COWASJP.COM – BICARANYA meledak-ledak ketika di atas podium. Berbadan besar dan berwajah angker, Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini tahan berbicara berjam-jam kalau memotivasi para kedernya. Sambil tangannya selalu menunjuk ke sana kemari.
Ia seperti Burung Merak. Mengepakkan ekornya dengan gagah setiap dilihat orang. Wajahnya yang berewokan dan suaranya yang menggelegar membuat ia tampak berwibawa. Surya Paloh si Politisi Burung Merak!
Baca Berita Sebelumnya: Mega, Sosok Personifikasi PDI Perjuangan
Dalam jagad kebudayaan, WS Rendra disebut sebagai penyair Burung Merak. Penyair yang suka mengepakkan tangannya saat membaca puisi. Juga selalu membangun kewibawaannya setiap kali di atas panggung. Seperti burung merak dengan ekor mengembang dengan warna-warninya.
Rasanya, Surya Paloh juga penggemar burung. Burung yang gagah dan mempunyai makna dalam dari sifatnya. Lihat saja logo media yang menjadi miliknya. Semuanya menggunakan lambang burung garuda. Burung yang juga menjadi lambang negara Indonesia Raya.
Foto: metrosiantar
Saya tidak terlalu mendalam mengenal politisi yang juga konglomerat media ini. Kecuali hanya pernah sekali naik pesawat jet pribadinya dari Surabaya ke Jakarta. Itu terjadi saat SP –panggilan akrab Surya Paloh—masih menjadi salah satu petinggi Partai Golkar.
Juga sekali bertandang di kantornya yang megah dan mewah. Sebuah ruang kerja yang luas dengan furniture warna klasik yang menawan. Kalau perabot ruang kerja mencerminkan kepribadian pemiliknya, SP bukanlah seorang minimalis. Ia sangat menekankan penampilan dan citra lewat ruanganya itu.
Baca Berita Sebelumnya: SBY, Bisakah Bikin PD Kembali Pede?
Seperti Akbar Tanjung, SP suka memanggil orang yang lebih muda darinya dengan panggilan adinda. Sebuah panggilan yang mengesankan keakraban dan bersifat personal. Ia pun tak sungkan mengesankan keakrabannya di depan umum.
‘’Pangling saya. Kok gemuk dan berubah gini,’’ katanya sambil kedua tangannya memegang muka saya. Itu terjadi saat bertemu dia dalam perhelatan pembukaan pameran karya Duta Besar RI untuk Bulgaria Astari Rasyid di Jogjakarta belum lama ini.
Lahir di Aceh dan besar di Pematang Siantar, SP pada mulanya seorang pedagang. Dia mengawali bisnisnya pada usia muda. Bahkan, sejak remaja ia sudah memulai bisnis. Ia sudah berjualan teh, ikan asin, goni dan sebagainya ketika masih sekolah. Dia ambil barang dari temannya dan dijual kembali.
Ia sempat membangun perusahaan karoseri dan menjadi agen penjualan mobil di Medan. Setelah tinggal di Jakarta, ia mendirikan perusahaan catering. Perusahaan inilah yang mengantarkan dia menjadi seorang konglomerat. Perusahaan cateringnya dikenal sebagai perusahaan sejenis terbesar di Indonesia.
Foto: rimanews
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara dan Fisipol Universitas Islam Sumatera Utara ini memulai kiprah organisasinya dengan menjadi pimpinan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Setelah ormas itu bubar, ia aktif di Sekber Golkar dengan menjadi Koordinator Pemuda dan Pelajar.
Baca Berita Sebelumnya: Akbar, Politisi Tak Pernah Mati
Ia juga mendirikan organisasi Putra-Putri ABRI. Organisasi ini menjadi embrio berdirinya Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) di Jakarta, 1978. Organisasi ini menjadi tempat penggodokan calon pemimpin dan politisi dari jalur ABRI. Apalagi, saat itu, ABRI merupakan unsur utama dalam Golkar,
SP sejak saat itu besar bersama Golkar. Ia menjadi tokoh muda partai yang menjadi ujung tombak politik pemerintahan Orde Baru ini. Lewat FKPPI, ia mulai membangun akar pengaruhnya di partai tersebut. Kepak sayapnya mulai dikibaskan. Langkah-langkahnya mulai ditata untuk memperbesar pengaruhnya.
Jika pengaruh politik yang hendak dikepakkan, maka berbisnis media adalah pilihan. Seorang pengusaha jasa boga yang mengawali bisnisnya dari Medan ini akhirnya mendirikan Surat Kabar Prioritas, 1986. Ini terjadi di masa pemerintahan Soeharto yang secara politik serba terkekang.
Yang menarik, meski bukan berlatar belakang jurnalis, SP mampu menggebrak dunia media. Surat kabar yang diterbitkan menjadi media pelopor suratkabar berwarna. Isinya juga sangat kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Ini kebijakan redaksi yang terlalu berani untuk zaman Orde Baru yang otoritarian.
Tak pelak, koran baru yang diterbitkan SP ini tak berumur lama. Tapi ia tak putus asa. Naluri bisnis dan politiknya terus merangsang dia menerjuni bisnis media. Ia lantas mengambil alih manajamen Media Indonesia, Koran yang sudah terbit sejak tahun 1970-an. Ia membesarkan media ini menjadi sebuah group media, bersaing dengan group media lain yang sudah ada.
Foto: beritasatu
Tak cukup dengan itu. Setelah reformasi politik, ia mendirikan televesi berita, Metro TV. Inilah pelopor TV berita di Indonesia. Belakangan ia mendapatkan saingan TV One dari group media milik Abu Rizal Bakrie. Lewat Media Indonesia dan Metro TV, SP yang semula dikenal sebagai pebisnis catering, kini dikenal sebagai konglomerat media.
Baca Berita Sebelumnya: Cak Imin, Berkah Warisan Gus Dur
Melalui bisnis media itu, ia melebarkan sayap bisnisnya. Melalui Media Indonesia Group dan Metro TV, ia memperluas pengaruh politiknya. Euforia reformasi politik, ikut mendukung kebesaran politisi yang menguasai media massa. SP telah mengambil jalan yang benar: politisi yang juga pemilik media.
Karir politik SP dibangun di Golkar. Tahun 1971, ia sudah tercatat sebagai calon anggota DPRD II Medan. Lima tahun berikutnya, ia menjadi Anggota MPR RI sampai dua periode.
Nah, ia batal dilantik menjadi anggota MPR RI periode 1982-1987 karena Koran Prioritas miliknya dibredel pemerintah. Jabatan publik sebagai wakil rakyat itu dilakoninya sambil membesarkan ormas yang dipimpin dan bisnis yang digelutinya.
Namun, karir politik SP tak semoncer bisnisnya. Ia sempat mengikuti konvensi calon presiden dari Golkar yang digelar setelah reformasi politik. Ia bersaing dengan Akbar Tanjung, Wiranto, Prabowo Subianto, dan Abu Rizal Bakrie.
Dalam konvensi calon presiden yang berlangsung 2003 itu, akhirnya Wiranto berhasil menjadi kandidat presiden partai beringin. SP hanya berada di urutan ketiga. Sedangkan peserta konvensi dengan dukungan terendah adalah Prabowo Subianto.
Namun, calon Golkar ini keok di Pemilihan Presiden secara langsung kali pertama. Namun demikian, Jusuf Kalla berhasil menyalip di tikungan dengan menjadi calon wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Golkar yang secara kelembagaan gagal menjadikan presiden calonnya, tapi menempatkan kadernya menjadi wakil presiden.
Foto: okezone
Naiknya JK –-panggilan populer Jusuf Kalla—menjadi wapres, menjadikan partai ini tetap ikut memerintah. Modal itu yang kemudian mengantarkan pengusaha pribumi asal Makassar ini menduduki Ketua Umum Partai Golkar. Naiknya JK ikut mengangkat karir SP di partai tersebut. Ia terpilih menjadi Ketua Dewan Pertimbangan partai.
Jadilah SP satu kubu dengan JK hingga sekarang. Itu pula yang menyebabkan ia tergusur dari partai beringin ketika JK juga gagal mempertahankan kedudukannya di partai dalam Kongres Golkar di Riau. Saat itu, tampil Abu Rizal Bakrie sebagai Ketua Umum dan Akbar Tanjung sebagai Ketua Dewan Pertimbangan.
Dari sini, episode baru sejarah politik Surya Paloh dimulai. Tersingkir dari kepemimpinan Golkar mendorong dia membentuk Organisasi Kemasyarakatan Nasional Demokrat (Nasdem). Ia mendirikannya bersama Sultan Hamengkubuwono X. Ormas ini yang kemudian menjelma menjadi Partai Nasdem.
Dengan mengusung jargon Restorasi Indonesia, Nasdem menjadi partai baru yang langsung unjuk gigi dalam kali pertama keikutsertaannya di pemilu. Ia langsung masuk 10 besar dengan mengantongi 6,72 persen suara. Perolehan ini melampaui partai lama seperti PPP. Hanya selisih sedikit dengan perolehan PKS yang jauh lebih dulu berdiri.
Selama masa kampanye, Nasdem tampil gagah. Ia mensubsidi para calon legislative potensialnya dengan dana masing-masing Rp 1 miliar. Sementara caleg dari partai lain harus berkeringat mengeluarkan uang untuk berebut suara di lapangan. Media Indonesia dan Metro TV memberi dukungan penuh kepada para kader partainya.
Tidak hanya itu. Surya Paloh dan Nasdem memainkan posisi penting dalam pencalonan presiden Joko Widodo. Ia menjadi pengunci dan yang ‘’memaksa’’ Jokowi harus berpasangan dengan Jusuf Kalla.
Foto: liputan6
‘’Sampai detik-detik terakhir, sebetulnya Abraham Samad yang akan digandeng. Namun, karena SP, Jokowi harus bersama JK,’’ kata sumber terpercaya di lingkaran Tim 11, kelompok pemikir Jokowi. Saya belum mengkonfirmasi kebenaran informasi ini ke SP.
Foto: rakyatku
Yang pasti, pria kelahiran Aceh berwajah brewok ini punya pengaruh kuat di pemerintahan Jokowi. Nasdem berhasil menempatkan dua menteri dan Jaksa Agung. Kedua menteri itu adalah Menteri LIngkungan Hidup dan menteri Pertanahan/Kepala BPN.
Partai Golkar, tempat ia mengukir karir politiknya, dilanda konflik berkepanjangan. Apakah konflik di partai yang ditinggalkan itu ada jejak tangannya? Tidak bisa dilacak dengan kasat mata. Yang pasti, SP terus berkawan dekat dengan JK.
Nasdem menjadi bagian dari partai pemerintah. Sedangkan Golkar menjadi oposisi dan harus menerima nasib menghadapi konflik internal berkepanjangan. Konflik itu berlangsung berketerusan sampai JK yang pernah menjadi Ketua Umum Partai Golkar turun tangan.
Surya Paloh kini menjadi sosok tunggal yang sangat menentukan di partai tersebut. Sempat pengusaha media Hari Tanoesudibyo bergabung di partai tersebut. Namun, tidak lama ia terpental. Pemilik sejumlah televisi nasional itu kini merintis partai baru dengan nama Perindo.
Akankah politisi Burung Merak Surya Paloh akan terus mengepak sayap dan ekornya di masa mendatang? Hanya sejarah yang akan menentukan. *)
Baca Berita Lainnya di CoWas.JP.Com. Klik Di Sini