluarga transmigran asal Lamongan, Jawa Timur yang tiba di Lampung sekitar tahun 1960-an.  Lahir pada 1965, Mat Aji tanpa sungkan mengaku keluarganya hidup pas-pasan. Itu pula yang mendorong dia menghabisan masa remaja dengan membantu orang tua, menambah pendapatan keluarga. Mulai dari bekerja sebagai tenaga kasar, jualan rokok hingga jadi tukang ojek. 

Saat jadi tukang ojek itulah, keinginan ‘’bermain’’ sapi muncul. Sebagai tukang ojek, salah satu pelanggan Mat Aji muda adalah seorang pedagang sapi. Mat Aji sering antarjemput si pedagang tadi, dan memperhatikan betapa enak hidup jadi pedagang sapi. 

Dari sering mengantarjemput si pedagang sapi itu ke pasar sapi, Mat Aji kenal dengan beberapa pedagang lain. Dari saling kenal itu, dia lantas mendapat kepercayaan untuk ikut jual beli sapi. Dia mendapat pinjaman modal. ‘’Kalau modal saya sendiri cuma satu: kejujuran,’’ katanya. 

Lewat modal kejujuran itu pulalah, usaha baru Mat Aji berkembang. Dia makin banyak mendapat kepercayaan. Baik dari pemilik sapi, maupun para pedagang. Hingga satu saat Mat Aji yang saat itu usianya masih belasan tahun, sudah bisa mendapat keuntungan sekitar Rp 1 juta. Uang yang pada tahun itu –sekitar 1983 an—sangat besar nilainya. 

Keuntungan itu, sebagian diputar lagi untuk modal jual beli sapi. Sebagian lagi dibelikan tanah. Mat Aji muda yang kemudian berumah tangga, mulai berusaha lebih besar. Dia membeli tanah untuk kebun kelapa sawit. Lalu, singkong.

Jalan hidup bapak dua anak ini memang baik. Kebun kelapa sawit maupun singkongnya menghasilkan. Dia pun banyak dapat untung dari usaha itu. ’’Setiap ada untung dari sawit dan singkong saya belikan tanah lagi. Terus, juga saya belikan sapi juga,’’ paparnya. 

Dengan pola seperti itu, Mat Aji yang mengaku buta huruf tanpa disadari sudah memiliki aset ratusan miliaran rupiah. Lahan kebunnya kini tidak lagi hektaran. Tapi, sudah dengan ukuran luasan kilometer persegi. Sapinya sudah di kisaran ribuan. Kalau harga satu ekor sapi di kisaran Rp 15-20 juta, aset berupa sapi milik Mat Aji sudah di angka puluhan miliar rupiah. Belum lagi aset berupa kebun sawit dan kebun singkong produktif itu. 

titip-B6amcD.jpg

Penulis bersama Gunawan, pimpinan PT KASA di kandang feedlot KASA di Simpang Rengas, Lampung Tengah​. (Foto: Agung Pamujo/CoWasjp.com)

Hebatnya, meski sudah tergolong sangat cukup dan berhasil, si Haji Sapi ini tetap setia dengan sapi-sapingnya. Dia tetap ikut terjung langsung mengurus sapi-sapinya. Mencampur makanan, membersihkan kandang. ’’Ya tetap  harus kerja keras. Kerja kotor kayak gini,’’ ujarnya. 
 
Lebih hebat lagi, anak-anak Mat Aji juga seperti bapaknya, tidak lupa dengan kandang sapi. Anak pertamanya kini  jadi polisi. Anak kedua, dokter, lulusan  Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta. Namun, baik si polisi maupun si dokter itu, tetap mau berkotor-kotor, mengurus kandang sapi, jika sedang pulang ke rumah Mat Aji. 
 
’’Saya ingatkan terus kepada mereka. Meski nanti yang polisi sudah berpangkat tinggi, atau anak saya yang dokter bisa membangun rumah sakit, jangan lupa tetap ngurus sapi. Meski nanti pengelolaannya diserahkan ke orang lain,’’ kata Mat Aji, bersemangat.

*** 

Begitulah. Mat Aji dan juga peternak sapi lain tetap punya semangat tinggi untuk beternak sapi potong. Meski, mereka sadar, margin keuntungan dari ternak sapi potong ini tidak terlalu besar. 

Di pihak lain, para pengusaha di bidang ternak sapi juga tetap memiliki semangat untuk mengembangkan usahanya. Meski para feedloter itu sempat disorot karena dianggap melakukan ’’penimbunan’’ sapi serta dibingungkan dengan kebijakan pemerintah soal sapi potong dan juga daging sapi, mereka siap maju terus, dengan segala kendala yang ada.  

’’Kalau mau enak ya memang main impor daging. Risiko lebih kecil dan margin bisa lebih besar. Tapi, bagi saya pribadi berat rasanya. Tidak ada nilai tambah. Dengan  feedlot, meski sapinya juga impor tapi kita bisa ikut memberi nilai tambah,’’ kata Gunawan lagi, pimpinan PT KASA yang lulusan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya itu. 

Nilai tambah yang dimaksud adalah bisa membuka lapangan pekerjaan di feedlot. Juga menggerakkan usaha lain mulai dari sektor angkutan sapi hidup, usaha penyediaan pakan, hingga ke rumah pemotongan hewan. ’’Lagi pula, dengan ketersediaan lahan dan pakan berlimpah seperti ini masak kita milih cuma impor daging,’’ kata Gunawan lagi. 

Jadi, jelaslah. Bukan hanya Mat Aji sebagai wakil dari peternak lokal, para feedloter pun gagal paham dengan pilihan kebijakan impor daging yang terus diutamakan.  Kebijakan yang malah membuat peternak lokal ‘’menangis’’ karena daging produksi mereka dikalahkan daging impor itu. 

Kebijakan itu juga memunculkan pertanyaan: daripada impor daging dari Australia, India dan rencananya Meksiko, mengapa negara tidak hadir untuk mendukung para peternak lokal? Daripada mencurigai para feedloter, mengapa negara malah tidak memberi insentif agar mereka meningkatkan kapasitas produksinya? 

Semoga, impor daging jadi pilihan yang terakhir. Benar-benar terakhir untuk segera diakhiri. Sehingga tidak lagi menimbulkan rasa heran yang berlanjut kecewa, dari para pengusaha sapi nasional maupun peternak lokal. Seperti Mat Aji, si Haji Sapi. (*)

Baca dan Simak berita-berita lainnya di CoWasjp.com. Klik Di Sini

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda