COWASJP.COM – ockquote>
CaTaTaN: Slamet Oerip Prihadi
MENGAPA Evan Dimas Darmono dulu begitu cinta kepada keluarga besar Mitra Surabaya (klub amatir di bawah naungan Asosiasi PSSI Surabaya)? Jawabnya: “Ada akar sejarahnya.” Perjalanan Evan Dimas hingga mencapai level pemain muda idola sekarang tidak mulus dan smooth.
Tahun 2010, dia mengalami hari-hari yang membuat dirinya down. Terbanting di titik nadir kepedihan. Dia merasa tercampakkan dalam lintas sejarah kehidupan sepakbolanya. Kemudian mengurung diri di rumahnya. Malas bicara, gampang tersinggung dan marah.
Orang tuanya pun bingung, kemudian menghubungi pengurus Mitra Surabaya. Mereka minta tolong agar pengurus Mitra Surabaya berkenan memberikan pencerahan kembali jiwa dan batin puteranya. Ini terjadi gara-gara namanya dicoret dari daftar nama pemain Indonesia yang diikutkan program SAD Uruguay. Rencana semula 40 anak yang diberangkatkan, tapi tiba-tiba diciutkan jadi 35 anak saja. Dan, Evan masuk dalam 5 anak yang dicoret.
Pencoretan nama Evan Dimas disampaikan oleh Yeyen Tumena, mantan pemain PSSI Primavera yang kini menjadi komentator TV. “Tidak dijelaskan secara pasti apa penyebab tercoretnya Evan Dimas,” tutur
Persoalannya adalah Evan Dimas sudah terlanjur mengurus segalanya untuk keberangkatan ke Uruguay. Surat dispensasi satu tahun tidak mengikuti pelajaran di sekolahnya sudah di tangan. Selamatan bersama keluarga dan para tetangganya telah dilakukan. Tas baru untuk pakaian dan berbagai peralatan yang perlu dibawa sudah disiapkan. Dia sudah pamitan kepada keluarga besar Mitra Surabaya, termasuk anak-anak SSB Mitra. Pamitan tetangga, pamitan teman sekolah dan para gurunya.
Tapi ..... tiba-tiba semuanya buyar!
Bagi anak seserius Evan Dimas yang waktu itu masih berusia 15 tahun, kabar buruk ini merupakan pukulan menghancurkan. Buyar sudah semua impian dan harapannya!
Maka, orang tuanya pun mengantarkan Evan Dimas ke markas Mitra Surabaya yang berlokasi di sebuah bangunan kecil di halaman depan SMP Hayam Wuruk, Jalan Lidah Wetan, tak jauh dengan Lapangan Poral (home ground Mitra Surabaya).
Berhari-hari Evan Dimas tinggal di markas Mitra. Berbagai upaya dilakukan untuk mencerahkan kembali batin Evan. Sampai suatu saat, Evan Dimas diajak oleh tim pelatih Mitra Surabaya dolan ke Gedung Futsal milik Mursyid Effendi di Bonowo (kawasan barat Surabaya) sana. Di bagian belakang lapangan futsal ada cafe dan kolam renang. Di situlah mereka cangkrukan sambil ngobrol.
Namun, Evan tetap saja malas bicara. Tak pernah tertawa, bahkan senyum pun tidak. Wajahnya murung dan murung. Bagaimana ya cara untuk membuat Evan Dimas bisa tersenyum dan tertawa lagi? Tak terasa malam kian larut. Semua pelatih Mitra masih setia menemani Evan. Tiba-tiba ada yang berinisiatif membeli minuman bir.
Sabaruddin Nasution, satu-satunya pelatih Mitra Surabaya yang minum paling banyak. Sampai mabuk. Udin Kabo – sapaan akrab Sabaruddin Nasution – dikenal sebagai orang yang tak bisa berbisik, karena suaranya keras dan lantang. Tapi dia jenaka. Nah, di saat mabuk itulah bicaranya nyerocos ke berbagai arah. Tapi anehnya, ulah dan cerocosan Udin Kabo inilah yang berhasil membuat Evan merekah senyumnya, bahkan mekar pula tawanya. Acara melekan itu berlanjut sampai pukul 03.00 dinihari. Yang penting wajah Evan telah ceria. “Ternyata cara ini yang bisa menjadi pencerah hati Evan Dimas,” tutur Almarhum Eko Prayogo, pelatih paling senior Mitra Surabaya waktu itu.
Sejak itulah terlihat Evan bangkit kembali gairah hidupnya.
Kisah ini pasti tak akan terlupakan bagi Evan Dimas. Para pelatih dan pengurus Mitra tak hanya mendampingi dirinya saat latihan di lapangan. Ketika dirinya terpuruk dan tercampakkan di luar lapangan pun para guru bolanya itu dengan tulus mendampingi
Jelas sudah bahwa perjalanan Evan Dimas sampai mencapai posisi Kapten Timnas U-19 dan kini pemain Timnas Senior bukanlah perjalanan yang mulus. Dia pernah merasa remuk. Namun, mungkin seperti itulah cara Allah SWT menempa jiwa dan raga Evan Dimas untuk kelak menjadi lelaki dan pemain sepakbola yang tegar dan berprestasi.
*****
Foto: JATIM TIMES
Tak hanya kepada Evan para pelatih Mitra siap mendampingi di dalam dan luar lapangan. Kepada pemain-pemain lainnya pun dilakukan hal yang sama. Tidak ada anak emas, tidak ada anak tiri.
Tapi, karena yang diceritakan sekarang adalah Evan, maka fokusnya pada Evan. Evan Dimas bergabung SSB Mitra Surabaya sejak tahun 2008, ketika usianya masih 13 tahun. Semula dia bergabung SSB Sakti (Sasana Bhakti). Talentanya sudah terlihat jelas.
“Visi dan misi bermain sepakbolanya sudah terlihat. Dia bermain untuk tim. Inilah pemain yang kita cari dan kita inginkan. Seorang pemain boleh saja hebat dalam dribbling dan ball skill. Tapi kalau dia bermain untuk dirinya sendiri, apa manfaatnya buat kesebelasan sepakbola. Evan tahu apa yang sebaiknya dilakukan saat membawa bola dan tidak membawa bola,” tutur Mursyid Effendi.
Karena itu, ketika usia Evan Dimas masih 14 tahun, Mursyid Effendi berani mempromosikan Evan masuk tim senior Mitra Surabaya yang waktu itu masih berada di Kelas 1 Kompetisi Internal Persebaya.
“Meskipun paling muda, tapi Evan tidak merasa rendah diri terhadap para pemain yang jauh lebih tua. Dia cepat beradaptasi dengan pemain-pemain yang lebih senior. Sejak kecil dia tidak segan-segan bertanya kepada pelatih.Misalnya suatu saat pelatih mengatakan, hai Evan mestinya kamu jangan melepas bola dulu. Tahan sejenak untuk menunggu pemain sayap naik. Evan langsung bertanya, mengapa harus begitu pak?” kisah Mursyid.
Umumnya bocah-bocah SSB tidak pernah bertanya ketika dibrifing pelatihnya. Tapi Evan tidak. Setiap kali ada hal yang menurut dirinya kurang jelas, dia akan selalu bertanya kepada siapa pun pelatihnya.
Kedekatan batiniah Evan Dimas dengan Aba – begitu Evan kalau memanggil Mursyid Effendi – tak hanya mengakar ketika dirinya merasa tercampakkan empat tahun silam. Masih ada peristiwa-peristiwa berikutnya yang membuat Evan merasa para pelatih Mitra sebagai orang tuanya sendiri.
Sebab, bila karena satu dan lain hal Evan Dimas memutus hubungan kekeluargaannya dengan Mitra Surabaya, sama saja dengan insan yang melupakan guru sejatinya. Kalau toh ada permasalahan kan bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Seperti dulu ketika Evan jatuh di titik nadir! *