Sang Begawan Media

Ganti Kru

Jumlah penumpang kereta api sudah pulih. (FOTO: Tribun Jabar/ Theofilus Richard)

COWASJP.COM – Istri: Nanti malam makan apa?

Suami: Hmmmm.

Istri: Tadi ada tamu tiga orang.

Suami: Hmmm.

Istri: Besok saya tidak senam.

Suami: Hmmm.

Ketika sang istri bicara, sang suami terus memandangi layar HP. Kadang sambil mengerutkan dahi. Kadang tersenyum. Ganti-ganti. 

Sang istri duduk di lantai –sambil melipat baju dan celana yang baru diambil dari tempat jemuran. Sudah hampir dua tahun baju-baju itu tidak pernah disetrika. Ups... Selalu disetrika kok. Disetrika pakai tangan, sekalian sambil melipatnya.

Dia terus mengajak suaminyi bicara.

Sang suami juga terus mendengarkan dengan baik –sambil terus memandangi layar HP dengan baik. Juga masih sempat terus memberikan komentar ”hmm”. Apa pun kalimat sang istri, jawabnya ”hmm” itu. 

Sang istri sudah tahu: apa yang lagi dipelototi suaminyi –komentar pembaca di Disway. Yang kian banyak itu.

Saya pun mencomot salah satu celana dalam yang baru saja disetrika-tangan oleh istri. Juga kaus dalam. Saya bawa ke kamar mandi.

”Saya mau ke Jakarta,” kata saya.

”Kapan?”

”Sekarang.” 

”Naik apa?”

”Hmmm....”

”Jalan darat lagi?”

”Kali ini naik kereta api. Berangkat dari Stasiun Pasar Turi jam 21.05,” jawab saya.

Saya tidak tahu istri saya makan apa malam kemarin. Saya harus segera ke stasiun. Perlu perjalanan satu jam.

Dua jam sebelumnya saya sudah tes antigen. Di ruko dekat rumah –hanya satu lemparan apa pun: Rp 80.000. Dapat bonus masker satu lembar.

Teman rombongan saya tes antigen di drive-through: Rp 90.000. Satunya lagi tes di dekat rumahnya: Rp 60.000. Ada yang tidak sempat tes. Pilih melakukannya di stasiun: Rp 45.000.

Malam itu saya harus naik kereta api. Saya hanya akan satu hari di Jakarta. Kalau pakai mobil, terlalu lelah mengemudi Surabaya–Jakarta pp. Sekalian ingin tahu: sudah seberapa maju kereta kita.

disway-Ganti-Kru-2.jpgFoto kenangan 23 Desember 2011, Menteri BUMN Dahlan Iskan berada di atas kereta commuter line yang membawanya dari Manggarai menuju Stasiun Bogor. (FOTO: detik.com)

Sebenarnya saya ingin mencoba kelas luxury. Yang kursinya besar. Yang bisa disandarkan. Pasti nyaman. Ini kelas baru. Dulu tidak ada.

Gagal.

Kelas luxury itu tinggal satu kursi. Saya merasa tidak enak sendirian di kelas tersebut. Satu kursi itu pun terjual cepat. Padahal, saya akhirnya setuju sendirian di situ. Umur saya sudah 70 tahun. Harus bisa istirahat lebih baik di waktu tidur.

Kepala stasiun menyambut saya di depan stasiun. Tapi, saya sudah di ruang tunggu. Sambil meneruskan mengirim komentar terpilih.

Saya pun diminta pindah ke ruang tunggu VVIP. Sambil ngobrol soal kemajuan kereta api. ”Jumlah penumpang sudah pulih,” ujar Suharianto, sang kepala stasiun yang asal Yogyakarta itu.

Ternyata kelas luxury memang selalu penuh. Padahal, harga karcisnya lebih mahal daripada naik pesawat: Rp 1.050.000.

Saya memuji ide lahirnya kelas luxury tersebut. Itu bisa menaikkan brand KAI. 

Ternyata, kelas itu, secara pendapatan, lebih rendah daripada kelas eksekutif. Di gerbong luxury, isinya hanya 18 tempat duduk. Hitung sendiri. Sedangkan untuk kelas eksekutif, bila penuh, menghasilkan Rp 28 juta/gerbong.

Sudah begitu lama saya tidak naik kereta api: 6 tahun? Sekitar itu. Ternyata tetap terjaga baik. Tetap bersih sekali –pun toiletnya. 

Bahkan, tempat duduk eksekutif itu sudah berubah: bukan lagi kain khusus. Sudah diubah jadi semacam plastik khusus. Atau kulit sintetis. Itu lebih baik. Lebih sehat. Tidak menyerap debu.

Saya lihat ada dua tempat duduk kosong di depan saya. Saya pindah ke situ: bisa tidur mlungker. Yang penting, punggung bisa ditaruh terbaring. Lumayan. 

Kalau toh malam itu saya kurang bisa tidur, mungkin ada penyebab lain: Liverpool kalah. Atau karena wifi saya kurang kuat. Pertandingan tengah malam itu sering putus. Saya coba pindah ke wifi gratis yang disediakan KAI –lebih parah lagi. ”Wifi gratis ini buang-buang uang. Tidak ada penumpang yang pakai. Lemot sekali,” ujar penumpang di belakang saya.

Pukul 05.00 kereta sudah tiba di Jakarta-Gambir: 7 jam 55 menit. Rasanya sulit lebih cepat dari itu: biarpun relnya sudah ganda. Atau, jangan-jangan ditemukan ide baru lagi: agar investasi rel ganda itu lebih bermakna.

”Kenapa harus berhenti di Bojonegoro?” tanya saya.

”Bu bupatinya minta terus. Kan ada minyak bumi di sana,” ujar Suharianto.

”Kenapa berhenti di Semarang?”

”Cukup banyak penumpang dari Semarang.”

Mungkin itu dulu. Sebelum ada jalan tol. Sekarang bisa beda. Saya lihat, di gerbong saya, hanya dua orang yang naik dari Semarang.

Saya setuju ada kereta yang berhenti di Bojonegoro, Semarang, dan di mana pun. Agar ada keadilan. Itu bisa diatur: kereta apa yang harus berhenti di mana. Tidak semua kereta berhenti di semua kota.

”Kenapa berhenti lagi di Pekalongan?” 

”Harus ganti kru.”

”Kenapa harus ganti kru? Kan cuma 8 jam?”

”Peraturan menterinya begitu.”

”Saya paham. Itu demi keselamatan. Tapi, kenapa tidak membawa kru ganda saja? Gantian tidurnya?”

”Peraturannya yang harus diubah.”

Kereta masih berhenti lagi di Cirebon. Mungkin banyak penumpang yang turun di  Cirebon. Saya tidak mengamati. Pertandingan baru saja selesai. Saya harus tidur. Tinggal ada waktu tidur tiga jam. (*)

 

Penulis: DAHLAN ISKAN, Sang Begawan Media.

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Artikel Berjudul PCR Karantina

WYG 2021

Jangan melihat hanya dari perspektif Pengusaha, Artis (Rachel Venya) yang memang berprinsip Time is Money bagaimana dengan puluhan ribu PMI yang pulang dari negara tempatnya bekerja yang pemerintahnya kuwalahan menahan pandemi seperti negara tetangga Jiran Malaysia, apakah memang perlu relaksasi import varian baru covid setelah negara Kliwon dipuja puji manca negara sukses menangani pandemi????

mBahJoyo L

betul .. PCR negatif bikin ruwet kan .. coba kalo hasilnya positif .. gak akan ruwet ... wkwkwkwkwk ..... (kabuuuuur) ...

Anak Alay

ndak bolèh géto  MbahJo . .. . nyang negatip ajah krena kabur terancam  bui setahun  , palagi dah positip . .. .  kabuuuuur

CJ DW

Itulah pengusaha, suka membanding bandingkan mana yang baik dan mana yang lebih baik.  Itulah petugas digaji untuk mematuhi peraturan, ya sudah benar. Tapi koq jam 12 malam lewat sudah boleh keluar? kan mestinya jam 8 pagi atau jam 10 baru boleh, sesuai jam kerja .. Ah, jangan jangan petugasnya lagi lembur.

Andry

siapa pun nahkodanya, kapal besar bermuatan penuh yg sudah melaju sekian lama ke satu arah, tentu tidak mudah & tidak bisa instan untuk menghentikannya, apalagi untuk berbalik arah. jika revolusi mental berhasil, saya kira hasilnya baru akan terasa setelah semua generasi bermental bobrok sudah expired. entah kapan. mungkin bisa instan,  jika ada seorang diktator yg baik hati, lurus & benar. tp saya kira sangat sulit mencari diktator seperti itu. jika ada pun, pasti kediktatorannya akan segera tumbang, diserang dr berbagai arah oleh pihak2 yg terganggu kenyamanannya dng alasan menegakkan demokrasi atau alasan lain. hasilnya menjadi lebih kacau. sesuatu yg instan hanya membawa kerusakan. hal baik hanya bisa diperoleh dengan kesabaran.

Muashomah Himam

Apapun yang terjadi, Indonesia tetaplah negeriku. Tumpah darahku. Siapapun pemimpinnya, kami tetap berdo'a: semoga negeri ini menjadi baldatun thayyibatun warabbun ghafur.

padas gempal

Nyanyi yuk.. Penindasan, serta kesewenang wenangan... Banyak lagi, teramat banyak untuk disebutkan.... Hoi hentikan, hentikan jangan diteruskan... Kami muak dengan ketidak pastian dan keserakahan..(Bongkar, Swami)

Amat

Orang bawah seperti saya ini, rakyat jelantah, terserah yang di atas saja. Kalau kata yang di atas begini, ya begini. Saya bisa apa? Bisanya cuma mencintainyi (bukan -nya). Yang di bawah emang begitu, cuma dikit enaknya, Leong tahu itu. Tapi Banyak tidak enaknya. Pokoknya, "Apa jar pian, inggih jar ulun."

Pryadi Satriana

Di lingkungan birokrasi, masalah yg datang dari bawah mudah diselesaikan, tapi kalau dari "atas" ya jadi semrawut, kayak benang kusut, sulit diurai. Anda tahu INI: "Dia memang nggak tahu apa-apa, kok," kata seorang menteri. INI keterlaluan. Mau jadi menteri, yang konon pembantu presiden, tapi "kok gitu." Ngono yo ngono, ning yo ojo ngono. "Dia ITU petugas partai," kata seorang ketum partai, yang konon punya bukti "hitam di atas putih" tentang pernyataannya. INI juga ga bener, paling tidak menurut saya. Saat seorang presiden dipilih oleh rakyat, maka presiden ITU adalah presiden seluruh rakyat, termasuk semua ketum partai! Logikanya kan begitu, paling tidak menurut saya. Presiden: "Aku rapopo." Sang menteri juga "rapopo." Sang Ketum ya jelas "rapopo." Yang "klenger" ya "rakyat papa", yang " misuh2 ra karuan liat dagelan ITU.' Adalagi contoh lain: tentang KPK. Konon ada yang ingin melemahkan KPK. Dengan berbagai cara. Akhirnya berhasil (ada yg keplok2: HOOREEE!). Ada kelompok di KPK yang "dibuang." TAPI: kelompok terbuang ITU ada yang "mengambil." INI BUKAN FIKSI: INI NYATA! Inilah contoh "keruwetan di atas," yang jadi biang/penyebab "keruwetan di bawah." Mari kita berdoa: semoga Allah "menyelesaikan" ITU semua, dimulai dengan "keruwetan di atas." "Gusti ora sare." "Aamiin." Semoga Anda sehat selalu. Salam.

Jun

Saya mencoba mengkritisi artikel di atas.

1. Masuk Hotel karantina jam 23.00

2. Aturan karantina 3X24 jam

3. Mau cek out hari ke 3, jam 12.00 Dari fakta yang disajikan, jelaslah sobatnya Dis'way belum memenuhi syarat 3X24 jam. Artinya belum boleh keluar. Seharusnya tidak perlu jengkel atau marah, karena belum memenuhi aturan.

Pertanyaan setelah PCR kenapa masih karantina 3 hari?

1. Menurut The Vaccine Aliance, PRC mempunyai window period rata-rata antara 1 - 3 hari. Artinya jika terpaparnya di pesawat, baru bisa dideteksi setelah hari ke 3.

2. Jika asymptomatic, window periode-nya adalah 1 - 2 minggu

3. Dari hasil studi terakhir, false negative atau negative palsu pada hari pertama terpapar adalah 100%, menurun menjadi 67% setelah 4 hari dan menjadi 38% setelah hari ke 5.

4. Indonesia saat ini adalah presiden dari G-20, nah jika terjadi lonjakan lagi, kemungkinan besar bisa batal itu acara di Bali.

5. Kenapa negara lain boleh? Karena masing-masing negara punya kebijakan sendiri-sendiri dan lagian yang mengijikankan tanpa karantina kebanyakan negara-negara yang punya duwit tanpa seri. .....ups, china masih memberlakukan karantina.. Begitu kira-kira argumennya, jika kita mencoba memakai kacamata pemerintah.....

Disway Reader

Menurut sy, kalau kedatangan dari luar negeri, wajib karantina ketat dan PCR. Kalau sampai kebobolan lagi, terlalu besar risikonya. Wabah ini sudah makan terlalu banyak korban padahal bisa dicegah. Hanya saja ada baiknya "meja" n birokrasinya tidak sebanyak n sepanjang itu.

Ahmad Zuhri

Kita dianggap baik karena aib2 kita itu masih di tutupi olehNya.. Yg hari ini baik, belum tentu besok masih tetap baik.. sebaliknya yg hari ini mungkin dianggap jelek, belum tentu selamanya juga jelek.. Kl bagi saya biasa aja, senang secukupnya, benci juga sewajarnya.. Biarlah waktu nanti yg akan membuktikan.. Salam..

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber : Disway.id

Komentar Anda