COWASJP.COM – SUNGGUH, gema kebangkitan Jawa Pos tidak hanya memacu gerak tindakan para awak redaksi, tapi juga di bagian lain. Bukan itu saja, kehadiran Dahlan di kantor yang terletak di Surabaya Utara itu, ternyata menjadi perbincangan hangat di kalangan wartawan yang biasa berkumpul di markas PWI ( Persatuan Wartawan Indonesia) di Taman Apsari Surabaya. Tapi tak seorang di antara teman-teman wartawan itu menyangka bahwa semangat "berani mati" Dahkan akan berhasil mengguncang dunia penerbitan.
Tapi di balik itu semua, sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh para karyawan Jawa Pos terutama redaksi. Betapa tidak, hampir setiap hari lelaki yang konon lahir tanggal 17 Agustus 1951 ini, selalu mengingatkan bahwa Jawa Pos bisa merebut kembali pasar dan melesat hebat, meskipun kini (1982) oplagnya hanya 6.900 exemplar. " Pasar masih terbuka. Ayo kita rebut kembali! Enam tahun yang lalu (1976) oplah kita 25.000," ujar Dahlan waktu itu. Menurut Dahlan, di mana mana koran pagi mestinya lebih unggul. Waktu itu rajanya koran di Jatim adalah harian sore Surabaya Post yg oplagnya mencapai 100.000 exemplar per hari.
Puluhan CoWas (Konco Lawas) atau para mantan JP (Jawa Pos) bersama Dahlan Iskan di Reuni 20 Desember 2015 di kediaman Gus Agus Mustofa. (Foto: CoWasJP)
Koran harian pagi punya masa berlaku dari pagi sampai malam. Waktu pencarian beritanya juga lebih panjang. Misalnya ada peristiwa di atas jam dua siang, ketika harian sore sudah selesai cetak, Jawa Pos bisa lebih unggul dibanding koran sore. Karena peristiwa jam 14.00 sampai pukul 24.00 bisa dimuat di harian pagi Jawa Pos.
"Tapi kenapa kita bisa kalah. Kita harus rebut," ujarnya berkali-kali.
Pompa semangat Dahlan memang luar biasa, tapi di sisi lain, penulisan features yang juga dikenal dengan nama Box itu (karena tulisan features di halaman 1 dan 2 bagian bawah selalu digaris dikontak) selama dua bulan sejak Dahlan memberikan contoh, tampak kurang bisa menular ke teman teman wartawan.
Sungguh, barangkali teman teman sudah imun dengan virus features. Padahal dengan berubahnya wajah Jawa Pos yang dipoles tampilan features itu diharapkan bisa mendongkrak oplah. Karena itu bagi mereka yang benar benar berminat terhadap gaya penulisan baru itulah yang pontang panting. Karena hampir setiap hari selalu " ditagih" oleh Dahlan.
Dari kiri Koesnan Soekandar, Dahlan Iskan, Agus P.M, dan Kholili Indro. (Foto: CoWasJP)
Tapi pada akhirnya setelah tujuh bulan, tanggung jawab penulisan features diserahkan kepada salah seorang wartawan yang konsisten menulis features. Kami semua maklum karena tanggung jawab Dahlan tidak cuma redaksi. Banyak..banyak sekali. Mulai dari percetakan, pemasaran dan iklan. Sehingga itulah yang nengharuskan Dahlan berangkat dari rumah paling pagi dan pulang menjelang pagi pula. Tapi meski begitu, memang sekali-sekali dia mengunjungi rumah wartawannya. Sehingga dia tahu betapa bersahajanya kehidupan para wartawan dan karyawan Jawa Pos ketika itu.
Bahkan suatu malam air mata Dahlan nyaris menetes, karena menyaksikan karyawan percetakan yang kehausan tiba tiba serta merta minum air mentah langsung dari pipa PDAM. Sejak malam itu karyawan percetakan mendapat jatah susu. Sementara itu, Ironisnya Dahlan sendiri tampaknya kurang memperhatikan jadwal makannya. Karena waktunya dihabiskan untuk mengejar oplah. Sungguh makannya tak teratur, bahkan cenderung pemenuhan gizi dan nutrisinya sangat kurang.
Itu terlihat nyata, ketika pada suatu malam, Dahlan yang dikenal cerewet soal tata letak kantor itu, tiba tiba meraih kalender yang terpasang di tembok. Letak kalender itu agak miring ke kanan, tapi karena letaknya ya agak tinggi, tentu saja agak sulit dijangkau.
Tapi Dahlan tak pernah putus asa, dia ngotot. Saat itulah, saya yang menulis berita tepat duduk di bawah kalender menyaksikan dengan jelas ada benda asing di balik baju Dahlan.
Astaga!! Di bagian depan celana cokelatnya, tepat di atas resluiting ada peniti. Peniti itu besar sekali, terlihat mulai berkarat.
Ternyata peniti itu dipakainya untuk memperkecil lebar pinggang celana lelaki yang kelak dikenal sebagai "Raja Koran" ini.
Penulis Koesnan Soekandar dan istri tercintanya. (Foto: CoWasJP)
Melihat kenyataan itu saya segera beranjak pura pura ke toilet. Tak tega rasanya melihat kenyataan itu.
Esok malamnya ketika suasana agak senggang, saya langsung menanyakan turun berapa kilo berat badannya. Tanpa ada beban Dahkan menjawab santai, "Ya kira kira lima kilo. Biasanya 70 kg, mungkin sekarang tinggal 65 kilo".
Memang turunnya berat badan Dahlan rupanya berbuah dengan pesatnya kenaikan oplah Jawa Pos. Bayangkan dalam waktu enam bulan oplah naik menjadi 20.000. Dua tahun kemudian naik menjadi 70.000. Bahkan tahun 1987 Jawa Pos sudah mampu membeli mesin cetak baru, karena harus mencetak oplah 155.000. Luar biasa memang. Begitulah! Akankah Dahlan melupakan peniti itu. Wallahu Allam!*