COWASJP.COM – ockquote>
C a T a T a N: Akhmad Zaini
--------------------------------------
SEDAN Toyota DX keluaran Tahun 1970-an itu teronggok di bawah pohon besar. Kondisinya sangat memprihatinkan. Cat warna coklat yang menyelimutinya sudah memudar. Di bebarapa tempat, bahkan sudah mengelupas. Daun-daun kering yang berjatuhan, juga memenuhi sekujur tubuh mobil renta tersebut.
Secara fisik, mobil tersebut sama sekali tidak madolke alias tidak memiliki nilai jual. Entah kenapa, saya tertarik pada mobil itu. Saya pun mencoba mendekati dan membuka pintunya. Saya masuk dan duduk di jok depan belakang kemudi. Subhanallah! Ketika saya amati, mobil itu ternyata memiliki aksesoris yang sangat bagus. Bahkan bisa dikatakan sangat istimewa. Saya tertegun agak lama.
Ya…sangat kontras antara kondisi luar dan dalam. Jika di luar kondisinya compang-camping, di dalam sangat istimewa. Mewah luar biasa.
Setelah mengagumi kemewahan di dalam mobil itu beberapa saat, saya mencoba menghidupkan mesinnya. Lagi-lagi, saya terpana. Ternyata mesinnya juga sangat bagus. Suaranya halus bagaikan mobil baru. Sound system-nya? Sama bagusnya. Enak didengar telingga, tidak cempreng. Suara musik yang terdengar menjadi sangat nyawan terasa di telinga.
Saya jadi penasaran dengan mobil ‘’ajaib’’ ini. Hati saya bertanya-tanya, mengapa mobil sebagus ini tidak ada yang merawat? Mengapa dibiarkan teronggok di pinggir jalan layaknya mobil rongsokan? Dan, masih banyak pertanyaan lain yang secara serentak muncul bertubi-tubi di otak saya.
Di tengah-tengah keheranan saya tentang jati diri mobil itu, seseorang --entah siapa, saya tidak kenal-- datang mendekat. Orang ‘’misterius’’ itu mengatakan kalau mobil itu bekas miliknya Prof Dr. Abdul A’la, putranya KH. Ahmad Basyir AS, pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk Madura yang saat ini menjabat sebagai Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya.
Prof Dr Abdul A’la, saya kenal dekat dengan beliau. Orang santunnya, rendah hati. Kendati saya belum lama kenal dengan beliau, tapi hubungan kami relatif akrab. Via telepon, kita sering berbincang masalah banyak hal, khususnya persoalan Islam dan masalah sosial.
Singkat cerita, akhirnya sedan Toyota DX tua yang ‘’ajaib’’ itu akhirnya pindah tangan ke saya. Hati saya berbungga-bunga. Saya merasa senang dan bersyukur bisa merawat mobil ‘’hebat’’ tersebut. Namun sayang, di tengah-tengah kegembiraan itu, saya terbangun. Saya duduk cukup lama. Ada perasaan gelo. Seakan saya ingin tidur lagi dan melanjutkan mimpi itu. Tapi itu jelas tak mungkin. Saya pun akhirnya ambil wudhu dan melaksanakan shalat malam….
***
Ya…mohon maaf, cerita di atas memang bukan nyata. Itu rangkaian cerita yang ada dalam mimpi. Terjadi sekitar Maret atau April 2011, di saat detik-detik saya hendak memutuskan keluar dari Jawa Pos. Posisi saya pada waktu itu sudah tidak masuk kantor mulai Februari 2011. Dengan alasan sakit, saya minta cuti panjang, tidak masuk kantor.
Secara fisik, saya sakit sinusitis. Tapi, yang menjadikan saya tidak mau masuk kantor lagi semestinya bukan karena penyakit itu. Secara fisik saya masih bugar. Jadi, sakitnya lebih ke soal psikis. Jiwa saya tergunjang hebat. Galau luar biasa! Bagi saya, suasana saat itu sudah sangat tidak nyaman. Ada berbagai persoalan serius yang mengganggu prinsip hidup saya. ‘’Saya ini depresi,’’ kata saya ke istri suatu ketika.
Yach…perasaan tidak nyaman seperti itu memang sudah saya rasakan sejak lama. Namun saya realistis. Saya butuh pekerjaan. Saya pun bertahan hingga 2011. Setelah kondisi saya anggap siap: saya punya usaha sendiri (meski tergolong masih kecil) dan rumah yang saya bangun untuk tempat berteduh keluarga sudah rampung, saya beranikan diri mengambil keputusan itu. Saya menempati rumah baru pada 30 April 2011. Dan selang 40 hari, pada 10 Juni 2011, saya menandatangi pernyataan pengunduran diri.
Keputusan keluar dari zona aman, jelas merupakan keputusan yang sangat berat untuk diambil.
Penulis bersama isteri dan anak-anak tercintanya.
Bagaimana pun, Jawa Pos telah memberikan banyak hal ke saya. Untuk ukuran wong ndeso dananak seorang petani seperti saya, gaji yang saya terima saat itu sudah cukup besar. Karena itu, di tengah-tengah kegalauan tersebut, tidak lain saya meminta petunjuk Allah SWT lewat shalat istikharah. Sejak tidak ngantor di Jawa Pos pada akhir Februari 2011, tiap malam saya meminta pentunjuk-Nya. Kurang lebih selama 3 bulan berturut-turut. Saya benar-benar memohon agar Allah memberikan saya pilihan hidup yang terbaik.
Mimpi menemukan Sedan Toyota DX saya anggap sebagai salah satu petunjuk dari Allah. Dari mimpi itu, saya menafsirkan bahwa saya harus merawat sesuatu yang sebelumnya dimiliki Prof A’la.
Mengingat Pak A’la adalah seorang pendidik, maka saya harus mengikuti jejaknya merawat pendidikan. Dari luar, dunia pendidikan mungkin terlihat kusam, jelek dan tidak menarik. Namun begitu dimasuki, insya Allah dalamnya sangat indah, menyenangkan dan membuat hati tentram.
Akhirnya keputusan pun saya ambil: Keluar dari Jawa Pos dan ikut-ikutan mengajar di sebuah perguruan tinggi swasta di Tuban. Ketika semua itu saya ceritakan ke Pak A’la, belia pun mengaku setuju. Awalnya, beliau termasuk orang yang keberatan dengan keputusan saya keluar dari Jawa Pos. Tapi setelah mengetahui cerita mimpi saya di atas, akhirnya dia menjadi salah satu orang yang mendukung.
Karena latar belakang itu pulalah, ketika pada suatu malam di bulan Ramadlan mantan ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Kabupaten Tuban menyampaikan hasil rapat pengurus baru PC NU yang ingin mengamanati saya sebagai ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Tuban mengantikan dirinya, saya menyatakan sanggup. Sungguh bukan karena saya melet atau menginginkan jabatan itu. Tapi, karena saya teringat Sedan Toyota DX yang pernah menghiasi mimpi saya tadi.
Tidal lazim! Aneh! Mantan wartawan, pendatang baru di Tuban (asli Kendal, Jawa Tengah, baru benar-benar tinggal di Tuban pada 2011 dan ditunjuk sebagai ketua Ma’arif 2013), disuruh memimpin lembaga milik NU yang memiliki basis massa cukup kuat. Lembaga yang harus dikelola jumlahnya ratusan. Guru yang harus saya beri SK tiap tahunnya 5 ribu lebih. Muridnya lebih dari 30 ribu. Kini, sudah berjalan 2,5 tahun alias separoh perjalanan. Alhamdulilah semua berjalan baik. Hidup terasa lebih berarti.
Masa transisi tetaplah ada. Yakni, bulan-bulan pertama hingga sekitar satu tahun jalan. Namun, setiap keraguan atau kecemasan itu datang, selalu saya usir dengan keyakinan bahwa pilihan yang saya ambil adalah yang terbaik. Saya sudah istikharah dan Allah sudah memberikan petunjuk. Dan, semestinya ada sekitar tiga petunjuk yang saya terima, namun tidak mungkin saya ungkap semua di sini.
Yang pasti, semua berjalan baik. Insya Allah barokah. Kini sudah berjalan hampir 5 tahun. Yang saya rasakan, semua lebih baik…,lebih baik, dan semoga terus lebih baik. Allah Maha Pemurah. Rezeki ada di mana-mana. Kewajiban kita hanya menjemputnya. Yakin…insya Allah ada jalan. Datang tidaknya rejeki, Allah yang punya kuasa. Kita tinggal berusaha, dan berusaha.
Ikhtiar tidak cukup hanya lahiriah saja. Namun, ikltiar batin juga harus dilakukan. Dan, yang kita cari bukanlah banyak dan sedikitnya harta benda yang berhasil kita kumpulkan. Tapi, sejauh mana rejeki atau harta benda itu mendatangkan keberkahan, kebahagian, ketenangan dan kemanfaatan bagi kehidupan kita….Subhanallah. (*)