COWASJP.COM – ockquote>
Di CowasJP, kita boleh menulis tentang apapun, selama itu positif dan inspiratif. Kali ini, saya tulis kisah saya bersama legenda security Jawa Pos, Suradi, yang dalam reuni Minggu (31/1) lalu di Surabaya, Alhamdulillah kami berjumpa lagi.
----------------------------------------
C a T a T a N: TOFAN MAHDI *
SIAPA yang tidak mengenal sosok yang satu ini, Suradi. Saya dan rekan-rekan lainnya biasa memanggil dengan nama Pak Radi. Meski telah purnawirawan, namun sosok Pak Radi tetap tegap, gagah, dan tentu saja berwajah sangar.
”Mau ke mana Mas? Sudah janjian belum? Silakan tunggu dulu di sana,” kata Pak Radi tegas dan tanpa kompromi kepada setiap tamu yang akan berkunjung ke Redaksi JP. Tidak hanya saat masih berkantor di Karah Agung 45, pun ketika sudah ngantor di lantai 4 Graha Pena.
Saya termasuk wartawan baru yang keder ketika kali pertama ketemu Pak Radi. Meski sudah sering berdoa agar tidak sampai kena semprot dan semprit, ndilalah koq ya dalam perjalanannya dua kali saya ”ditangkap” dan ”diinterogasi” Pak Radi. Semua terjadi pada 1997, tahun pertama saya bekerja sebagai wartawan di koran terbesar kedua di Indonesia itu.
Peristiwa pertama, terjadi saat akan tugas liputan malam. Belum memiliki motor, tentu cara yang paling praktis pinjam motor kepada senior atau teman seangkatan. Karena naik angkot pasti butuh waktu lama, dan keburu tertinggal acara. Malam itu, saya pinjam motor kepada fotografer Yuyung Abdi. Yuyung yang memang langganan saya pinjam motornya, tanpa banyak tanya langsung menyerahkan kunci.
Saat waktu sudah mepet, ban sepeda motor pinjaman ini kempis ban. Terpaksa, saya pun mendorong motor keluar halaman kantor Karah untuk mencari tukang tambal. Belum semeter melewati pos security, sebuah teriakan lantang membuat saya gusar dan gagal tenang. Saya berhenti. “Mau kemana? Siapa kamu? Sepeda motor siapa itu?” teriak seorang security berbadan tegap. Ya, siapa lagi, kalau bukan Pak Radi.
”Maaf Pak. Saya wartawan baru, mau liputan. Ini sepeda motornya Mas Yuyung,” kataku takut dan dengan wajah memelas.
”Sini dulu, mana STNK-nya?”. Ya ampun, ternyata waktu pinjam, saya gak bawa STNK. ”Maaf Pak, gak ada Pak. Eh, gak saya bawa Pak.” Pak Radi tetap dengan tatapan curiga. Sebelum akhirnya, dia menelepon ruang Redaksi dan tak berapa lama Yuyung Abdi keluar dan mengklarifikasi bahwa saya adalah memang wartawan baru dan itu sepeda motor dia.
”Sangar yo security sing iku,” kataku kepada rekan seangkatan M. Ma’ruf pada sebuah kesempatan.
”Biyen iku tentara Fan, Angkatan Laut. Gak onok sing wani nang keneh ambek Pak Radi (dulu dia tentara. Di sini, gak ada yang berani sama dia, Red.),” kata Ma’ruf.
Akhirnya, Pak Radi mengenal saya. ”Selamat malam Pak Radi, saya pulang dulu,” saya memberanikan diri menyapa saat pulang ke kos’an di Karah Indah. Pak Radi hanya mengangguk dan tanpa mengucapkan sepatah kata.
Pada sebuah kesempatan lain. “Fan, kamu ya yang meliput seminar Hermawan Kartajaya di Hyatt Hotel malam ini,” penugasan dari Redaktur Ekbis, Muhammad Elman (almarhum/ semoga selalu dalam ridha Allah SWT), mengalihkan perhatian kami yang lagi cekikikan di ruang redaksi dengan teman-teman seangkatan.
“Aku liputan dulu ya. Oh ya, Mbak Ami boleh pinjam sepeda motornya ya?” kataku, seperti biasa, meminjam motor teman. Kali ini yang jadi ”korban” peminjaman, rekan seangkatan Amri Husniati. Kunci dan STNK pun berpindah tangan.
”Parkir’e lak sampeyan wis apal toh Mas (tempat parkirnya sudah tahu kan Mas, Red.)?” kata Amri Husniati, yang sampai sekarang masih aktif sebagai redaktur di Jawa Pos.
Berkat motor pinjaman ini, saya pun sampai ke Hotel Hyatt tempat diselenggarakannya seminar. Sekira jam 20.30, asyik-asyiknya mendengarkan paparan Hermawan Kartajaya, pager berbunyi. ”Bip biip biip.” Kala itu, pager adalah alat komunikasi yang paling canggih. ”Anda segera kembali ke kantor, ditunggu. Penting!” Begitu bunyi pesan singkat di dalam pager, yang dioperatori Starco tersebut.
Singkat cerita, saya kembali ke kantor di Karah Agung. Betapa kagetnya, di tempat parkir banyak orang berkumpul, seperti ada ribut-ribut. Beberapa orang yang saya ingat tampak berkumpul di tempat parkir: rekan seangkatan Kurniawan Muhammad, Yuyung Abdi, Aris Sudanang, copy writer Pak Benny, beberapa lainnya saya lupa, dan tentu saja ada Pak Radi di sana.
Belum sempat saya turun dari motor, beberapa orang bicara dengan suara agak keras. ”Iku tha (apakah itu) Pak Benny?”.
”Sik, sik....,’” Pak Benny mendekati posisi saya saat sedang memarkir sepeda motor.
”Yo bener. Iki sepeda motorku,” kata Pak Benny.
Sempat agak bingung, akhirnya saya ngeh apa yang sedang terjadi. Ternyata, sepeda motor yang saya bawa tadi, bukan punya Amri Husniati. Tetapi sepeda motor Pak Benny. Kebetulan tahun dan merek kendaraannya sama, Honda Astrea Prima. Saya tidak memeriksa dengan teliti (misalnya mencocokkan STNK dengan nopol kendaraan). Jadi asal naik Astrea Prima, masukkan kunci kontak, ndilalah sepeda motor bisa dinyalakan, dan jalan. Teman-teman di parkiran pun tertawa. Pak Benny sendiri tampak lega.
Namun, saya harus ”diinterogasi” lagi di ruang security dengan Pak Radi. ”Awakmu maneh (kamu lagi). Lain kali hati-hati. Kalau pinjam sepeda motor, diperiksa yang teliti, benar gak itu motornya.” Dengan wajah malu, saya pun meminta maaf dan masuk kembali ke ruang redaksi.
Pak Radi, adalah sosok security dan seorang ayah yang layak diteladani. Dalam menjalankan tugas, terkenal disiplin dan tanpa pandang bulu menegakkan aturan. Sikap tegas dan keras ini sepertinya juga diterapkan kepada anak-anaknya. Tak heran, jika Pak Radi sukses mendidik kedua anaknya.
Putra sulung Pak Radi berhasil masuk Akademi Angkatan Laut, meneruskan legacy dari ayahnya yang seorang tentara dengan pangkat terakhir Serma. Satu anaknya lagi, jika saya tidak salah, menjadi seorang dokter.
”Putrane sing rumiyin Akabri, sampun menopo Pak?” tanya saya saat ketemu dalam reuni Cowas JP, Minggu (31/1) lalu.
”Alhamdulillah Mas Tofan, sakmeniko sampun Mayor (sekarang sudah berpangkat Mayor Laut).” Kami pun bersalaman, dan tak terasa begitu cepat waktu berjalan. (*)