COWASJP.COM – style="text-align:center">By: Ramadhan Pohan
---------------------------------
INNALILLAHI wa innailaihi rojiun.... Kaget setengah mati ketika bos Kalteng Pos infokan saya, mas Joko Susilo wafat. Kebetulan kami lagi makan siang di Kayahan, Palangkaraya, Kalteng.
Saya segera buka grup WA CoWas JP. Di dalamnya saya membaca ungkapan duka dari CoWas JP bermunculan silih berganti. Innalillahi wa inailaihi rojiun...
Saya juniornya mas Joko dalam segalanya. Di JP, jelas almarhum senior jauh di atas saya. Saya baru masuk JP, mas Joko sedang posting di Washington, DC. Saat itu namanya sangat menjulang di JP, apalagi di mata anak bawang seperti saya dan teman-teman junior.
Setiap hari di JP, otomatis kerap membaca tulisan dan laporannya dari Washington, DC. Saya kerap membayangkan betapa keren dan menariknya menjadi wartawan JP Biro Washington, DC. Saya tak pernah membayangkan bahwa justru kelak saya mendapat kehormatan jadi wartawan JP di Washington, DC.
Ada yang menarik. Setiap wartawan JP biro Washington, DC, umumnya kembali ke Indonesia dan masuk parpol lalu jadi anggota DPR-RI. Mas Joko lah yang memulai. Sepulang dari Amerika Serikat, pulangnya mas Joko masuk Partai Amanat Nasional (PAN). Lalu terpilih masuk Senayan melalui Pemilu Legislatif 2004.
Isteri almarhum Joko Susilo, Mbak Firda. Menangis sedih.
Selanjutnya Mas Heri Akhmadi menggantikan Joko Susilo sebagai wartawan JP di Washington, DC. Kembali ke Indonesia, tak lama di markas JP, Mas Heri masuk PDIP Perjuangan dan jadi anggota DPR RI.
Saya sendiri diposting ke AS mulai Juni 1998 - Desember 2004, menggantikan Irawan Nugroho yang sebelumnya menggantikan posisi Heri Akhmadi. Irawan, senior saya juga di Tanah Air maupun wartawan di Biro Washington, DC. Irawan namanya fenomenal saat meliput Perang Teluk ke Irak.
Suatu saat, mungkin tahun 2000. Saat itu Pak Bos-- sebutan kami buat Bos JP Dahlan Iskan-- ke Washington DC membawa rombongan Pemred atau bos-bos anak perusahaan JP di pelbagai daerah. Ada Rida K Liamsi. Ada Zainal Muttaqin, Suparno, Imawan Mashuri. Dalam perjalanan kami ke Baltimore, Pak Dahlan pegang kemudi dari DC ke Baltimore. Mas Zainal membuka pembicaraan. Katanya, semua wartawan JP, sekembali ke Tanah Air pasti masuk parpol. Seolah-olah karir wartawan di JP hanya lompatan menuju parpol dan DPR RI. Pak Bos memotong. Dia nggak percaya teori itu. Paling tidak Ramadhan Pohan tidak akan mengikuti jejak dua seniornya.. Pak Bos sama sekali tak menyebut nama. Mungkin beliau anggap semua sudah tahu sama tahu. Atau boleh jadi ada kegetiran atau sebenarnya Pak Bos nggak suka anak buahnya keluar dari JP malah ke politik.
Ngapain ke politik, nggak jelas, Ramadhan pasti nggak tertarik. Begitu kata Pak Bos. Saya sendiri yang tengah jadi objek obrolan malah bengong. Diam seribu bahasa. Tak tahu mau komentar apa. Di satu sisi tak ada satu parpol pun yang dekat atau saya sukai saat itu. Di sisi lain, dunia pilitik itu sangat merangsang dan menantang. Saya sebagai wartawan di Washington DC, yang sering bersama politisi Amrik dan Indonesia, jelas punya efek. Jujur saya akui. Sering meliput kegiatan Kongreswan dan Senator Amerika, saya menyimpan kekaguman. Stafnya banyak, dan kesibukannya tinggi sekali.
Bagi politisi Senayan yang silih berganti melawat Washington DC, kerap mampir ke Capitol Hill. Saya sering ceritakan mereka pola kerja para anggota Parlemen Amerika. Belakangan saya tahu, itu lebih banyak sia-sianya. Banyak yang kesannya cuma studi banding ala kadarnya saja. Banyakan tameng jalan-jalan saja. Saat saya sendiri di DPR RI nyata minim sekali memang, politisi Senayan yang kerjanya macam mereka yang di Capitol Hill. Jauuuuh sekali bedanya.
Konco Lawas ketika melayat di rumah duka Sentul Bogor.
Kembali ke obrolan dalam mobil di atas. Perjalanan sejam di dalam mobil, membuka ruang diskusi luas.. Topik beralih ke tantangan industri media di Tanah Air. Memang Pak Bos lebih bersemangat isu ini.
Zainal Muttaqin ada benarnya. Wartawan JP alumni Washington DC pada akhirnya terjun ke politik. Setelah Mas Joko dan Heri Akhmadi, akhirnya saya juga masuk politik dan DPR RI. Tapi tidak serta merta. Saya sendiri selama 5 bulan sekembali di Tanah Air, mencoba untuk setia pada JP dan jurnalisme. Namun saya tidak melihat tantangan atau tugas menantang nan menarik. Jauh dan lama mengail pengalaman dan pengetahuan di Negeri Paman Sam, sedih juga jika kembali sebagai reporter tanpa penugasan jelas dan menantang. Belakangan saya dengar Mas Heri juga bilang dirinya juga tak serta merta keluar JP. Hampir mirip-miriplah mungkin pengalaman dan perasaan kita, kata mas Heri sembari senyum menyeringai....
Saya tak banyak interaksi langsung dengan Mas Joko. Tapi setiap bertemu kerap pembicaraan kami hangat, menarik dan informatif. Ingatan saya menerawang kembali ke memory 1998 bersama almarhum. Saat itu Mas Joko posting di London, saya di Surabaya-Jakarta, sepulang dari Bulgaria dan Turki. Saya ingat kantor meminta saya menggantikan mas Joko di Biro London. Persiapan pun sudah dilakukan. Bayangan saya bakal banyak menulis David Beckham dan Thierry Henry sudah mengharubiru perasaan ini...
Di tengah lamunan ke London. Mas Joko menelepon dari London. Saya di markas JP di Surabaya. Mas Joko meminta kerelaan saya untuk tidak segera menggantikan dirinya di London. Pasalnya, almarhum tengah menyelesaikan sekolahnya.
"Mas Pohan, bisa khan... Tunggu setelah sekolah saya usai. Hanya beberapa bulan lagi kok," kata almarhum.
Saya yang sudah berangan kuat dan persiapan matang, segera mengiyakan. Saya seolah tahu bagaimana mengulur waktu sembari berdalih ke petinggi. Respek saya kepada mas Joko dan kekaguman lama seorang junior, itulah sesungguhnya mengalahkan yang lain-lain.
Pada akhirnya, karena tekanan krismon makin parah, JP ambil keputusan menutup Biro London. Satu-satunya biro luar negeri yang dipertahankan hanya Washington, DC. Amerika Latin tutup. Italia dan Eropa tutup. Eropa Timur dan Balkan juga tutup. Bahkan Malaysia dan Hong Kong pun tutup.
Sekembali ke Tanah Air saya tetap jarang bertemu almarhum. Sesekali saya baca kutipan komentar Mas Joko di media. Tentu saja dia sebagai politisi PAN dan anggota Dewan. Setelah saya masuk Demokrat dan aktif di politik hingga masuk Parlemen melalui Pemilu Legislatif 2009 dari Dapil Jatim VII Pacitan, Magetan, Ngawi, Trenggalek, dan Ponorogo. Tak banyak yang ngeh bahwa saya dan Mas Heri bertarung di Dapil yang sama. Mungkin karena sesama alumni JP, saya dan mas Heri tak pernah konflik di lapangan. Baik di Dapil Jatim VII maupun di Komisi I, hubungan kami hangat dan saling menghormati.
Ketika saya masuk Senayan, mas Joko sudah lolos fit and proper test untuk jadi Dubes. Saat dia berangkat ke Swiss, kami hanya beberapa kali bertemu di Jakarta.
Suatu waktu beberapa rekan di Komisi I berang. Pasalnya Mas Joko menulis di media tentang kesia-siaan studi banding anggota Dewan ke luar negeri. Yang diserang sebenarnya bukan Komisi I yang memang Komisi Luar Negeri dan karenanya sering kunjungan dan konferensi me manca negara. Joko dianggap terlalu lancang mencampuri Dewan. Kemlu pun jadi sasaran komplain dari beberapa rekan Komisi I yang solidaritas ketersinggungan para anggota Dewan dari Komisi-Komisi lain. Saya mendengar komentar rekan di Kemlu bahwa tulisan dan sikap Mas Joko sama sekali tidak merepresentasi sikap Kemlu.
Mas Joko dituding ciptakan dampak buruk hubungan DPr dan Kemlu. Mustinya Dewan mendengar komplit penjelasan dan gagasan Mas Joko. Jelas ada unsur positip opininya, di luar dari gemuruh tudingan dirinya menghina Parlemen.
Saya sudah terbiasa dengan style Mas Joko. Almarhum memang ngga pernah takut menyuarakan sikap berbeda dan kritis pada siapa pun. Tulisan-tulisan opini almarhum di JP bukan sekali dua saja dibalas pedas para pembaca. Termasuk di daerah-daerah. Kontroversi tak ada anehnya lah... Jika tidak kritis dan nantang-nantang, yaa bukan wartawan dan bukan politisi namanya. Mana ada wartawan sejati atau politis sejati cuma inggih-inggih saja. Ya nakal-nakal dikit boleh, dong...
Selamat Jalan, Mas Joko. Adios, senior...