COWASJP.COM – ockquote>
Siang pada 1997 di Hotel Sahid Jaya Jakarta. Saya, Wartawan Jawa Pos, usai meliput konferensi pers perbankan oleh Bank Indonesia. Sebelum pulang, saya tengok meeting room lain disitu. Siapa tahu, ada narasumber penting. Ternyata ketemu Dahlan Iskan.
SAHID punya beberapa meeting room. Salah satunya, ada board stainless steel berdiri dekat pintu tertutup: “Keynote Speaker: Dahlan Iskan”.
Whaooow… itu bos-ku. Bos Jawa Pos. Saya tidak tahu jadwal tersebut. Juga, tidak ada penugasan dari redaktur. Jadi, tak ada kewajiban meliputnya.
Tapi, saya ingin tahu, Dahlan bicara apa? Jika board terpajang, berarti acara sedang berlangsung. Maka, saya buka pintu dan masuk.
Dahlan duduk di stage, bicara. Diapit dua orang (saya tidak kenal). Ketika saya masuk, menarik perhatian dia.
Baru, saya duduk di deretan belakang, langsung didekati Zarmansyah, Wartawan Jawa Pos juga.
Waduuuh… keroyokan, nih... Padahal, liputan model begini (dua wartawan JP di satu tempat) dilarang keras. Apalagi ini: Meliput bos. Jeruk makan jeruk.
“Dwo… kamu yang nulis ini, ya…” bisik Zarman.
“Ah… gak. Aku ada liputan lain, Aku gak ditugasi ini.”
“Lho… aku yo gak ditugasi. Kebetulan masuk.”
“Nggak… Kamu aja, Man. Aku cuma pengen dengar sebentar.”
“Wah… gimana, sih…”
Meskipun kami bisik-bisik, tapi mengganggu. Audience sekitar 100 orang sedang mendengar paparan Dahlan. Saya dan Zarman sama-sama merasa, bahwa kami mengganggu.
Lalu Zarman pergi. Kembali ke tempat duduknya semula. Dia meninggalkan map kuning berisi materi acara itu dan topik bahasannya. Jiangkrik….
Gak mau kalah, saya pergi juga. Langsung keluar ruangan. Tapi supaya kami nggak berantem, map saya bawa. Saya kabur…. Liputan ke Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal – kini Otoritas Jasa Keuangan).
Tiba di kantor, saya ngetik berita. Zarman juga. “Pasti dia ngetik berita Dahlan…” pikir saya. Selepas deadline, tengah malam, kami para wartawan ngobrol, ngopi, sebelum pulang. Saya dan Zarman tidak saling tanya soal itu.
Esoknya, berita Dahlan tidak muat. Saya dan Zarman debat. Tapi percuma. Sudah terlanjur. Tidak mungkin dimuat besok karena basi, Akhirnya kami pasrah, siap ‘diumbah’ (diomelin).
Dahlan Iskan. (Foto: tempo)
Sore, Dahlan masuk kantor. Saya ngetik berita. Zarman belum ngantor. Wah… siap-siap…
Benar. Dahlan mendekati saya:
“Nulis apa, Dwo?” tanyanya
“Tentang intervensi BI menurunkan suku bunga, pak.”
Dia mengamati monitor komputer saya sejenak, lalu manggut-manggut: “Bagus…” Setelah itu dia pergi lagi.
Aneh… begitukah gaya Dahlan marah?
Tidak. Dia tidak marah. Terbukti, malamnya dia ke kantor lagi, ketemu Zarman. Dia tidak tanya soal itu.
Kadang, Dahlan memberi kebebasan wartawannya menentukan tulisan. Kadang, dia memerintahkan.
TIDAK SEJALAN
Masuk kasus Dahlan sekarang. Jawa Pos memuat kasus PT PWU. Apakah Dahlan berkoordinasi dengan Pemred Jawa Pos?
Ternyata tidak. Berita Jawa Pos tentang PWU malah mengecewakan Dahlan. Buktinya, Dahlan kirim WA ke saya, Kamis (20/10) kemarin.
Ceritanya, di berita Jawa Pos, ada kalimat begini: “Uang hasil penjualan aset tidak masuk ke perusahaan, tapi didepositokan…..”
Kalimat benar. Sesuai penyidikan di Kejaksaan Tinggi Jatim. Tapi tidak lengkap. Menimbulkan multi-tafsir. Didepositokan atas nama perorangan? Siapa orangnya?
Kamis, Dahlan kirim WA ke saya: “Mestinya: Didepositokan atas nama perusahaan (PT PWU). Kalau tidak disebut PWU, bisa dikira ke deposito perorangan”.
Saya yakin, koreksi ini sampai juga ke Jawa Pos.
Ternyata, Jumat (21/10) pagi ini Jawa Pos malah tidak lagi memuat kasus PWU. Koreksi tidak terpublikasi.
Mengapa Jawa Pos tidak memuat?. Padahal, sudah ada standar koreksi berita. Yakni, memuat topik itu lagi dengan sudut pandang (angle) berbeda dan baru. Koreksi diselipkan.
Mungkin Pemred Jawa Pos merasa,’tidak enak’ memberitakan itu lagi, meski dengan angle berbeda. Atau mereka kesulitan mencari angle baru.
(Depok, 21 Okt 2016)