COWASJP.COM – BUAH itu sebenarnya yang ditunggu tunggu oleh hampir seluruh wartawan yang merasa ikut kerja keras membesarkan Jawa Pos. Kalau boleh pinjam istilah Dahlan, mereka yang ikut 'revolusi' terutama pada tahun 1982/ 1983.
Karena itu pada tahun 1986 atas kebijakan Dahlan, kami "generasi revolusi" mendapatkan mobil jeep Suzuki Katana.
Sementara Sholihin mendapat kenaikan gaji yang lumayan besar. Tapi di bagian lain, sebagai sahabat, Sholihin setengah bergurau berucap: " Wah aku kalah ambek sampeyan Cak Koes. Terus kapan giliranku dapat mobil Cak?"
BACA JUGA: Cerita Pendek tentang Si Anak Bangil
Mendengar pertanyaan Sholihin, saya jawab sekenanya: "Ya tunggu saja tahun depan".
"Lho..berarti kurang enam bulan, ini sudah bulan Agustus"; sahut Sholihin tangkas. Waduh, ini beban buat saya, kenapa saya menjawab ngawur. Apa artinya saya. Tapi yach nasi telah jadi bubur, mau diapakan lagi..
Selang tiga bulan kemudian, kembali Sholihin menanyakan, bagaimana mobilnya. Terus bagaimana jawaban Dahlan? Aduh rek, saya benar tersudut dengan" gempuran" sahabat saya ini. Apalagi Sholihin mengusulkan agar generasi kedua yang daoat mobil itu masing masing, dia sendiri, M. Siradj dan Margiono. Hem ini pekerjaan yang tidak mudah.
"Lho..sampeyan lak tokoh informal. Gak usah ragu. Pak Dahlan nurut, " celetuk Sholihin terkekeh kekeh. Atas desakan itui apa boleh buat, hari itu juga saya temui Dahlan dengan nyali yang sudah saya siapkan berlapis lapis. Alhamdulillah! Di luar dugaan anak Magetan ini sepakat dengan jawaban yang saya berikan pada Sholihin. Tapi konsekuensinya saya harus tanggung jawab melakukan negosiasi dengan dealer jeep Suzuki supaya Jawa Pos bisa mengangsur dua atau tiga bulan. Untungnya saya ketika itu menjabat redaktur Ekonomi bisnis. Tentu saja ini cukup membantu.
Dari kiri: Miser Polanco, Slamet Oerip Prihadi, dan Penulis (kedua dari kanan) saat bezuk Sholihin Hidayat (alamarhum) di rumahnya tujuh bulan lalu. (Foto: Koesnan Soekandar/CoWasJP)
Memang, sejak berhasil ' menyelesaikan tugas' dari Sholihin, persabatan makin kental, seolah tak ada batas antara senior dan junior, apalagi kami di akhir 1989 sama sama diangkat sebagai redaktur senior. Pangkat ini sebetulnya sebagai batu loncatan untuk ke jenjang Redaktur Pelaksana. Semua itu terjadi seiring oplah Jawa Pos sudah menembus angka 150 ribu.
Wah..peluang untuk menjadi redaktur pelaksana benar benar memacu etos kerja kami. Demikian juga semangat kerja Sholihin. Semakin tak kenal hari mulai Senin hingga Senin lagi berada di kantor. Nah, suatu saat di awal tahun 1990 Sholihin ternyata sempat tanya saya: "Cak sapa ae sing dadi redpel"
Saya cuma mampu menggelengkan kepaka.
"Lho...sampeyan khan tokoh informal. Masak ndak tahu," tanyanya lagi. Kami pun tertawa bareng." Mungkin kamu juga bisa jadi redpel Hin," jawab saya sok tahu. " Wah nek aku, berati aku isa ngalahno sampeyan.ha..ha..ha", ujarnya ngakak sambil mengajak saya makan siang di lapangan Karah Agung, karena sejak awal 1990 redaksi Jawa Pos sudah pindah ke Karah Agung Surabaya.
Setelah makan siang kami langsung kembali ke kantor, tapi sampai belum sampai 10 menit, Dahlan menghampiri saya, sambil mengajak saya di meja yang agak jauh dari teman teman redaksi yang lain. Seketika saya menyiapkan hati dan pikiran saya seandainya beliau tiba tiba membicarakan masalah Redpel. Heit...ternyata saya salah besar. Dahlan meminta saya bersama empat teman yang lain untuk bersama membenahi Harian Suara Indonesia karena akan berubah menjadi harian ekonomi. Saya menyanggupi, toch hanya tiga empat jam, sisa jam yang lain bisa ngantor di Jawa Pos.
Tapi di luar dugaan, dua minggu kemudian, Dahlan mendadak muncul di ruang redaksi Suara Indonesia. Tanpa basa basi lelaki yang belakangan pernah menjabat menteri BUMN itu mengatakan, "Pak Koes mulai hari ini sampeyan redpel Suara Indonesia merangkap pimpinan pemasaran dan iklan," katanya sambil mengambil kertas dan mencabut ballpoint di saku saya. Begitulah, mulai hari itu saya pimpinan Suara Indonesia.
Terkejutkah saya? Tidak, saya sudah tahu karakter Dahlan. Tapi saya yakin Dahlan tidak menyangka kalau kesempatan itu saya gunakan untuk menanyakan " gonjang ganjing" nya redpel Jawa Pos. Lho..ya pasti saya menanyakan peluang sahabat saya Sholihin. " ndak..tahu," jawabnya sambil mengangkat bahunya. Sekali lagi, saya tidak kaget mendengar jawaban Dahlan.
Tapi yang pasti saya tidak mengira sejak saat itu saya "berpisah" dengan Sholihin. Tapi karena Suara Indonesia harus cetak di Karah Agung, maka tak disangkal kalau bertemu, pasti Sholihin memeluk sambil bernada canda," wah kalah maneh aku, sampeyan lebih dulu jadi redpel"
"Ya...tapi bulan lalu kita khan bareng dapat mobil sedan baru," sambut saya. Kami pun tergelak.
Nah, tertawa bareng Sholihin itulah dari hari ke hari sampai bulan ke bulan berikutnya sudah jarang tergambar lagi. Kami masing masing disibukan oleh pekerjaan. Tapi selang beberapa bulan kemudian di pertengahan tahun 1990 saya mendengar sahabat Sholihin bersama tiga redaktur senior yang lain diangkat sebagai Redpel.
Sementara itu setelah enam bulan menjabat Redpel di Suara Indonesia, saya diangkat menjadi Pemimpin Redaksi/ Wakil Pemimpin Umum Majalah Liberty. Artinya juga memimpin pemasaran dan iklan di anak perusahaan ke tiga Jawa Pos itu
Dengan begitu kantor Liberty yang berada di Jalan Pahlawan semakin jauh dari markas Jawa Pos.
Jauh memang, tapi seperti biasa hampir setiap bulan saya harus melapor ke Dahlan soal" merah biru" nya majalah yang saya pimpin.
Lha..itu dia, setiap bulan pasti bertemu Sholihin dan seperti biasa kami berdua lantas tertawa renyah " Waduh aku kalah maneh..sampeyan wis Pimred, " ujarnya. Dan ngakak lagi.
Sungguh, saya sendiri tidak mengira kalau suatu ketika di depan teman teman redaksi mengumumkan bahwa saya adalah Reporter Pertama Jawa Pos yang berhasil mencapai jenjang Pemimpin Redaksi. " Sampeyan pancen tokoh informal kok," selorohnya yang disambung dengan tawa khasnya. Dan tawa itu terpaksa terhenti karena Sholihin dipanggil Dahlan. Saya tidak tahu dan tak ingin tahu. Tapi yan pasti akhirnya Margiono yang diiangkat jadi Pemimpin Redaksi Jawa Pos. Kecewakah Sholihin
O..jangan salah sangka, tak secuwil pun bapak dua orang anak ini kecewa. Bahkan semakin memperkaya ilmu dengan kuliah lagi. Akhirnya dia berhasil menyelesaikan S2 nya.
Singkat cerita di tahun 1995, pada akhirnya Sholihin diangkat menjadi Pemimpin Redaksi Jawa Pos, menggantikan Margiono. "Cak saiki podo Pimrede..cak," celetuknya suatu ketika. Saya pun tak kuasa menahan derai tawa.
Namun seiring timbul tenggelamnya matahari, karir seseorang pun demikan. Sholihin di awal awal tahun 1998 terpaksa mengundurkan diri dari Jawa Pos. Terus terang saya tidak tahu persis penyebabnya. Yang pasti lelaki yang badannya bertambah subur ini, tiga tahun lalu pernah menjabat Komisaris Bulog di saat Menteri BUMN dijabat Dahlan Iskan.
Memang hampir semua jabatan itu membawa kesibukan dan kepenatan tersendiri. Apalagi Sholihin yang hampir 15 tahun mengidap hipertensi
Tak pelak lagi, suatu pagi di tahun 2013 sahabat saya ini terkulai tak berdaya. Stroke!
Akh, karena kesibukan saya dan keterbatasan komunikasi dengan teman-teman lama, maka baru tujuh bulan lalu saya bisa menjenguknya di rumahnya di Sidoarjo. Terus terang saya kaget, ternyata daya tangkap naupun gaya bicaranya masih seperti dulu. Jernih dan tangkas. Hanya raganya yang sulit digerakkan. Sholihin masih cerdas, ketika itu.
Tapi belakangan sekitar satu bulan lalui, saya mendapat informasi dia dirawat di sebuah sakit di Delta Surya, Sidoarjo. Ketika dijenguk Slamet Oerip Prihadi dan K. Sudirman serta teman teman Cowas JP lainnya ternyata dia sempat nyeletuk; "Wah Cak Koes itu wis tuwa sik nggawe jin. Kalah maneh aku,"
Celetukan sahabat itu menunjukkan betapa masih jernihnya daya ingatnya. Sementara saya sendiri sudah lupa mengenakan apa ketika menjenguk dia dulu itu. Ternyata benar saya mengenakan baju dan celana jin. Itu pun setelah saya buka album foto di HP saya. Luar biasa Sholihin!
Namun, pada akhirnya cerita ini juga akan berujung. Bayangkan, betapa bergetarnya hati saya ketika hari Jumat lalu, WA di HP saya memberi tanda. Ternyata tanda itu tanda duka. Sholihin Hidayat meninggal dunia setelah dirawat dua hari di Rumah Sakit Husada Utama Surabaya. Saya pun bergumam sendiri: "Hin..kali ini kamu yang menang. Kamu lebih dulu bisa menyaksikan indahnya taman sari di alam sana" (*)