COWASJP.COM – ockquote>
CaTaTan: Cak Amu
-------------------------
SELASA siang tadi, 26 Januari, media sosial ramai memberitakan meninggalnya mantan Duta Besar RI di Swiss, Djoko Susilo. Anggota DPR RI masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini diberitakan meninggal dunia di RS Ali Sibro Ciganjur. Ia dikabarkan meninggal akibat serangan jantung setelah puluhan tahun mengidap diabetes militus.
Kabar via Facebook, BBM sampai Whatsapp Grup, itu membuat hape saya tak henti hentinya berbunyi klangkling-klangklung. Para penulisnya berebut memberitakan kematian tokoh yang kini tergabung dalam Tim Transisi sepak bola Indonesia ini. Maklum, politisi PAN ini, sepulang dari Swiss didaulat Menpora Imam Nahrowi untuk ikut menata sepak bola nasional setelah PSSI dibekukan
Selama menjadi Dubes Swiss, nama Djoko memang sempat melambung ketika berhasil menjadi komunikator antara PSSI dan FIFA. Sebab, induk organisasi sepak bola dunia itu ada di wilayah tugas kenegaraannya. Inilah yang membuat kapasitasnya bertambah lagi selain sebagai poltisi juga menjadi "pejabat kehormatan" sepak bola nasional.
Bahkan, saya sempat membaca artikelnya di halaman Opini Jawa Pos belum lama ini, yang berani mengkritisi PSSI dan FIFA. Karya terakhirnya sebelum meninggal dunia itu, masih terngiang dalam ingatan saya, karena judulnya sangat provokatif: FIFA, Go to Hell ! Pergilah ke neraka! Sebuah karya tulis yang bagus bagi seorang politisi yang belum pernah menjadi wartawan olahraga.
Namun, artikel tersebut mengundang kontoversi di kalangan orang PSSI. Sebab, catatan Djoko cenderung memihak pemerintah yang berhasil membekukan induk organisasi independent tersebut. Ia sumir sekali memandang FIFA sebagai induk organisasi sepak bola dunia, jika tidak merestui organisasi baru bentukan pemerintah sebagai pengganti PSSI.
Djoko, sepertinya tidak memahami bahwa FIFA sejatinya, menunggu pemerintah Indonesia segera menyelesaikan konfliknya dengan PSSI, karena induk organisasi yang diakui adalah PSSI.
Sejak menjadi wartawan Jawa Pos, Djoko yang punya inisial "js" itu namanya mulai mencuat ketika ditempatkan di Washington DC. Yaitu seiring munculnya petinju ganas, Mike Tyson sebelum menjadi Raja KO. Liputan politiknya tak segencar dan setenar laporannya tentang kiprah Si Leher Beton itu.
Setiap hari berita olahraga kiriman dari Amerika Serikat selalu menghiasi halaman satu Jawa Pos. Sebuah fenomena baru karena selama ini Jawa Pos hanya mengisi sepak bola di halaman handalnya itu. Apalagi Persebaya saat itu lagi naik daun di era tahun 1988-1990 an.
Adalah Margiono yang saat itu ditunjuk Pimred Jawa Pos, Dahlan Iskan sebagai Pemimpin Redaksi Sehari Hari, merupakan petinggi redaksi pertama yang mengorbit Djoko Susilo. "Amu kini saatnya kita mengubah selera pembaca sepak bola menjadi penggemar tinju. Dan, Mike Tyson beritanya," pinta Margiono kepada saya saat menjadi redaktur olahraga di markas Jawa Pos Karah Agung Surabaya.
Atas dasar perintah Margiono itulah, saya setiap hari berkomunikasi dengan Djoko di Washington. Sebab, halaman satu Jawa Pos setiap hari harus ada berita Mike Tyson. "Kalau tidak soal Persebaya, ya.. Mike Tyson," pinta Margiono. Dan, agar Dahlan tidak memarahi kami soal pemuatan cabang tinju di halaman satu, saya dan Margiono sepakat menjuluki Mike Tyson dengan "Si Leher Beton".
Kisah julukan Si Leher Beton inipun membuat Dahlan mulai terpancing. Terpikat berita tinju! Dahlan bukan saja mulai baca tulisan Djoko, malah pingin terlibat langsung dalam urusan editing. "Muis... ternyata oplah koran kita naik juga karena Si Leher Beton itu yaa... hehehe," aku Dahlan yang kemudian turut mengedit tulisan puanjang Djoko dan memberi judul: Mike Tyson Ciak Kuping. Ini terjadi saat petinju badak tersebut menggigit telinga lawannya, Evander Hollyfiled, ketika posisinya kepojok hingga dia harus didiskualifikasi.
Fenomena Mike Tyson itu bukan hanya membuat Jawa Pos kian menanjak oplahnya. Nama Djoko juga ikut meroket. Fenomena inilah yang membuat Djoko kian fenomenal. Sepulang dari Amerika langsung jadi pejabat redaksi. Dia pun digadang-gadang Dahlan untuk menjadi pioneer Jawa Pos. Dian kemudian dimutasi ke Jakarta, setelah sempat menikmati menjadi redaktur di Karah Agung Surabaya.
Tak lama di Jakarta, awal tahun 1998, Djoko mulai berkiprah di dunia politik. Yaitu setelah Presiden Soeharto lengser. Sebelum bergabung dengan PAN, dia sempat terpilih sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah pimpinan Amien Rais. Rumahnya yang bersebelahan dengan seniornya, Suhu Slamet Oerip Prihadi sampai dihibahkan ke Muhammadiyah.
Saya masih ingat betul ketika Djoko mencalonkan diri menjadi Caleg DPR RI. Dahlan yang tidak ingin anak buahnya berkiprah di politik langsung memanggilnya. Bukan hanya Djoko, saya sendiri juga ikut disidang. Soalnya nama saya juga terdaftar sebagai Caleg DPRD Kabupaten Sidoarjo dari Partai Cinta Damai.
"JS, kalau Anda jadi caleg harus keluar dari Jawa Pos. Anda pilih mana? Juga Muis," pinta Dahlan saat dipamiti Djoko di Markas Jawa Pos Jalan A Yani Surabaya. Jawaban Djoko sangat mengejutkan Dahlan. "Oh..iyaa. Anda sudah mikir jauh memilih jalan hidup di politik," kata Dahlan sembari menambahkan,"Yaa terserah... kalau memang itu pilihan Anda."
Sejak itu, saya tidak pernah bertemu Djoko. Apalagi jawaban saya yang senada dengannya, tidak diamini Dahlan. Saya justru disuruh kembali ke pos lama di Kuala Lumpur agar tidak serius di pencalegan dan gagal menjadi anggota dewan. "Jawa Pos rugi, Anda juga rugi, kalau Anda gagal jadi caleg, harus keluar dari perusahaan ini. Kalau Djoko biarkan saja, karena dia memang politisi," jelas Dahlan saat menemui kami hendak melapor perihal pencalekan.
Djoko akhirnya berhasil masuk Balai Sidang Senayan. Saya terpaksa harus memenuhi keinginan Dahlan. Kembali ke Kuala Lumpur. Apalagi saat itu ada iming iming Dahlan menunjuk saya jadi bisnya Radar Kuala Lumpur.
Hubungan saya dengan Djoko boleh dibilang cukup akrab. Bahkan bagai kakak beradik, karena pernah sekamar. Saat pertama kali kenal di markas Jawa Pos kembang Jepun tahun 1986, Djoko sudah sering tinggal bersama kami di rumah kakek di Jalan Karangmenjangan.
Maklum sejak gabung dengan Jawa Pos, sarjana Hubungan Internasional FHI UGM ini, harus mundar mandir Karangmenjangan - Kembang Jepun. Selain sebagai wartawan, lulusan coumlode ini, tercatat sebagai dosen FISIP UNAIR. Calon Istri saya saat itu juga termasuk mahasiswanya. Dia lulus sarjana juga atas dukungannya.
Karena itu, banyak kenangan yang saya rekam dalam keseharian kami saat itu. Mulai dari soal jodoh yang sulit dia dapatkan, meski sudah sukses jadi wartawan dan dosen, sampai harus memutuskan pilihan menjadi wartawan atau dosen. Sebab, Dahlan pernah membuat dia limbung saat disuruh milih jadi wartawan Jawa Pos, apa dosen di Universitas Airlangga. Namun, setelah saya ajak untuk berkonsultasi dengan Anshori Tayib, Ketua PWI yang juga gura jurnalistik saya, Djoko akhirnya memilih meninggalkan dosennya.
Alasannya, jika menjadi dosen, tidak mungkin bisa secapatnya mendapat beasiswa untuk belajar di Amerika. Beda kalau menjadi wartawan, Djoko akan sering keluar negeri. Apalagi kemampuan bahasa Inggrisnya jauh lebih baik dari wartawan Jawa Pos lainnya.
Dan, jika menjadi perwakilan di luar negeri, masih bisa melanjutkan studi yang lebih tinggi. Juga, sepulang dari merantau, akan memiliki kemampuan lebih jika berkiprah di kancah politik.
Benar! Ternyata, Djoko memilih jalan hidup seperti yang disarankan almarhum Anshari Tayib itu. Kiprahnya luar biasa. Semua cita citanya sebagai alumnus hubungan internasional sudah terlampaui. Pengalamannya sebagai ahli komunikasi telah diaplikasikan kepada generasi muda melalui diskusi atau seminar di mana mana.
Bahkan, Arif Novantadi juniornya di Jawa Pos, yang kini menjadi pebisnis minuman sehat mengakui Djoko sosok yang hebat. Impiannya memajukan kualitas rakyat Indonesia begitu dahsyat. Sederet rencana kerjanya begitu berjibun. Walau posisinya pensiun sebagai pejabat negara, menurut Novantandi, pria berpenampilan sederhana itu memiliki banyak program usaha sosial.
"Walau ada derita, seolah tiada duka sama sekali. Semangat dan cara menyemangati orang lain, termasuk saya, sangat gempita," aku mantan wartawan olahraga dan eksbis Jawa Pos ini, sembari menyebut Djoko sempat menikmati minuman kemasan produknya tanpa mencela.
Masih tulis Novantadi di WA grup Konco Lawas (CoWas) Jawa Pos, bahwa saat berdiskusi berdua dengan Djoko di rumahnya Sentul City, Nov -sapaannya di Jawa Pos- sangat terispirasi. Inovasinya tak kalah inovatif dengan produk pertamannya di dunia itu. Ia berharap sepeninggal Djoko, akan tumbuh varian baru hasil masukan cerdasnya.
Karena itulah, Nov tak bisa menyembunyikan kegundahan hatinya saat mendengar rekan seniornya itu meninggalkan kita selamanya. "Hatiku menangis Cak Amu," tulis alumnus UNS Solo ini. Aku telah kehilangan dirinya. "Tapi ide-idemu tertanam dalam benakku dengan begitu suburnya."
Selamat jalan Mas Djoko Susilo. Indonesia kehilangan anak bangsa terbaiknya. Kembalilah kepada Sang Khalik yang sudah menunggumu di Surga. Ambillah jatahmu dariNya!!!