COWASJP.COM – MASA-MASA belajar di SMP bagi Dwi Soetjipto juga dikenang sebagai masa ketika ia mulai berkenalan dengan olahraga bela diri.
Ia menuturkan, sejak kecil ia merasa ibunya sangat protektif terhadap dirinya. Ia juga dikenal cengeng, gampang menangis. Berbagai hal dilarang oleh ibunya. Ikut renang bersama teman tidak boleh, apalagi sampai bertengkar atau berkelahi. Kalau ibunya tahu dirinya bertengkar dengan seorang anak tetangga, misalnya, ia akan langsung dimarahi. Tidak peduli dirinya salah atau tidak.
BACA JUGA: Makan Enak Saat Idul Fitri dan Ada Sesajen di Kuburan
Perhatian ibu terhadap dirinya dirasanya begitu tinggi, terutama ketika ia sakit. Dari sikap dan perlakuan ibunya itu, Dwi Soetjipto masih ingat hingga sekarang bagaimana resep-resep yang digunakan ibunya untuk menyembuhkannya secara darurat. Pernah ia sakit mata dan oleh ibunya disembuhkan dengan olesan air kencing.
“Sampai sekarang ternyata masih ada orang yang menggunakan resep tersebut,” tutur Dwi.
Dalam pada itu, kondisi fisiknya yang kecil membuat dia sering jadi kalah-kalahan oleh teman-teman sebayanya di Krembangan, kampung yang banyak dihumi oleh orang-orang Madura dan Ambon.
BACA JUGA: Majikan Ibunya Seorang Tionghoa yang Baik Hati
Kebiasaan membawa clurit dan senjata tajam lainnya masih tinggi ketika itu.
Oleh karena itu, ketika ada teman mengajaknya ikut latihan olahraga bela dirinya, dia pun bersedia.
Semula Dwi ikut latihan karate, bahkan hingga sekitar satu setengah tahun. Merasa bosan, ia berhenti dan mencari olahraga bela diri lainnya. Pernah ia mau mendaftar olahraga Kempo, di mana para pesertanya berlatih di SMAN 6 Surabaya. Tetapi niat itu diurungkan, karena ia merasa anak-anaknya sombong dan ekslusif.
Akhirnya seorang teman bernama Peter mengajaknya berlatih silat Perisai Diri yang kabarnya ada di SMPN 5 di Jalan Rajawali. Ketika mereka kesana, ternyata latihannya sudah pindah ke kompleks SMAN di Jalan Wijaya Kusuma.
Begitulah, meskipun cukup jauh, Dwi Soetjipto akhirnya mendaftarkan diri dan mengikuti latihan-latihannya secara rutin. Pelan tetapi pasti, kepercayaan dirinya makin hari makin meningkat. Ia tidak lagi merasa minder dan takut berkumpul orang-orang dengan beragam tingkah laku betapa pun besar fisiknya.
Kesadaran Dwi Soetjipto atas kerja keras orangtuanya untuk menyekolahkan anak-anaknya juga makin meningkat. Cita-cita mereka sebenarnya tidak muluk-muluk. Mereka hanya menginginkan anak-anaknya harus memiliki kehidupan lebih baik dari mereka. Mereka punya cara sendiri-sendiri untuk membantu anaknya. Ayahnya, misalnya, sering melakukan ritual-ritual tertentu, seperti puasa mutih berhari-hari, puasa Senin Kamis, dan sebagainya. Ini membuat Dwi tidak ingin mengecewakan orangtuanya.
Terutama pada ibunya, rasa hormatnya benar-benar makin meningkat karena ia menyadari betapa ibunya telah bekerja keras: menjadi pembantu rumah tangga. Pengalaman ibunya benar-benar melekat dalam benak Dwi Soetjipto dan mempengaruhi sikapnya di kemudian hari.
Dwi mengatakan, setiap kali ibunya berbicara pada dirinya, ia akan takjim mendengarkannya. Setiap permintaannya akan dicoba untuk dipenuhinya, tidak ada kata tidak. “Saya akan selalu berusaha membuat ibu saya senang. Di kemudian hari, setiap kali saya akan melakukan sesuatu yang penting atau berat, saya biasa meminta ibu untuk melangkahi tubuh saya. Ini tradisi Jawa yang sudah lama ada dalam masyarakat,” kata Dwi. “Setelah saya dilangkahi ibu saya, perasaan saya makin mantap dalam melangkah.”
“Ya, saya memang sangat mengagumi ibu saya,” tambah Dwi pula.
Masuk “Sekolah Urakan”
Lulus dari SMPN 2 Kepanjen, Dwi Soetjipto mendaftarkan diri ke SMAN 8 yang berada di belakang Penjara Kalisosok. Setelah mengikuti tes masuk, dia dinyatakan diterima.
Foto: Alumni SMPN 2 Kepanjen
Di antara alasan utama Dwi masuk SMA tersebut adalah karena lokasi sekolah yang tidak jauh dari rumahnya di Krembangan Jaya Utara. Sambil bersekolah, dia tetap bisa membantu orangtuanya dalam pekerjaan sehari-harinya.
Seperti aktivitas di luar sekolah selama di SMP, masa di SMA Dwi juga harus bekerja mengantar suratkabar selain menyiapkan roti yang dijual oleh ibunya di Pasar PPI.
SMA 8 ketika itu termasuk salah satu SMA ‘pinggiran’ yang sering disebut sebagai ‘sekolah urakan’. Gedung sekolahnya adalah bangunan milik TNI AL. Pada pagi hari, gedung itu digunakan siswa SMAN 8, siang harinya dipakai para siswa SMA Hang Tuah. Para siswanya terkenal sering membuat ulah yang memusingkan guru-gurunya, misalnya mbolos massal untuk menonton tayangan tinju. Ketika itu sedang jaya-jayanya jago tinju Mohammad Ali.
“SMA ini memang khas, banyak siswanya berasal dari keluarga tentara, polisi, orang-orang Madura dan Ambon,” kata Thamin Sulthon, teman karib Dwi Soetjipto sejak SMA.
Thamim menuturkan, selama sekolah di SMAN 8 Dwi tak pernah neko-neko. Setelah pelajaran usai, ia biasanya langsung pulang, atau mengikuti latihan silat, di mana ia mulai melatih para yuniornya.
Hal lain yang diingat Thamim, sejak SMA Dwi mulai aktif mengikuti kegiatan keagamaan di sebuah masjid kecil di Krembangan. Sehari-hari ia ikut membersihkan masjid tersebut dan bahkan sering tidur di tempat ibadah itu. Dwi juga biasa berpuasa tiap hari Senin dan Kamis.
Foto: istimewa
Menurut Thamin pula, Dwi Soetjipto memang tipe anak cerdas. Ia mengatakan, dirinya jarang melihat Dwi belajar hingga berlama-lama. Hanya saja, saat di sekolah ia mengikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh. Setelah itu Dwi tampak telah menguasai apa yang diajarkan oleh gurunya. Sering teman-temannya bertanya dan Dwi dengan senang hati menjelaskan hal-hal yang ditanyakan.
Setelah menginjak kelas 3, Thamim, Dwi dan dua teman lainnya, M. Nasdjib dan Eddy Suparto, mengikuti bimbingan belajar (Bimbel) di Al Irsyad. Mereka mengikuti bimbingan belajar pelajaran-pelajaran IPA tersebut dua kali seminggu, waktunya malam hari setelah salat Isyak. Para pengajarnya adalah mahasiswa-mahasiswa senior ITS. Pesertanya ada sekitar 40 anak. Masing-masing peserta hanya membayar Rp 200 per bulan.
Thamim masih ingat beberapa pengajar di Bimbel Al Irsyad tersebut. Di antaranya adalah Hasan Baradja dan Sofyan Mahfud. Nama terakhir ini di kemudian hari menjadi CEO Medco Group.
Di bimbingan belajar itu Dwi makin menunjukkan kemampuannya. Dia paling cepat memahami soal-soal seperti fisika dan matematika yang sulit. Dwi sendiri mengakui, dia mulai memahami benar seluk-beluk yang berkaitan dengan matematika dan fisika setelah mengikuti bimbingan belajar tersebut. Dia merasa, para mahasiswa senior ITS yang memberikan bimbingan belajar tersebut sangat menarik dan mudah dimengerti. “Saya benar-benar bersyukur bisa mengikuti bimbingan belajar tersebut. Saya jadi sangat bersemangat dalam belajar,” tutur Dwi pula.
Menurut Thamim, meskipun intensitas belajar di kelas 3 meningkat, tetap saja “Empat Sekawan” tersebut sering bepergian bersama. Di waktu libur, kadang mereka berboncengan naik motor ke Malang lewat Kandangan, Kediri, kemudian pulang lewat Lawang dan Pandaan.
“Kami berempat memang berteman akrab. Sampai-sampai makan pisang pun, kalau pisangnya cuma dua biji, ya dibagi separo-separo,” kata Thamim Sulthon..
Lulus SMA, keempatnya melanjutkan ke perguruan tinggi, semua di PTN. “Saya, Dwi, dan Eddy Suparto masuk jurusan kimia ITS, Nadjib milih farmasi di Universitas Airlangga,” kata Thamim. “Tetapi seingat saya, Pak Dwi juga diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Unair, namun ia memilih kimia ITS,” tambahnya. (*)
Baca berita terkait lainnya di CoWasJP.com