Memahami Proses Penafsiran Al Qur'an

COWASJP.COM – ockquote>

pengantar-cowas1jtX35.jpg

SESUNGGUHNYA, memahami dan menafsiri Al Qur’an tidaklah sederhana dan instan. Butuh proses panjang seperti pada proses sains. Dimulai dari asumsi, hipotesa, teori, sampai menjadi hukum sebagai kesimpulan tertinggi.

Bedanya dengan sains, adalah pada apa yang akan dibuktikan dan diformulasikan. Pada sains, yang dibuktikan adalah ‘kebenaran alam’. Sedangkan pada ilmu tafsir, yang dibuktikan adalah ‘kebenaran kitab suci’. Dalam terminologi Islam, keduanya disebut sebagai ayat. Kebenaran alam disebut sebagai ‘ayat kauniyah’. Sedangkan kebenaran kitab suci disebut sebagai ‘ayat qauliyah’.

Maka ketika seseorang melakukan proses penafsiran terhadap suatu tema di dalam Al Qur’an, sudah semestinya ia meletakkan asumsi terlebih dahulu. Kemudian, dia kumpulkan ayat yang terkait dengan tema tersebut, sebanyak-banyaknya. Setelah itu, dia mesti menyusun sebuah hipotesa tentang tafsir yang dia perkirakan, berdasar kajian bahasa dan realitas terkait.

Adalah sangat riskan, ketika ‘hipotesa penafsiran’ dilakukan hanya dengan mengkaji satu dua ayat. Sementara, ayat-ayat yang terkait berjumlah puluhan atau bahkan bisa ratusan. Belum lagi, kajian teori-teori yang terkait  dengan realitas tersebut.

Termasuk soal “gunung sebagai pasak agar bumi tidak berguncang” itu. Di tingkat hipotesa pun sudah harus memenuhi persyaratan secara kajian bahasa, misalnya. Karena, kalau diteliti lebih jauh, penggunaan kata ‘rawasiya’ untuk menyebut ‘gunung’, dan ‘laqaya’ untuk makna ‘menancapkan’, itu masih menimbulkan diskusi panjang. Serta, memiliki sejumlah makna yang bisa memiliki konsekuensi berbeda di tingkat penerapan.

Misalnya, istilah untuk gunung lazimnya adalah ‘jabala’. Tetapi, kenapa dalam Qs. 16: 15 itu, si penafsir menerjemahkan kata ‘rawasiya’ dengan makna gunung? Padahal arti harfiah dari kata ‘rasaa’ (akar kata dari ‘rawasiya’) adalah “kekuatan yang mengokohkan, meneguhkan, melabuhkan”.

Belum lagi kata ‘alqay’ yang memiliki akar kata ‘laqaya’ yang memiliki arti harfiah “mempertemukan, meletakkan, menempatkan, membengkokkan kedua ujung hingga bertemu”. 

Sehingga, Qs. 16: 15 yang berbunyi: “wa alqay fil ardhi rawasiya an tamida bikum” itu secara bahasa bisa diterjemahkan: “Dan Dia meletakkan/ menempatkan/ membengkokkan kedua ujung hingga bertemu, di Bumi suatu kekuatan yang mengokohkan/ meneguhkan/ melabuhkan agar bumi tidak berguncang bersamamu”.

gunung1MOxST.jpg

Struktur kalimat semacam ini tentu sangat terbuka untuk ditafsiri secara bahasa. Karena itu, mesti dikaitkan dengan teori-teori Geologi secara empiris. Misalnya, gaya-gaya apakah yang menjadi penyebab bumi ini berguncang. Dalam ayat tersebut menggunakan istilah ‘tamiida’, yang berasal dari akar kata ‘maada’, yang sesungguhnya memiliki makna harfiah “bergoyang/ berputar/ beredar”. 

Jadi, betapa tidak sederhana sesungguhnya menafsiri Al Qur’an. Itupun baru dari segi bahasa. Langkah selanjutnya adalah melengkapi hipotesa tersebut secara empiris, agar pemahaman yang diperoleh ‘membumi’. Misalnya, apakah guncangan itu disebabkan oleh putaran bumi yang tidak seimbang? Ataukah oleh desakan magma dari dalam perut bumi yang keluar dari kawah gunung berapi? Ataukah oleh gerakan lempeng bumi selama jutaan tahun sebagaimana diceritakan oleh teori Continental Drift yang tabrakannya menyebabkan terbentuknya gunung-gunung? Semua itu masih perlu dikaji secara mendalam untuk membentuk ‘hipotesa penafsiran’.

Setelah itu, ‘hipotesa penafsiran’ tersebut harus lolos uji empiris agar menjadi sebuah ‘teori penafsiran’. Dan kelak akhirnya menjadi sebuah hukum atau formula yang bisa difatwakan kepada umat.

Salah satu contoh konkret tentang proses ini, adalah apa yang telah dilakukan oleh Prof Abdussalam ketika beliau berhasil memformulasikan Gaya Electroweak yang diganjar Noble Prize itu. Menurutnya, formula itu diperolehnya setelah memperoleh inspirasi dari Qs. Al Mulk (67): 3-4 yang bercerita tentang keseimbangan jagat raya. 

Proses penafsiran yang benar telah mengantarkan Abdussalam kepada sebuah kesimpulan yang benar pula terhadap makna ayat dalam kitab suci Al Qur’an. Nah, Cara yang sama bisa diterapkan untuk masalah-masalah sosial, politik, hukum dan berbagai masalah kemasyarakatan lainnya. 

Karena itu, kita harus berani memosisikan diri untuk melakukan penafsiran secara ilmiah terhadap kitab suci. Bukan untuk mencocok-cocokkan, melainkan untuk memahami isinya sebagai guidance bagi kehidupan seorang muslim yang telah mengikrarkan diri untuk mengimaninya. (*)

# Kutipan diskusi saya dalam grup WA alumni Teknik Nuklir UGM, saat ada pertanyaan skeptis terhadap kebenaran Al Qur'an. Siapa tahu bermanfaat.

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda