COWASJP.COM – ockquote>
O L E H: Yulfarida Arini
----------------------------------
SAAT itu aku masih mahasiswa. Numpang baca Jawa Pos di parkiran motor kampus. Nama sampean ngetop banget, sebagai wartawan JP yang paling fasih ngomong Inggris, di samping junior sampean mas Ali Murtadlo. Sampean terkenal sebagai wartawan JP spesialis ngepos di luar negeri, khususnya Amerika Serikat. Setiap liputan dan analisis sampean pasti aku baca. Rasanya ikut keren kalau habis baca tulisan sampean. Bisa ikut ngomong tentang Amerika.
Lalu, sebelum terima ijazah sarjana, aku ngelamar, ikut serangkaian tes, dan akhirnya jadi jurnalis muda di JP. Bangganya bukan main. Tapi gak kebayang tuh bisa ngepos di LN, apalagi bludas-bludus ke Gedung Putih seperti sampean. Kemunculen. Ing atase arek ndeso koyok aku. Bisa kerja di tempat yg sama dengan sampean aja sudah senang.
Suatu saat, entah tahun kapan, sampean pulang ke Indonesia. Wah, akhirnya bisa ketemu dan kenal langsung dengan salah satu ikon Jawa Pos. Orang yang dengan liputan-liputannya tentang Amerika berhasil membuat Jawa Pos tak lagi dianggap koran daerah, koran ndeso. Apalagi analisis peristiwa internasional Jawa Pos banyak benarnya. Jadi acuan para pakar juga. Setara sama koran-koran terbitan Ibukota.
Aku ketemu sampean pas kantor kita masih di Karah Agung. Biarpun sampean biasa ngomong Inggris, ternyata logat sampean gak ilang. Logat Boyolali asli. Itu aku salut. Dan itu membuat aku gak lagi terlalu berusaha keminggris kalau ngomong Inggris. Berkat sampean, sampai sekarang aku pakai Inggris logat Pasuruan, biarpun sehari-hari ngomong sama boss-bossku yang orang Amerika, Belanda, dan Jerman.
Lalu, biarpun sampean biasa tinggal di Amerika, tetap bisa menjalani gaya hidup ala santri yg berlaku di Jawa Pos. Biasa makan nasi serbuan (nasi bungkus) rame-rame usai deadline. Biasa tidur ngegelosor di karpet besar depan TV di ruang redaksi.
Tapi sampean ngomel panjang pendek tentang lalu lintas Surabaya. Sampean cerita, pas nyetir berusaha jaga jarak aman dengan mobil di depan, eh malah selalu diklakson2 dan disalip mobil belakang. Ya terang ajaaaa... jaga jarak aman kok 100 meter! Akhirnya sampean nyerah. Ke mana-mana naik kendaraan umum.
Tapi sampean kena omel teman-teman kantor pengguna becak. Gara-gara sampean bayar ongkos becak dari rolak Gunungsari ke Karah dua kali lipat harga biasa. Sampean merusak harga pasaran. Kalau ditawar, tukang becak pasti berdalih. "Mas yang lemu pakai kacamata dan sabuk pengaman itu bayarnya segitu."
Yak, sampean mudah diingat karena sehari2 pakai suspender, tali bahu yang disangkutkan ke celana itu. Pak becak menyebutnya sabuk pengaman. Mungkin supaya celana sampean gak melorot. Atau itu fashion statement sampean. Kok sekarang aku getun gak pernah tanya.
Suspender tetap sampean pakai tiap tidur di depan TV di kantor. "Lihat tuh DS. Tidur aja pakai sabuk pengaman," canda pak boss Dahlan Iskan.
Bulan lalu sempat rasan-rasan sama Tofan Mahdi, pengen sowan sampean ke Sentul. Toh gak jauh dari Cibubur. Sebagai (mantan) junior saya ingin nyambung silaturahim, ingin menyampaikan hormat atas segala kiprah sampean untuk Indonesia, baik saat jadi jurnalis, saat jadi politisi, hingga saat menjalani amanah sebagai Dubes RI untuk Swiss. Sampean dubes RI pertama yang berani menolak kunjungan kerja anggota DPR RI ke Swiss gara-gara program mereka gak jelas.
Jadi kaget banget ketika dengar kabar sampean nduluin kami semua, barusan siang, jam 1 lebih dikit. Tapi segera aku ingat kata orang tua, orang baik cepat dipanggil sama Gusti Allah. Buat sampean kayaknya pernyataan itu benar. Aku bersedia bersaksi.
Aku cuma bisa mengiring doa. Semoga bekal panjenengan sudah lebih dari cukup untuk mengantar ke tempat terbaik di sisi Allah.
Sugeng tindak mas DS. Sabuk pengaman sudah boleh dilepas....
Yulfarida Arini bersama putranya yang ngganteng di Candi Borobudur.