COWASJP.COM – PAGI itu di bulan April 1983 sekitar 20 anak muda berderet naik ke lantai 2 Redaksi Jawa Pos Jalan Kembang Jepun 167 Surabaya. Mereka adalah para sarjana muda dari berbagai jurusan dan beragam fakultas. Di antara ke-20 anak muda itu terselip dua pria berperawakan gemuk.
Mereka adalah Sholihin Hidayat dan Margiono, usia mereka terpaut dua tahun. Sholihin ketika itu masih 25 tahun sementara Margiono 23 tahun. Keduanya tampak mulai akrab sejak mulai menaiki tangga, sehingga ketika itu saya berpikir apa mereka masih bersaudara? Ternyata tidak.
Sholihin yang perawakan lebih tinggi serta kulit lebih bersih berasal dari Bangil, Pasuruan, sedangkan Margiono berasal dari Tulungagung. Sungguh, keakraban kedua calon wartawan Jawa Pos ini sudah mulai tampak di awal-awal mereka bertemu di gedung tua, yang sejak 1980 ditempati sebagai kantor Jawa Pos itu, khususnya redaksi Jawa Pos. Yach, di gedung tua inilah tempat "Kawah Candradimuka" nya generasi baru wartawan Jawa Pos.
Tak pelak lagi dari generasi rekrutmen wartawan pertama inilah diharapkan lahir wartawan-wartawan handal yang kelak bisa memimpin Jawa Pos. Mereka adalah sarjana muda, sedangkan sekitar 12 wartawan Jawa Pos kala itu yang sarjana cuma satu orang. Beliau adalah almarhum Imam Sudjadi BA, alumni AWS (Akademi Wartawan Surabaya).
Karena itu, Dahlan Iskan, pemimpin redaksi Jawa Pos, ketika iu segera membentuk panitia rekrutmen wartawan. Panitianya antara lain Dahlan, Imam Sudjadi (Alm) Jhony Budimartono, Anas Sadaruwan ( Alm), Nadhim Zuhdi ( Alm ) dan saya sendiri, yang ketika itu menjabat sebagai KR (Koordinator Reporter), sebuah sebutan untuk mengkoordinasi/menugasi para reporter dan koresponden untuk meliput berita, sebelum nama itu diubah menjadi KL (Koordinator Liputan).
Nah, dengan persiapan yang setengah ngotot dan penguji yang rata rata "hanya" otodidak, maka kami putuskan dari sekitar 50 pendaftar calon wartawan, terseleksi 20 orang. Dua di antaranya ya.. itu tadi, Sholihin dan Margiono.
Baiklah, kalau begitu saya kembali ke masalah keakraban Sholihin dan Margiono. Benar, jalinan persahabatan itu semakin terlihat saat tes tertulis membuat berita. Keduanya duduk berjajar satu meja dan dengan santainya mereka berbincang-bincang setengah berbisik. Bahkan sesekali mereka saling memperhatikan hasil jawaban masing masing. Saya sendiri yang bertugas menjaga tes tertulis itu, tentu saja, pura pura tidak berkenan. Tapi di dalam hati saya berkata: "Akh biar saja kita sangat butuh darah baru hasil rekrutmen pertama ini. Kita butuh wartawan sarjana."
Foto: istimewa
Tapi meski begitu, di sisi lain dari 20 calon yang tersisa itu kami juga berupaya menyaring dengan ketat. Kalau yang benar benar "mbliyut" tentu kami drop.
Karena itu dari 20 calon hanya delapan orang yang benar benar memenuhi syarat sebagai wartawan Jawa Pos. Mereka antara lain Budi Oetomo, Ita Lizamia, Margiono. Dan siapa lagi kalau bukan "tokoh" kita Sholihin Hidayat.
"Sholihin..Sholihin Hidayat," nama itu semakin akrab di telinga saya, apalagi setelah kurang satu tahun bergabung di Jawa Pos, dia sudah memanggil saya dengan sebutan Cak Koes. Itu menandakan dia semakin dekat dengan seniornya. Kedekatan kami juga sampai terbawa ke soal selera perut. Sehingga bersama M. Siradj (Alm), Yok Sudarso, saya dan Sholihin, sepakat tiga hari sekali makan bersama di Indo Plaza di Jalan Semut, dengan perjanjian gantian yang nraktir. Betul, meski perjanjian tidak pakai meterai, kami sungguh-sungguh sepakat. Apalagi gaji kami masing masing sudah lumayan besar. Kami semua sudah redaktur. Sayang setelah berjalan dua bulan, kesepakatan itu akhirnya lebur, setelah salah satu dari kami sering pura-pura lupa kalau waktunya nraktir.
Begitulah, keakraban saya dengan Sholihin sampai sejauh itu, tapi kalau urusan cewek anak muda dengan badan seberat 83 kg itu selalu adem ayem. Dia tetap acuh. Heran juga saya. Belakangan saya baru tahu kalau sebetulnya Pimred Jawa Pos 1992- 1998 ini diam diam sudah beristri. Karena itu, bapak dua orang anak ini lebih fokus ke karir. Genap satu tahun bergelut di reporter langsung melesat menjadi redaktur. Artinya sudah menyamai saya yang harus menjadi reporter dulu selama lima tahun.
Bahkan karir Sholihin sudah di atas sebagian besar wartawan Jawa Pos yang sudah bertahun-tahun menjadi reporter.
Memang, Sholihin luar biasa dalam menyusuri karirnya. Bayangkan dia jarang pulang ke Bangil, hampir setiap hari selepas deadline anak muda ini masih menyempatkan diri main pingpong bersama Dahlan dan saya. Setelah itu baru dia terlelap di sofa kantor. Sementara saya dan Imam Sudjadi dan reporter Eddy Sudarjono, sudah meninggalkan kantor. Maklum sudah jam 01.30.
Sungguh, Sholihin tidak cuma jarang pulang ke Bangil, tapi juga mulai jarang bertemu saudara-saudaranya. Karena itu, tak jarang adik dan kerabatnya perlu menengok kakaknya di Kembang Jepun. Maklum 32 tahun lalu belum ada HP. Jangankan HP, telepon biasa saja sulit didapat.
Lantas bagaimana kelanjutan dari karir Sholihin di Jawa Pos? Tentu saja bunga-bunga ketulusan dan kengototan Sholihin pada ujungnya berbuah juga. (Bersambung)