Cangkruk’ane CoWas Karmen (5)

Memilih Belum Tentu PilihanNya

Foto dan ilustrasi: CoWasJP.com

COWASJP.COMMELAKUKAN perubahan hidup adalah keniscayaan. Perubahan itu adalah kepastian yang dialami manusia. Perubahan harus dilakukan karena perubahan terus menggelinding bagai roda berputar.
Manusia sejak diciptakan Allah melalui Hidayah Penciptaannya selalu mengalami perubahan. Mulai dari nutfa atau sperma, terus berubah hingga menjadi janin dan berwujud manusia.

Begitu pula saat hidup di muka bumi, selalu mengalami metamorfosis. Mulai  bisa makan, minum, berjalan, berbicara, menulis, mendengar hingga berfikir dan berakal sehat.

Pertumbuhan sejak masa kanak-kanak, dewasa hingga tua renta dan kembali menghadapNya, adalah sebuah kodrati alami. Jadi perubahan itu pasti dan kepastian itu tidak pernah pasti.

Beranilah berubah di kala mengalami kejenuhan. Segeralah melangkah jika hati nurani sudah mengirim pesan pada alam pikir kita. Kedepankan bekerja dengan hati nurani. Bukan hawa nafsu. Hati adalah Guru Sejati. Nafsu adalah musuh utama.

Setiap insan yang ingin berubah atau melakukan perubahan, pasti punya  passion. Passion atau kemauan keras, yang memiliki sifat spirit tingkat dewa, tidak akan terlaksana jika tidak segera action. Melakukan! Passion dan action, sangat korelatif. Ini penting di semua kehidupan.

Baca Berita Sebelumnya: Tenggelamkan Kapal Pesiar

Dalam ulasan sebelumnya, unsur 5W plus 1H yang menjadi pedoman atau LIMA RAHASIA sukses seorang wartawan, telah terungkap perlunya What, Who, When dalam setiap perubahan hidup. Kali ini unsur Where juga tak kalah penting. 

Where? Dimanakah kita harus segera melakukan perubahan. Perubahan tidak membutuhkan tempat. Kapan saja, kepada siapa saja, dimana saja, perubahan itu pasti terjadi. 

Baca Berita Sebelumnya: Jangan Pernah Ingin Mengemis

Kita harus bersiap diri. Atau melakukannya sebelum perubahan yang bermuatan negatif itu melanda diri. 

Melakukan perubahan itu memang memerlukan Hidayah Perjuangan. Artinya, orang yang ingin berubah dalam persoalan apapun, tentu harus didasari dengan berjuang atau ikhtiar. Dan, Hidayah Perjuangan ini telah ditetapka oleh Allah dengan memberikan manual booknya. Berupa petunjuk dan penjelasan.

Baca Berita Sebelumnya: Wartawan Hebat Bukan Hedonis

Seseorang yang berjuang tanpa ada petunjuk dan penjelasannya, pasti akan tersesat di jalan yang benar. Petunjuk yang dimaksud Sang Khaliq itu, tak lain adalah firman-firmannya, yang terangkum dalam kitab suci. Sedangkan yang bertugas menjelaskannya adalah hamba yang menjadi pilihannya. Nabi dan Rasul!

Analoginya sederhana. Orang yang gaptek tentang teknologi handphone misalnya, tidak akan kesulitan mengoperasikan hape barunya jika dia membaca manual book yang tersedia. Begitu pula para ahli di bidang apapun, tidak akan sukses jika tidak menggunakan kunci hidup tersebut.

Itu yang saya alami. Yang saya rasakan. Karena saya mengesampingkan makna manual book itu, tidak lebih hebat dari perasaan dan pikiran, maka hasilnya nol besar. Apalagi dengan angkara nafsu.

Baca Berita Sebelumnya: Lima We plus Satu Ha

Contoh keangkuhan itu telah saya alami setelah memutuskan diri menerima tawaran pensiun dini dari Jawa Pos. Saya memilih banting setir. Mendaftarkan diri menjadi Calon Anggota Legislatif (Caleg) DPR RI dari PPP. Harapannya, ingin mengaplikasikan diri setelah tidak lagi kerja di koran.

Ternyata? Ranah politik bukan habibat saya. Banyak hal yang menyengsarakan hati. Tingkah pola serta pola pikir mereka amat bertentangan dengan jiwa dan hati nurani. Di sini tidak membutuhkan manual book. Hidayah Perjuangan produk Allah  hanya jadi isapan jempol. 

“Jangan sekali kali menggunakan hati, perasaan dan harga diri, jika ingin jadi politisi tangguh,” bisik saya pada Amrizal Ananda Pahlevi, Sarjana FIB Unair yang menggadang-gadang Abahnya harus sukses di ranah politik.

Tiga puluh tahun bergelut di dunia kewartawanan, ternyata bukan modal yang baik untuk bertarung di arena politik. Juga menjual sebuah rumah hasil keringat selama menjadi karyawan Jawa Pos, juga tidak cukup untuk dibawa perang.

Peluru yang banyak, ilmu segudang dan strategi apapun yang dipakai tetap sulit untuk menjemput satu kursi legeslatif. Semua sudah ada yang menentukan. Ada yang mengatur dan menyeting.

Pilihan kita belum tentu menjadi pilihan mereka. Inilah skenario politik. Panggung sandiwara!

Saat inilah waktu yang paling tepat bagi saya untuk melempar sekoci. Menentukan pilihan hidup yang tidak harus beraliran sama. Mencari popularitas dan kedudukan.

Derajat tertinggi manusia di hadapan Sang Pencipta adalah ketakwaannya. Bukan level jabatan dan materi yang dimiliki. 

Saya kian yakin ketidakterpilihan dalam Pileg 2014 bukan lantaran keinginan pribadi. Semua juga atas kehendakNya.

Sejak itu saya kembali memilih hatu nurani sebagai kompas kehidupan. Perlahan-lahan, saya tinggalkan komunitas baru di padang yang gersang itu. Saya memilih menyendiri. Mencari jati diri. Menggali potensi diri.

Saat kondisi tubuh sudah merana, berbagai penyakit menyerang, lantaran pola hidup tidak karuan sepanjang Pileg, saya menemukan obatnya. Obat? 

Ya! Obat hasil silaturahim. Bertemu dengan seorang teman. Teman kampung yang menjadi anggota polisi. Yang sama-sama mengidap diabetes, asam urat dan bahkan sudah menyerang jantung dan ginjalnya. 

Tubuhnya yang tambun dan berbobot jumbo, kini sudah susut. Bahkan, dia dinyatakan sehat oleh dokter. Bahkan, sudah aktif menjadi pelatih para karateka.

Selain sehat, bisnis teman ini sudah berjalan. Bahkan sudah mengeruk keuntungan yang membuat saya harus mengadopsinya. Dan, pendek cerita saya ikut bergabung. Saya ingin memperoleh dua keuntungan. Sehat dan banyak uang.

Namun, seiring dengan perjalanan. Perubahan yang sudah saya lakukan, Juga sudah kami rancang. Bahkan, manual book berupa petunjuk dan penjelasan sudah saya jalankan, toh, hasil akhirnya bukan sebuah pilihan. Baik buat saya belum tentu baik menurut Dia.

Artinya pilihan saya belum tentu menjadi pilihanNya. Hati nurani tetap menjadi rujukan utama tatkala dalam perjalanannya ada ganjalan. Prinsip hidup lebih penting ketimbang prinsip asal hidup. 
Apalagi puluhan tahun berprofesi sebagai wartawan, komitmen untuk jujur dan tidak berdusta adalah darah daging kami. Jika seorang wartawan tidak jujur dan bohong, apa jadinya media dan masyarakat nanti.

Hancurnya dunia karena kebohongan satu orang yang diduplikasi gerombolannya. Saya enggan berada dalam gerombolan para pembohong itu. Lebih baik menyendiri mendekati serigala, ketimbang harus ditelan iblis walau tidak terasa sakitnya. 

Saya pun, akhirnya meninggalkan bisnis kesehatan yang berlindung di balik baju sosiobisnis. Modal puluhan juta harus saya lupakan demi hati nurani. Yang tidak bisa membohongi diri.

Bersambung dengan Judul: Tak Ingin Jadi Motivator Jarkoni
By: Cangkruk’ane CoWas Karmen

 

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda