COWASJP.COM – ockquote>
MEMANG asyik. Apalagi soto milik Slamet ditemani secangkir kopi susu, yang sekali sekali dituang ke lepek. Sungguh, pertemuan hari itu penuh nostalgia dan olok olok selalu berderai, mulai dari usia, kumis sudah putih sampai gigi yang sudah tanggal semua. Sementara Yu Sri yang ternyata selama ini tinggal di Bogor, ikut terkekeh- kekeh mendengar Slamet dan saya berseloroh tentang masa lalu.
Tapi di sisi lain, titik pembicaraan kami, akhirnya berujung pula pada pembicaraan serius soal reuni. Apalagi, waktu itu kita sudah kehilangan sosok senior kita Imam Sujadi (74 tahun) yang meninggal di rumah keluarga di Pakis Gunung Surabaya yg kini terlihat kusam. Terus terang, meninggal dunianya mantan Wapimred/ Wakil Direktur Jawa Pos 1983 - 1989 itu sungguh semakin memacu energi kami yang sudah keriput ini. Karena di saat beliau sakit hampir sebulan hanya sekali sekali tiga empat orang mantan Jawa Pos yang menengok. Itu semua karena tak adanya perekat yang bisa menyambung tali silaturahim antarsahabat lama yang pernah mengabdi di Jawa Pos.
Begitulah, pada pembicaran hari itu kami masih terfokus pada ke mana harus mencari teman-teman lama, terutama tidak hanya teman-teman perintis Jawa Pos atau generasi Kembang Jepun. Tapi juga generasi Karah Agung sampai generasi Graha Pena. Dan tentu saja dialog kami pun berkembang yang berujung ditetapkan reuni antarlintas generasi.
BACA JUGA: Sepenggal Pesan dari Seorang Sahabat Lama (1)
Tapi kapan? Tempat dan biayanya dari mana? Itulah pertanyaan yang sering saya ajukan kepada Slamet dan Yu Srie. Anehnya setiap saya mengajukan pertanyaan yang itu itu juga, Slamet selalu menjawab itu itu juga. "Gampang soal biaya. Khan ada bos Abror dan mas Arif Afandi. Bahkan ada Mas Irawan Nugroho di Amerika Serikat yang selama ini siap mengucurkan dana untuk keperluan para mantan Jawa Pos. Buktinya untuk Pak Imam Sudjadi, hanya lewat kontak Facebook Mas Irawan langsung transfer Rp 1 juta. Sudah tenang saja. Pokoknya mulai sekarang kita cari informasi nomor HP konco konco", tukas Slamet, berulang ulang.
Yu Sri yang sejak awal sudah mulai menginventarisasi nama-nama mengusulkan tempat reuni di salah rumah makan lesehan di kawasan Sidoarjo. Semula saya setuju, tapi agaknya Slamet kurang sreg. Buktinya Slamet terdiam dan lagi lagi menyulut gudang garamnya. Diam diam saya menghitung selama dua jam pertemuan, sudah enam puntung rokok tergolek di asbak. Sehingga hari pertama rapat kecil itu belum bisa menentukan tempat dan tanggal reuni. Rapat pun sepakat ditunda pada tanggal 20 Juli.
Nah, pada pada pertemuan kedua yang juga di hadiri Eko Kletek dan Mister Muhtar lagi lagi belum mampu menentukan tempatnya meski sudah disepakati reuni dilakssnakan pada hari Minggu siang. Tanggalnya? Belum juga berani menentukan karena modal reuni masih ada Rp.500.000. Itu pun dari kocek saya sendiri. Pada akhirnya seperti pertemuan-pertemuan pertama, maka pertemuan kedua ini sepakat kami tunda lagi. Itu pun setelah menghabiskan satu piring tahu goreng yang dibawa oleh Eko Kletek.
Nah, tahu goreng Eko nampaknya semakin membawa gairah pada pertemuan ketiga pada 8 Agustus, karena kami sudah berhasil mengumpulkan 14 nama berikut nomor teleponnya. Tapi khan reuni, masak cuma 14 orang. Ya kalau datang semua. Terus terang, saya kuatir yang datang cuma 10 atau 12 orang. Aduh mak. Jembuk" kata saya dalam hati.
Lagi lagi Suhu tahu kegundahan saya, "Wis mas gak usah kuatir, paling nggak isa wong selawe sing teka," tukasnya. Ya..Sudahlah mas Slamet optimistis. Saya pun manggut manggut. Meski masih ragu juga." Ya wis kita tunggu saja!" Sahut saya. (bersambung).