COWASJP.COM – ockquote>
CaTaTan: Cak Amu
-------------------------------------------------
Mantan Redaktur Olahraga Jawa Pos
MASIH ingat M Kusnan? Gelandang buldozer Niac Mitra yang pernah menangani Arema Malang, Putra Samarindah dan beberapa klub Liga Indonesia ini tiba-tiba nelpon saya. Sudah puluhan tahun kami tak pernah berkomunikasi. Sejak saya sudah tidak lagi menjadi wartawan olahraga Jawa Pos dan manajer Mitra Surabaya. Saat itu saya bertugas di Malaysia 1990-1995 dan kembali ke Kuala Lumpur 1998-2000. Terakhir menulis laporan sepak bola saat meliput Piala Dunia Korea-Jepang 2002.
Apalagi Kusnan, yang pernah menjadi kapten tim Niac itu, hengkang ke Arema. Niac sendiri saat itu juga gulung tikar bermetamorfose menjadi Mitra Surabaya, yang manajemennya dikelola Jawa Pos. Sedangkan saya ditunjuk Dahlan Iskan, bos koran terbesar di Jawa Timur itu sebagai pengelolanya. Yaitu dua tahun sebelum meninggalkan tanah air ke Negeri Jiran.
Kusnan semasa jadi pemain terkenal garang. Tidak kompromi dengan pemain manapun. Lawan datang di area penguasaannya langsung digebrak. Tak jarang kartu kuning sering dia kantongi dari hukuman wasit. Kegarangannya inilah membuat saya terpikat untuk menggelari The Buldozer. Bos Niac Mitra Agustinus Wenas tidak bertepuk sebelah tangan. Dia bangga julukan Penggebrak itu tidak hanya saya berikan kepada rekan setimnya, Jamrawi. Tapi juga Kusnan!
Imbalannya? Saat saya menikah dengan teman sekelas di SMPPN Surabaya, Dyah Suharyani tahun 1987, Om Wenas memberi kado karangan bunga istimewa hehehe... Dan, semua pemain plus ofisial Niac Mitra menghadiri pernikahan kami sepulang tanding lawan Arema di Malang.
Aksi tim Mitra Surabaya sebelum bubar dan berganti Mitra Kukar yang semalam Juara Piala Sudirman. (Foto: Kholili Indro)
Karena itu, saya kaget ketika dering telpon yang saya angkat berasal dari Kusnan. "Bos apa kabar?Jangan lama lama bertapa. Ayo bangun! Yok opo sepak bola kita terlalu lama tiarap. Kasihan masyarat bola," sapa Kusnan dari balik hapenya. Saya pun awalnya tidak paham. Sebab nomer yang tidak saya kenal itu, tiba tiba nrocos bernada protes yang tidak ada kaitannya dengan aktivitas saya sekarang.
Maklumlah, setelah pensiun sebagai karyawan koran berpredikat The World Young Reader Newspaper Of The Year 2011 WAN-IFRA Version ini, saya sudah menjauh dari bola. Mengapa? Saya merasa sudah khatam! Saya juga sudah bosan dengan persoalan klasik yang kian ruwet di situ. Apalagi para pengelolanya tidak serius beranjak menuju sepak bola yang bersih dan jujur. Seperti motto klub kami Mitra Surabaya: Fair and CleanFootball Club!
Kusnan rupanya paham akan keberadaan saya. Namun dia tetap keukeh, ngotot agar orang-orang yang peduli terhadap kemajuan sepak bola nasional turun gunung. Terutama tokoh yang memiliki visi sama. Demi kemajuan sepak bola nasional serta nasib anak bangsa yang bergantung di cabang olahraga yang digandrungi umat sejagad ini. "Ayooo booos bangkit! Saya akan turut mendukung walaupun tidak harus terjun langsung ke lapangan," pinta pria yang kini menekuni bisnis itu.
Sejak aktivitas PSSI dibekukan Menpora sampai kini, memang, belum ada tanda kehidupan yang lebih baik. Pembekuan itu kian menimbulkan arogansi kedua pihak dengan aksi bisunya. Belum ada iktikat mereka untuk berjabat tangan. Yang mereka munculkan hanyalah sebuah event yang tidak jelas targetnya.
Tengok Piala Sudirman? Tim peserta bukan super tim daerah masing masing. Proses persiapannya juga ala kadarnya. Sehingga tak muncul kualitas tim yang labih berkelas. Animo penonton tidak menggeliat sama sekali. Stadion Gelora Bung Karno yang menjadi saksi final Semen Padang v Mitra Kukar sepi penonton. Sangat sangat menyedihkan. Semangat suporter sudah mulai mati suri!
Sampai kapankah kondisi seperti ini bertahan. Atau sengaja dipertahankan. Akankah Menpora melalui BAPOPI tetap tidak mengaca kenyataan yang ada. Ataukan PSSI tetap menertawakan keadaan yang kian tidak menentu ini. Apapun perilaku mereka tetap berefek terhadap nasib anak bangsa dan hiburan masyarakat.
Gelaran turnamen yang disajikan bukan cara terbaik untuk menghibur masyarakat. Juga bukan langkah terbaik untuk mengail simpati FIFA agar mencabut hukumannya. FIFA hanya melihat ada kompetisi resmi yang berjenjang dengan pola pembinaan. Masyarakat juga menunggu kompetisi model baru yang didengungkan pemerintah agar: Fair and Clean! Bukan turnamen yang sekedar untuk mengisi kekosongan waktu status quo itu.
Menpora saat mengalungkan medali kepada tim finalis Piala Sudirman. (Foto: Repro Net.Tv​)
Memang, tongkat kepemimpinan sepak bola nasional sudah patah. Ujung patahannya digenggam pemerintah. Ujung patahan lainnya dibawa PSSI. Untuk menyambung kembali perlu kesadaran tingkat tinggi. Jika kedua pihak tidak memiliki kesadaran yang sama, yaitu pembaharuan sepak bola nasional yang bersih, jujur dan berprestasi, bukan tidak mungkin pembekuan tersebut akan berlangsung sampai Menpora lengser. Atau pengurus PSSI sadar diri bahwa aktivitas sepak bola bukan milik pribadi dan kelompoknya.
Sebagai anak bangsa, kita harus sadar kepentingan nasional harus dinomor satukan. Dan, ini sebenarnya sudah mereka pahami. Namun mereka belum sadar sesadarnya, karena tidak memiliki kepedulian terhadap nasib masyarakat bola yang bakal kehilangan masa depannya. Yang lebih parah lagi, jika kepeduliannya sudah tertutup dengan emosi yang terbungkus dendam kesumat.
Siapapun tak akan mampu menggoyahkan, kecuali terketuk hati nuraninya akan pentingnya islah. Islah atau berdamai adalah jalan terbaik setelah kedua pihak berdiam diri. Sebab, diamnya orang beriman akan melahirkan senyum dan tutur kata yang menyejukkan. Bekunya hati nurani juga akan menyegarkan lingkungan sekitar jika kebekuan tersebut segera mencair.
Masih belum cukupkah menghukum masyarakat bola dengan kondisi saat ini. Mereka kian rindu dengan geliat kompetisi nasional. Percayalah, apapun keputusan penguasa jika didasari iktikat yang sama, yaitu tidak mengkhianati bangsanya, pasti akan diamini hingga sepak bola nasional berjaya. Semoga, diamnya para penguasa itu adalah diam untuk mencari solusi terbaik demi Merah Putih. Salam sepak bola!