COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Imam Kusnin Ahmad
-----------------------------------------
SETELAH melalui proses puluhan tahun, akhirya proyek Waduk Nipah, di Kecamatan Banyuates, Sampang, Madura bisa selesai dan diresmikan Presiden Jokowi, Sabtu 19 Maret 2016.
Ya, Waduk Nipah telah diresmikan. Namun, di balik peresmian itu tersimpan cerita panjang yang menarik. Yang jelas, pembangunan Waduk Nipah mengalami berbagai kendala. Tahun 1973 mulai dilakukan studi kelayakan. Tahun 1983 mulai dilaksanakan pembebasan lahan. Namun, pada tahun 1993 dihentikan sementara karena sempat terjadi insiden berdarah yang mengakibatkan 4 orang meninggal.
Kasus itu menjadi pusat perhatian nasional bahkan internasional. Setelah fase berat pembebasan lahan tuntas, akhirnya Presiden Jokowi bisa meresmikan Waduk Nipah yang telah menghabiskan dana APBN Rp 168,3 miliar untuk pembangunan fisik plus Rp 43,9 miliar untuk pembebasan lahan.
Menurut Presiden Jokowi, kasus Waduk Nipah ini hampir sama dengan kasus Waduk Jati Gede yang hampir 55 tahun tidak diselesaikan. Karena itu, Presiden meminta agar Waduk Nipah segera dioperasikan secara optimum, dan mampu mengairi areal persawahan seluas 1.150 hektare (ha). Hal ini mendukung Indonesia dalam menciptakan swasembada pangan nasional.
“Bendungan ini disiapkan untuk jangka panjang untuk produksi pangan kita,” tutur Presiden Jokowi ketika itu. Dengan laju pertambahan penduduk dunia seperti saat ini, pada masa yang akan datang, manusia akan memperebutkan dua hal. Yaitu energi dan pangan.
Untuk menghindari krisis pangan di masa yang akan datang, pemerintah membangun terus bendungan, karena kunci dari ketahanan pangan adalah ketersediaan air. “Tahun ini 8 (waduk), tahun depan 9 waduk. Karena kunci kemajuan ada di ketersediaan air,” ungkap Presiden.
Misalnya, di Provinsi Nusa Tenggara Timur, pemerintah menargetkan 7 waduk, karena provinsi ini mengalami kesulitan air baik untuk irigasi maupun air minum. Dengan banyaknya bendungan, produksi pangan akan melimpah.
“30-40 tahun mendatang, negara lain akan datang meminta pangan kelebihan kita. Mereka yang minta, bukan kita yang mengimpor dari mereka,” kata Presiden optimistis.
Waduk Nipah bisa mengairi sawah 1.150 ha, terdiri atas 925 ha sawah baru yang merupakan pengembangan sawah tadah hujan dan 225 ha merupakan areal sawah existing. Manfaat tambahannya sebagai konservasi sumber daya air, daerah wisata, dan perikanan air tebar.
“Bendungan Nipah dibangun untuk dapat berfungsi dalam umur layanan 50 tahun. Oleh sebab itu, pengelolaan bendungan yang berkelanjutan menjadi keharusan,’’ tegasnya.
Agar berkeberlanjutan, daerah tangkapan air Bendungan Nipah dipelihara dengan memperhatikan sistem konservasi yang baik. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah perbandingan debit maksimum dan debit minimum di bawah 50. Laju sedimentasi maksimum 2 mm/tahun, dan rasio ruang terbuka hijau minimum 30 persen.
Lokasi Bendungan Nipah di Desa Tabanah, Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang. Tepatnya di pantai utara Sampang, 60 km dari Kota Bangkalan, Madura.
Tewasnya 4 warga Nipah karena diberondong aparat keamanan pada 1993 menjadi kasus nasional, bahkan internasional. Kasus itu mendapat perhatian dari organisasi HAM internasional seperti Amnety International. Badan Silaturrahmi Ulama se Madura ( Bassra) juga melakukan protes kepada pemerintah. Ada 52 ulama yang menandatangani surat protes kepada pemerintah atas peristiwa pelanggaran HAM di Sampang, 25 September 1993 itu.
Ketika peristiwa berdarah tersebut terjadi, penulis sedang bertugas di Pamekasan dan Sampang. Tragedi di Era Orde Baru itu tidak bisa kami lupakan. Warga lainnya tunggang langgang menyelamatkan diri, di siang bolong itu.
Empat warga yang tewas seolah menjadi tumbal dari pembangunan Waduk Nipah.
Peristiwa itu,bermula dari niat pemerintah membangun proyek waduk irigasi di Sukobanah , Kecamatan Banyuates. Proyek itu membutuhkan tanah seluas 170 Ha, dengan proyeksi bisa mengairi lahan tegalan seluas 1.150 Ha. Dana yang disiapkan ketika itu sekitar Rp 14 miliar.
Jika rencana itu terealisasi, maka sejumlah desa dipastikan akan tenggelam demi menghidupi lahan pertanian di daerah itu. Maklum, para petani selama ini hanya mengandalkan air tadah hujan.
Saat itu terjadi pro dan kontra. Apalagi proses pembebasan lahan dilakukan tidak bijaksana. Sebagian warga mulai melakukan unjuk rasa ketika pengukuran tanah dimulai. Di daerah Banyuates terjadi kesimpangsiuran informasi perihal kepastian proses pembebasan tanah. Lokasi waduk dan lokasi genangan meliputi tujuh desa: Pelanggaran Barat, Pelanggaran Timur, Tebanah, Lar-lar, Tolang, Nagasari, Tapa'an.
Waktu itu muncul praktek-praktek pembebasan tanah yang pada hakekatnya merupakan praktek penipuan. Yakni, pembebasan tanah dari warga yang sebenarnya bukan pemilik tanah yang sesungguhnya, melainkan saudara pemilik tanah.
PEMILIK TANAH PALSU
"Karena banyak di antara pemilik tanah atau pewaris tanah yang pergi bekerja sebagai TKI menitipkan tanahnya kepada saudaranya. Saudaranya inilah yang menerima uang ganti rugi tanpa diketahui pemilik sesungguhnya," ungkap KH Ali Jauhari,salah seorang tokoh di Kecamatan Banyuates ketika itu.
Tak hanya itu. Juga beredar surat-surat waris yang tidak sesuai dengan kepemilikan tanah yang sesungguhnya. Surat waris itu direkayasa sedemikian rupa, sehingga uang ganti rugi jatuh kepada bukan pemilik tanah. Bahkan, ada oknum petugas yang menekan warga untuk membesarkan luas tanah dan jumlah pohon yang terkena ganti rugi dari keadaan yang sesungguhnya.
"Selisihnya nanti diminta oleh oknum petugas," tambah warga lainnya ketika itu.
Derasnya protes warga membuat aparat militer turun ke Nipah untuk melakukan pengamanan. Itu atas perintah Bupati Sampang, H Bagus Hinayana. Bupati sempat mengancam, kalau ada warga yang menghalangi pembangunan akan ditembak.
Warga tidak takut terhadap ancaman bupati. Sebab, mereka memang mempertahankan sejengkal tanah miliknya. Akhirnya empat warga setempat terkena tembakan senjata aparat keamanan, ketika mereka sedang melakukan aksi penentangan.
Tiga warga yang tewas di tempat adalah Mutirah (55) dan Simoki (30) warga Desa Lar-lar, Nindin (14) warga Desa Talang. Sedangkan Mohammad (35), warga Desa Lar-lar, meninggal di RSUD Dr Soetomo, Surabaya.
Ketika peristiwa itu terjadi, kami sedang berada di Surabaya untuk menyelesaikan rekapan bulanan setiap akhir bulan di kantor pusat Jawa Pos, di KarahAgung. Laporan persiapan lomba sepeda gunung kerjasama Jawa Pos dan Polres Sampang. Hari itu kami sudah menulis berita di Jawa Pos seputar pembesan tanah Nipah yang bermasalah dan masuk berita utama di halaman Jatim. Ternyata buntut sengketa terjadi peristiwa berderah.
Peristiwa itu kami ketahui sekitar pukul 02.50 WIB. Kami pulang dari Surabaya pukul 24.00 WIB naik bus AKAS. Semua wartawan di Madura tidak ada yang tahu peristiwa itu karena rapatnya sumber informasi. Maklum, di masa Orde Baru ( Orba) tidak sembarang informasi boleh diketahui publik.
Sebetulnya, setelah kejadian ada tokoh yang datang ke Biro Jawa Pos Pamekasan. Namun, karena kami masih dalam perjalanan dari Surabaya , pelapor kembali ke Sampang. Waktu itu belum ada HP. Alat komunikasi yang bisa dipakai hanya telepon kantor dan pager.
Ketika bus yang kami tumpangi sampai di terminal Sampang sekitar pukul 02.50 Wib,ada orang yang memanggil. “Mas Ika, sejak sore sampean tak kontak. Kata adik sampean, sampean ke Surabaya,’’ kata orang itu yang tak lain adalah Hasan Asy’ari, Sekretaris PPP Sampang ketika itu. “Ini penting. Ayo sampean ikut saya ke pondok Kiai Alawy,’’ tambah Hasan Asyari.
Di Sampang, kami termasuk wartawan baru. Namun karena latar belakang kami di pesantren, kami mudah beradaptasi dengan lingkungan masyarakat yang mayoritas pesantren dan para kiai. Misalnya KH Alawy Muhammad, KH Muhaimin, Ismail Muzaki Ketua DPC PPP, KH Busyairi Nawawi, KH Cholid Al-Busyairi, KH Dhofir Syah.Tentu juga para pejabat di Kabupaten Sampang ketika itu. Antara lain Bupati Bagus Hinayana dan Kapolres Sampang Letkol Pol Drs Siswanto.
Dari terminal ke Pesantren Attaroqi, Karongan, hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit. Ketika mobil kami sampai di pesantren, terlihat banyak orang berkumpul di sana. Ada yang didalam rumah Kiai Alawy, ada juga yang duduk-duduk di teras rumah.
Sebelum sampai di pesantren, Hasan memberi tahu bahwa di Banyuates telah terjadi penembakan. Empat orang tewas dan beberapa orang luka-luka. “Tapi datanya nanti kalau sudah sampai pesantren saja,’’ ungkap Hasan Asyari di dalam mobil.
Sejak siang kemarin teman-temannya berusaha menghubungi kami. Tapi kami tidak berada di kantor Biro Pamekasan. Karena memang sedang ada urusan di kantor Karah Agung Surabaya. “Ini berita penting dan tidak bisa diungkapkan kepada semua orang. Termasuk kepada wartawan lain. Karena itu saya berusaha menemui sampean,’’tambah Asyari.
Yang jelas, para ulama dan tokoh memerintahkan mencari kami sampai ketemu.“Makanya saya putuskan untuk nyegat sampean di terminal ini. Dengan bergiliran. Ee ternyata pas giliran saya sampean ada,’’ katanya.
Di pesantren kami dipersilakan masuk dan Kiai Alawy menyapaku. “Bagaimana wartawan, apa kabar,’’ sapa kiai Alawy ketika itu. “Alhamdulillah sae kiai,’’ jawabku.
Di samping Kiai Alawy ada beberapa orang. Di antaranya Kiai Ali Jauhari dan beberapa warga Nipah. Setelah berbasa-basi, akhirnya sesi wawancara aku lakukan. Kiai Ali Jauhari, tokoh dari Kecamatan Banyuates, menceritakan seputar kasus Nipah beserta nama-nama korbannya. ***