COWASJP.COM – ALHAMDULILLAH. Sekali lagi Alhamdulillah, akhirnya Menpora menyabut SK Pembekuan PSSI pada Selasa malam tadi 10 Mei 2016. Kemurungan yang mendekam sejak 17 April 2015 sampai 10 Mei 2016 pun sirna. Berubah ceria dan bergairah. Tinggal menunggu FIFA menyabut sanksinya pada 13 Mei 2016.
Setelah PSSI dibebaskan kembali, apa yang harus dilakukan untuk merealisasikan program reformasi sejati sepakbola Indonesia? Pemerintah tentu tetap menjadi mitra utama PSSI. Terutama dalam mempersempit ruang gerak para pelaku match fixing, termasuk menghalau bandar judi mancanegara beserta semua kaki tangannya yang bergentayangan di Tanah Air Indonesia. Tangkap, tahan, interogasi, dan deportasikan mereka!
PSSI sangat membutuhkan bantuan Polri (Kepolisian Republik Indonesia) untuk mempersempit sesempit-sempitnya ruang gerak para pelaku match fixing dan bandar bola.
Suasana kantor PSSI. (Foto: dok/TIMES Indonesia)
PSSI juga masih sangat membutuhkan bantuan Pemerintah RI dalam hal penyediaan infrastruktur lapangan dan stadion standar FIFA. Apalagi jika sepakbola Indonesia harus memiliki Akademi Sepakbola standar dunia. Yang punya mess representatif, minimum punya 5 lapangan standar FIFA, dan para siswanya mendapatkan asupan gizi standar atlet sepakbola kelas dunia.
Tidak mungkin PSSI bisa melaksanakannya sendirian. Dan, hal ini belum pernah terwujud sejak PSSI didirikan 19 April 1930. Sejak 86 tahun silam, sangat sulit berharap pada sektor swasta untuk membangun proyek sepakbola masa depan semahal dan sehebat itu.
Kemampuan klub-klub kasta tertinggi kita hanya bisa mengontrak pemain dan pelatih selama satu musim . Apalagi klub-klub di kasta kedua dan ketiga. Dari sini saja jelas terbaca bahwa klub-klub Indonesia Super League tidak mampu membangun infrastruktur sendiri. Bandingkan dengan Real Madrid yang punya 14 lapangan latihan, seperti yang pernah diceritakan pelatih senior Danurwindo.
Danurwindo (kanan). (Foto: bolabanget)
Sejarah sepakbola Indonesia memang sangat berbeda dengan sepakbola Eropa. Sepakbola Eropa lahir dan tumbuh dari sektor awasta. Industrialisasi sepakbola Eropa sudah dimulai awal abad XX (1900-an). Sedangkan sepakbola Indonesia lahir dari klub-klub amatir, alat pemersatu bangsa, kemudian di-back up Pemprov dan Pemkab/Pemkot setempat. Sampai sekarang pun belum ada klub sepakbola Indonesia yang benar-benar profesional.
Agenda utama lainnya setelah SK Pembekuan dicabut adalah transparansi finansial klub dan PSSI (termasuk Asprov dan Askot/Askab) harus benar-benar direalisasikan. Sampai Turnamen Indonesia Soccer Championship (ISC) A digelar, belum ada satu klub pun yang transparan dan mengumumkan kepada publik, berapa hasil penjualan tiket di setiap laga home yang mereka lakoni.
Padahal ISC A direstui Pemerintah RI sebelum SK Pembekuan dicabut, dan sangat diharapkan menjadi Proyek Percontohan Reformasi Sepakbola Total.
Di Universitas Indonesia, Depok, Direktur Kompetisi PT GTS (Gelora Trisula Semesta), Ratu Tisha, Selasa 3 Mei 2016 mengatakan: "Kami juga membentuk sponsor committee, mereka yang mengatur pembagian hak komersial, penyebaran iklan, dan sebagainya," tutur Tisha.
Ratu Tiasha Destria, Direktur Kompetisi PT Gelora Trisula Semesta, operator ISC. (Foto: bolaindo)
"Kami ingin total belanja pemain dirilis secara online. Implementasi secara teknis pasti repot, saya harus menghubungi klub dan bertanya mereka bersedia atau tidak. Tapi pasti dirilis," ujar Tisha. Masih berupa janji!
Klub-klub Indonesia ternyata memang belum siap untuk transparan. Budaya transparan harus dipaksa untuk dimulai. Sebab, puluhan tahun sudah klub-klub berjalan dengan budaya tertutup. Terutama masalah keuangannya. Tidak pernah ada transparansi berapa pemasukan, berapa pengeluaran serinci-rincinya.
BISAKAH UBAH ISC JADI ISL?
Saat SK Pembekuan PSSI dicabut, Selasa malam 10 Mei 2016 sekitar pukul 19.00 WIB, Plt Ketua Umum PSSI Hinca IP Pandjaitan mungkin masih dalam perjalanan ke Mexico City untuk menghadiri Kongres FIFA. Sebab, di mata FIFA PSSI hasil KLB 18 April 2015 adalah sah dan legal.
Saat SK Pembekuan dicabut, Indonesia Soccer Championship (ISC) A dan ISC B telah melakoni matchday 2. Baik ISC A dan ISC B digelar dengan format kompetisi. Hal ini dikarenakan waktu kick off ISC A 29 April dan ISC B 30 Mei, status PSSI masih dalam sanksi FIFA.
Tapi nanti jika Kongres FIFA ke-66 di Mexico City menyabut sanksinya, karena Pemerintah RI telah melepas intervensinya dengan manyabut SK Pembekuan, apakah ISC bisa dinaikkan statusnya dari Turnamen menjadi Kompetisi?
Inilah masalah yang paling urgen!
Sangat boros dan tidak bijaksana jika ISC A dan B kemudian dihentikan, dan diganti dengan Kompetisi ISL dan Divisi Utama. Mengapa semua klub ISL dan Divisi Utama harus mulai dari nol lagi?
Sudah begitu banyak dana dikeluarkan. Sudah dua stasiun televisi nasional dilibatkan. Sudah empat sponsor dilibatkan dan telah mengeluarkan dana besar. Torabika sebagai sponsor utama dan Indosar Ooredoo sebagai sponsor pendamping. Juga PT Sido Muncul dan PT BTPN. PT Gelora Trisula Semesta (GTS) sebagai operator menyatakan bahwa dana Rp 375 miliar siap digelontorkan untuk pergelaran ISC A dan ISC B.
Yang sudah nyata-nyata dikeluarkan adalah modal awal bagi setiap klub ISL sebesar Rp 5 miliar. Jumlah peserta ISC A 18 klub ISL. Berarti total = 18 x Rp 5 miliar = Rp 90 miliar.
Untuk modal awal setiap klub Divisi Utama di ISC B sebesar Rp 400 juta. Jumlah peserta ISC B 52 klub. Berarti total = 52 x Rp 400 juta = Rp 20,8 miliar.
Foto: istimewa
Ini belum termasuk dana operasional seluruh perangkat pertandingan selama dua matchday. Dan mungkin sampai 3 matchday: tanggal 14, 15, dan 16 Mei 2016. Mungkin sampai akhir bulan ini. Sebab, untuk memutuskan ISC menjadi ISL harus melalui Rapat Exco PSSI bersama PT Liga Indonesia dan seluruh perwakilan klub.
Karena formatnya sudah kompetisi, lanjutkan saja. Begitu situasi darurat telah berlalu (FIFA telah menyabut sanksinya), maka turnamen yang sudah berformat kompetisi ini segera naikkan statusnya menjadi kompetisi murni!
Soal nanti PSSI mau KLB, silakan saja. Klub-klub yang menjadi korban pembekuan ini dulu yang harus diselamatkan. Layani mereka sebaik-baiknya. Sebaliknya, klub-klub pun wajib melayani perubahan yang dikehendaki rakyat Indonesia.
Pemerintah boleh saja mengklaim bahwa mereka yang ingin mengubah, tapi sejatinya perubahan ini sudah sangat lama diidam-idamkan oleh rakyat Indonesia. Menuju sepakbola yang sehat finansial, transparan finansial, fair play, dan berorientasi total pada peningkatan kualitas dan prestasi iinternasional.
Semoga.**