COWASJP.COM – ockquote>
Menapak awal tahun 2016, kegamangan terasa kian mengembang. Fenomena apakah sebenarnya yang tengah menimpa jagat sepakbola Indonesia sekarang
-------------------------------------------------------------
CaTaTaN: Slamet Oerip Prihadi
MELIHAT gelagat yang menguat, sepakbola Indonesia harus siap dikucilkan dari jagat sepakbola Asia Tenggara, Asia, dan Dunia sampai 2019. Yaitu sampai berakhirnya pemerintahan Pak Jokowi.
Mengapa? Pemerintah, dalam hal ini Kemenpora, tak hanya melabrak PSSI kepemimpinan La Nyalla Mahmud Mattalitti 2015-2019, tapi juga menantang FIFA. Go to hell FIFA!
Semoga prediksi ini salah, karena jika bencana itu yang terjadi, maka tingkat kemerosotan dan “pembusukan” sepakbola Indonesia akan sangat parah.
Yang pasti, target pertama pemerintah berjalan sukses. Yaitu membekukan PSSI – karena KLB PSSI yang dihadiri wakil AFC pada 18 April 2015 akhirnya mendaulat Ir La Nyalla Mahmud Mattalitti sebagai Presiden. (Tulisan kami ini pernah dimuat di Radar Surabaya 6 Desember 2015).
Target kedua juga sukses. Yaitu membekukan segala aktivitas kompetisi di bawah pengelolaan PSSI di semua level. Dengan bantuan Polri, maka tidak ada satu izin keramaian pun yang dikeluarkan untuk semua pertandingan sepakbola di bawah kewenangan PSSI. Mulai dari stratum teratas Indonesia Super League sampai stratum terbawah Liga Nusantara.
Kekuasaan Presiden PSSI 2015-2019 diprotoli. Maka, terhentilah kompetisi ISL yang baru saja melakoni matchday 3. Hanguslah puluhan miliar rupiah para pemilik klub yang sudah terlanjur dikeluarkan untuk uang muka kontrak para pemain dan pelatihnya. Plus biaya tiga pertandingan.
Ratusan klub mati suri. Tak jelas pula nasib kontrak sponsorship QNB (Qatar National Bank) untuk Kompetisi ISL. Kali pertama kompetisi sepakbola Indonesia memperoleh sponsor besar dari mancanegara.
Apakah pemerintah memberi ganti rugi kepada klub-klub? Apakah pemerintah menjamin kelangsungan hidup para pelatih dan pemain yang tidak ikut turnamen-turnamen selama delapan bulan terakhir?
Turnamen-turnamen pelipur lara, seperti Piala Kemerdekaan, Piala Presiden, dan Piala Jenderal Sudirman hanya diikuti belasan klub dan dalam tempo yang singkat. Hanya jadi penghibur sesaat, sementara sakitnya mungkin bakal menahun.
Juaranya tidak berhak mengikuti AFC Cup dan kualifikasi AFC Champions League. Tim nasional Indonesia tidak berhak mengikuti babak penyisihan Piala AFF, Piala Asia, dan Piala Dunia. Bahkan tidak bisa mengikuti arena SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade.
Target ketiga? Tim Transisi maunya mendikte FIFA untuk menggelar Kongres Luar Biasa PSSI versi Tim Transisi dengan susunan kepengurusan yang mereka buat.
Inilah biang kegamangan rakyat sepakbola Nusantara. Terutama bagi para pelaku dan stake holders sepakbola Indonesia yang paham benar tatanan sepakbola internasional.
Para mantan bintang Persebaya ketika seleksi Tim PON Jatim berkumpul di Gelora Delta Sidoarjo tahun lalu. (Slamet OP/cowasjp.com.)
MENGGEBUG DAN DIGEBUG
Tanggal 17 April 2015 Kemenpora membekukan PSSI (hasil KLB 18 April 2015), tanggal 30 Mei 2015 FIFA resmi menjatuhkan sanksinya pada sepakbola Indonesia. Dalam surat resmi FIFA tertanggal 30 Mei itu tidak disebutkan batas waktu sampai kapan Indonesia terkena sanksi?
Inilah akibat intervensi pemerintah terhadap PSSI. Kemenpora menggebug PSSI pimpinan La Nyalla Mattalitti yang disahkan oleh AFC dan FIFA, maka FIFA pun menggebug Pemerintah RI – dalam hal ini Kemenpora – dengan mengucilkan sepakbola Indonesia dari berbagai event internasional.
Imbas sanksi FIFA adalah timnas nasional Indonesia di seluruh level usia dan klub-klub tidak boleh berkiprah di kompetisi atau turnamen resmi FIFA dan AFC.
Kalau situasinya sudah seperti ini, reformasi macam apa yang layak diharapkan? Pemerintah RI boleh dan sah-sah saja menganggap PSSI sudah tidak ada gunanya, dan menyerukan go to hell FIFA. Akan tetapi, bahasa sepakbola akan menyatakan: “Prestasi apa yang hendak dicapai dalam keterkucilan ini? “ Sepakbola bukan tinju profesional yang punya berbagai badan tinju dunia. Ada IBF, WBC, WBA sampai WBO. Tapi sepakbola hanya punya satu badan sepakbola dunia, yaitu FIFA.
Medan pertarungan pun berkecamuk di luar stadion dan jauh dari lapangan hijau. Dua kubu bertarung hebat. Pemerintah RI versus FIFA! Durasinya tidak lagi 2 x 45 menit. Tapi berbulan-bulan dan mungkin bertahun-tahun.
Di satu pihak, pemerintah RI tidak menghendaki PSSI hasil KLB 18 April 2015 mewakili sepakbola Indonesia dalam KLB PSSI 2016. Pemerintah RI memaksakan kehendaknya agar Tim Transisi lah yang mewakili sepakbola Indonesia di KLB 2016. Menpora membentuk Tim Kecil.
Di pihak lain, FIFA tentu tidak menghendaki hanya Tim Kecil yang menjadi perwakilan sepakbola Indonesia di KLB 2016. FIFA pasti mengakomodasi unsur Menpora dan PSSI. Sebab, PSSI 2015-2019 adalah sah menurut FIFA untuk mewakili sepakbola Indonesia di KLB 2016.
Apakah akhirnya FIFA akan mengalah dan mempersilakan Tim Kecil yang memimpin KLB 2016? Pasti tidak.
Para pendukung kebijakan pemerintah silakan saja menuding FIFA sebagai sarangnya mafia, dan PSSI hasil KLB 2015 sebagai rezim mafia sepakbola. Namun semua hujatan dan tuduhan itu tidak akan menolong sepakbola Indonesia! Hujatan tanpa bukti adalah fitnah. Bukti sah secara hukum.
Sepakbola negeri adidaya Amerika Serikat pun patuh kepada FIFA. Bahwa kemudian FBI bekerja sama dengan Kepolisian Swiss meringkus 6 pejabat FIFA yang diduga terlibat suap, semuanya berjalan menurut proses hukum dengan dukungan bukti-bukti kuat dan sah secara hukum.
Dua mantan bintang Arema: Imam Hambali dan Aji Santoso di Hotel Santika, Banyuwangi. (Foto: Slamet OP/cowasjp.com)
Kalau Kemenpora mengemban misi mulia membersihkan sepakbola Indonesia dari mafia judi, mafia atur skor (match fixing dan match setting), tapi siapa oknum mafia yang sudah ditangkap dan diseret ke meja hijau? Siapa dan mana oknumnya? Buktikanlah semua tuduhan dan hujatan. Mana bukti gebrakan yang sah secara hukum?
Sebagai negara hukum, bahasa hukumnya ya harus ada sejumlah oknum mafianya yang diseret ke meja hijau dan terbukti melakukan kejahatan berupa penyuapan demi keuntungan pribadi dan atau kelompoknya. Dan sebagainya. Kemudian si terhukum dipenjara dan didenda sekian miliar rupiah.
Kalau ini bisa dilakukan, kita semua wajib mengangkat topi kepada Menpora Imam Nahrawi. Prestasi dahsyat!
Namun, karena ternyata sampai delapan bulan berajalan hanya sebatas kesaksian-kesaksian yang ditayang spesial di televisi, ya apa maknanya? Ternyata not action talk only (NATO).
Sebagai pemerintah yang kali pertama dalam sejarah sepakbola Indonesia sukses membekukan PSSI, boleh dibilang hebatlah. Namun, bagi sepakbola Indonesia, apanya yang hebat jika kompetisinya di seluruh level dimatikan? Ajang prakualifikasi sepakbola PON 2016 pun terhenti!
Jika kemudian sanksi FIFA berkepanjangan sampai 2019, pasti peringkat sepakbola Indonesia akan menembus angka 200. Mengerikan.
Tak hanya itu. Hal yang sulit diprediksi adalah “pemberontakan” yang mungkin saja dilakukan oleh kalangan klub dari level ISL, Divisi Utama, Liga Nusantara, sampai klub-klub amatir yang tak ikut kompetisi. Juga para pemilik dan pengelola SSB se-Indonesia. Entah terjadi tahun depan, 2017, atau 2018. Dan gerakan itu tentu akan diikuti pasukan besar suporter seluruh klub.
Kalau pergolakan masif ini terjadi, maka pergolakan ini pun pertama kali dalam sejarah sepakbola Indonesia dan NKRI. Ribuan pemain, ratusan pelatih, ribuan pengurus, ribuan ahli pijat, ribuan ball boys, jutaan pemain sepakbola usia dini, dan jutaan suporter bergerak! Menggugat pemerintah!
Apakah rakyat sepakbola Indonesia harus menanti pergolakan masif yang luar biasa itu dulu, baru kemudian terjadi Normalisasi Sepakbola Sejati? Inilah kegamangan yang berkembang dan menggelisahkan di penghujung 2015.
Yang pasti, FIFA telah menentukan empat syarat untuk mencabut sanksinya kepada sepakbola Indonesia. Empat syarat itu disebutkan dalam surat sanksi yang diberikan FIFA kepada Sekjen PSSI, Azwan Karim, tertanggal 30 Mei 2015 dan ditandatangani Sekjen FIFA, Jerome Valcke.
Pertama: Komite Eksekutif PSSI yang terpilih mampu mengelola urusan PSSI secara independen dan tanpa pengaruh dari pihak ketiga, termasuk Menteri (atau lembaganya).
Kedua: tanggung jawab dan wewenang membentuk tim nasional Indonesia dikembalikan kepada PSSI.
Ketiga: tanggung jawab semua kompetisi PSSI dikembalikan wewenangnya kepada PSSI atau Liga yang berada di bawahnya.
Keempat: semua klub yang mendapatkan lisensi dari PSSI berdasarkan regulasi lisensi klub PSSI mampu bersaing di kompetisi PSSI.
Di dalam suratnya Jerome Valcke menuliskan: "Kami ucapkan terima kasih dan meminta Anda untuk mengirimkan keputusan ini kepada pihak terkait dan berharap bahwa masalah ini dapat diselesaikan secepatnya sehingga suspensi dapat dicabut."
Dari kiri: KHusnun Djuraid, penulis, dan Imawan Mashuri. (Foto: Karim Fauzi/Cowasjp.com)
TAK PEDULI
Tapi, Kemenpora tak mempedulikan surat FIFA tersebut. Dalam surat itu FIFA menyebutkan telah berulang kali memperingkatkan Menteri Pemuda dan Olahraga Indonesia Imam Nahrawi untuk tidak mengintervensi PSSI. Sebab, Statuta FIFA telah mengaturnya dalam pasal 13 dan 17 bahwa pihak ketiga dalam hal ini tidak boleh mencampuri 'dapur' federasi sepakbola sebuah negara.
Kalau pemerintah RI tidak mempedulikan regulasi FIFA, maka FIFA pun boleh tak mempedulikan agenda dan road map Kemenpora. Kemenpora menganggap yang dilakukan benar dan sah, sebaliknya FIFA juga boleh menganggap apa yang mereka atur adalah benar dan sah.
Siapa yang bakal menang dalam big match langka ini? Status pertarungan atas-bawah. Handicap atau voor-voor-annya 0 : 1. FIFA tentu saja diposisikan sebagai tim yang diunggulkan. Kalau Kemenpora tetap bersikukuh menyorongkan Tim Kecilnya, maka jangan kaget bila sanksi FIFA berlanjut sampai 2019.
Yang harus diingat, FIFA tidak akan mau dikalahkan dengan cara dipermalukan dan diprotoli regulasinya. Karena itu, sangatlah bijaksana apa yang dituliskan Haruna Soemitro, mantan Ketua Umum Pengda PSSI Jatim dan anggota Exco PSSI.
Dalam situasi sepakbola nasional yang sedang beku sekarang ini, akan lebih bijaksana jika para tokoh sepakbola, pengamat, dan pemerintah RI menyalakan semangat konstruktif. Jangan malah menebar rasa benci dan menambah jumlah pihak lain yang disalahkan.
Komunitas sepakbola Indonesia sekarang membutuhkan suasana teduh. Menunggu kepastian kapan program konkret peningkatan kualitas kompetisi dan prestasi dimulai. Seperti apa program tata kelola sepakbola yang terbaik versi pemerintah hingga PSSI dibekukan?
Mungkin yang harus dipahami oleh semua pihak, bahwa sampai hari ini FIFA tidak menemukan jalan dan cara konstitusional untuk membubarkan PSSI hasil Kongres Luar Biasa 18 April 2015.*