Merancang Senjata Perang Global

Senyum keberhasilan dan kebanggaan dari si penulis Darul Farokhi (Foto: CoWasJP.com)

COWASJP.COM – ockquote>

C aT a T a n: DARUL FAROKHI

-------------------------------------------

"DAHSYAT...!" Rasanya, itulah ungkapan paling tepat untuk menyatakan tumpah darah kita: NKRI.

Negeri gemah ripah loh jinawi ini, ternyata menyimpan senjata andal untuk memenangi perang global. Apalagi hanya sekadar  perang di kancah MEA. Itu mah keciiiil...

Kata kuncinya: syukur nikmat, dengan sebenar-benar bersyukur kepada Yang Maha Esa. Syukur yang tidak sekadar "tarian" bibir belaka. Tapi, syukur dengan mengoptimalkan anugerah yang telah ditebar melimpah oleh Sang Pemberi Berkah. Ingat, bila kita tak pandai besyukur, sesungguhnya adzab Allah sangatlah pedih. 

MENERANGKAN-KE-TAMUKLldm.jpg

Kunjungan buyer Tunisia Mr Youssef Hassnie ke rumah produksi jahe instan.(Foto: CoWas JP.Com)

SENJATA REMPAH

Sadarkah kita, bahwa Allah telah mempersenjatai kita dengan lada? Tuhan telah menyiapkan pabrik senjata berupa: cengkih, kayu manis, pala dan berbagai jenis rempah-rempah lainnya

Layakkah kita mengeluh dengan potensi  produksi pinang,  kapulaga, kemukus, cabe jamu, kunyit, jahe dan lainnya?

Semua rempah-rempah itu tumbuh subur di negeri ini. Di tanah Sabang sampai Merauke, telah disiapkan komoditi rempah unggulan. Ada pala di Maluku dan Papua. Ada cengkih dan jahe di Sulawesi. Ada kemiri dan kayu manis di NTT. Ada pinang dan damar di Kalimantan. Ada cengkih, kapulaga dan kemukus di Jawa. Ada lada di Bangka-Belitung. Ada kayu manis dan kemenyan di Sumatra. "Dan...banyak lagi yang lainnya," kata Rhoma Irama.

Tentu tak layak kita mengecilkan potensi Sawit. Apalagi, kita tahu bahwa negeri ini mampu menjadi produsen Sawit terbesar dunia. Sengaja saya tidak mengangkat sawit sebagai senjata. Alasanya: sudah banyak pihak berebut peran memainkan komoditi yang satu ini.

Mata saya justru lebih melotot ke lada, cengkih, pala dan kayu manis (cinamon dan casiavera). Tiga tahun terakhir mencermati perdagangan rempah, rasanya cukup untuk menangkap peta peluang pasar internasional. 

PENGUNJUNG-TAMU-DARI-LUAR-NEGERFnWJ.jpg

Mr Youssed Hassnie dari Tunisia (memeriksa) jahe, tamu dari Tunisia, saat berkunjung ke rumah produksi Jahe Instan. (Foto: CoWas JP.Com)

KAYU MANIS JAMBI TAK TERTANDINGI

Lada misalnya. Kita mampu mengambil porsi sebagai pemasok 80 persen kebutuhan dunia. Cengkih, kita merupakan produsen terbesar dunia. Kualitas kayu manis Jambi, tak tertandingi oleh negara manapun. Pala Papua dan Ambon, merajai pasar dunia. Damar (batu, calcutta, mata kucing) menguasai pasokan pabrikan di berbagai negara. Sampai-sampai, semerbak harumnya masjid Nabawi dan Masjidil Haram-pun, bahannya harus dipasok dari petani dan pekebun kita. 

Lalu, nikmat Allah yang mana lagi yang layak kita pungkiri? Naudzubillah tsumma naudzubillah.

Kini saatnya kita mewujudkan rasa syukur dengan mengoptimalkan semua nikmat itu. Mari kita semua sadar diri. Mari kita bahu-membahu merakit semua komiditi unggul itu menjadi senjata perang global.

BATU BARA TAK MELEDAK LAGI

Sebagai bangsa yang santun, kita musti bisa mengalahkan musuh dengan senjata yang menyenangkan. Bukan senjata yang menghancurkan. 

Apakah mungkin?

TANAMANA-JAHE-SIAP-PANEN8tbd6.jpg

lahan jahe yang siap panen. (Foto: CoWas JP.Com)

Tidak ada yang tidak mungkin. Hebatnya "ledakan" migas, kini sudah semakin melemah. Batu bara, rasanya sudah tidak bisa meledak lagi. Kenapa kita tidak merakit senjata rempah-rempah? Bukankah potensi kita sangat dahsyat?

Kita masih ingat, kenapa negeri ini menjadi incaran kolonial. Sekurangnya: Belanda menguasai negeri ini dengan satu alasan: menangguk untung dari rempah-rempah. 

Kini...percaturan global memang sudah berubah. Apalagi dibandingkan dengan seabad lalu. Tapi,  kebutuhan pasokan rempah-rempah dunia tidak juga menurun. Bahkan, "bubuk mesiu" yang berupa rempah-rempah makin jadi rebutan. 

Lihat saja di pintu masuk Eropa: Rotterdam Sea Port. Sekurangnya, ada pasokan jahe dari Asia 50 container 40 feed tiap bulan. Jabel Ali (Dubai) kisaran 40 container. 

Agen-agen Pakistan dan Banglades menarik jahe Indonesia tak kurang dari seribu container pada musim panen. Hebatnya, para pemain dari dua Bengali itu, hanya melakukan repacking, kemudian diekspor lagi ke Timur Tengah dan Eropa. 

JAHEV843r.jpg

 Jahe unggul dg perawatan ideal.. (Foto: CoWas JP.Com)

Pertanyaannya: tidakkah berbagai komoditi ini layak diurus serius oleh kita sendiri? Apakah sebaiknya memang dibiarkan begitu saja?  Tak perlu  strategi yang dirancang secara baik oleh negara? Nah...yang ini, saya tidak banyak tahu.

Supaya tidak dimasukkan dalam golongan hamba yang kufur nikmat, saya mencoba bergerak. Saya menghimpun kekuatan silaturahmi, untuk mengambil peran pada beberapa komoditi tersebut. Lebih baik melangkah dari pada diam dan mengeluh.

MULAI AKSI DARI DUA KOMODITI

Saya mulai aksi dengan dua komoditi: jahe dan gagang cengkih (clove stems). Kami himpun dari para petani, disortir dipacking, lalu diekspor. Alhamdulillah, Allah memudahkan langkah kami, dengan menghadirkan mitra dari Pakistan, Bangladesh dan Tunisia. Kami pun harus lebih rajin silaturahmi dengan para petani, untuk membimbing cara panen dan pengangkutan. Menyenangkan.

Cukup? 

Ternyata tidak. Ada tanaman jahe petani yang tidak masuk spesifikasi ekspor. Jahe emprit. Sementara, pasar dunia hanya mau menyerap jahe gajah.

MILIHI-JAHE-OKmnvLT.jpg

Ibu-ibu yg sedang dibina di rumah produksi jahe instan. (Foto: CoWas JP.Com)

Kami harus bisa menemukan solusi. Bila tidak, kasihan petani yang sudah terlanjur menanam. Alhamdulillah.... dengan izin Allah, tim kami mencoba mengolah jahe emprit menjadi minuman sehat: jahe instan. Awalnya, produksi hanya mampu menampung 200 kg per hari. Kini, setelah enam bulan berjalan, pasar meminta pasokan jahe instan kami: 1,5 ton per hari.

PETANI MULAI SENYUM

Sekali lagi ... menyenangkan. Senyum petani merekah. Mereka dapat penghasilan sangat bagus. Bisa mencapai 3 kali lipat UMK. Sementara kaum mudanya, kami bimbing di rumah produksi jahe instan. Jumlahnya 54 orang.

Kok kecil? 

PAK-DAN-PEKERJA4aQRg.jpg

Bupati Nganjuk Taufiqurrahman saat berkunjung di ladang jahe. (Foto: CoWas JP.Com)

Betul. Karena, produksi harus ditingkatkan tahap demi tahap. Membimbing 54 pemuda-pemudi kampung, perlu irama tersendiri.

Sebenarnya, pasar Tunisia untuk jahe instan kami, menunggu. Tapi, karena sementara produksi masih kisaran 50 ton per bulan, kami belum bisa memenuhi permintaan itu. Semua produksi habis diserap pasar domestik.  

Itulah sekilas uneg-uneg yang bisa saya ungkapkan. Saya yakin sekali, bila semua komoditi rempah dikelola secara serius dan tepat, dahsyatnya tak kan kalah dengan senjata nuklir. 
Wallahu a'lam. ***

SIAP-KIRIM-JAHEiBL8l.jpg

Jahe yang siap dikirim ke beberapa kota di Indonesia setelah melalui dibersihkan dan disortir (Foto: CoWas JP.Com)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda