COWASJP.COM –
C a T a T a N: Akhmad Zaini
---------------------------------------
DISKUSI di WhatsApp Group CoWasJP tentang strategi bisnis para pensiunan yang melibatkan Bos Arif Afandi, Bos Imawan Mashuri, Ustadz Darul Farokhi, Ustadz Yarno, serta Mbak Oemi pada Jumat Malam (5/2/16) menggoda saya untuk membuat tulisan ini. Siapa tahu bermanfaat dan bisa memberikan inspirasi. Khususnya bagi yang kapasitas dan jangkauan modalnya selevel dengan saya.
Dengan menulis pengalaman ini, tentu saya tidak bermaksud mengkategorikan diri saya dalam kriteria orang yang sudah sukses dalam bisnis. Mungkin masih jauh dari kriteria itu. Usaha atau bisnis yang saya kelola saat ini masih tergolong kecil. Namun, saya harus bersyukur dari usaha mini itulah, saya (mohon maaf) yang kebetulan merasa kurang nyaman saat masih berprofesi sebagai karyawan, berani mengambil keputusan untuk pensiun dini pada usia 41. Meninggalkan gaji yang menurut ukuran saya pada saat itu cukup besar (total pendapatan per bulan sekitar Rp 10 juta). Dan, di saat anak-anak masih kecil dan membutuhkan banyak biaya.
Tentu keberanian saya itu, bukanlah keberanian yang nekat atau mbonek. Namun keberanian yang sudah saya perhitungkan secara matang. Dan alhamdulillah, kendati saya pensiun dini tanpa pesangon (saat itu hanya diberi tali asih yang nominalnya hanya puluhan juta), tapi (karena izin Allah SWT) saya dan keluarga bisa melewati masa transisi dengan selamat. Tidak ada goncangan ekonomi yang kami alami. Saya dan keluarga tetap bisa menikmati fasilitas layaknya ketika saya masih berstatus karyawan dan menerima gaji bulanan. Bahkan, (subhanallah) dari hari ke hari kondisinya semakin bagus. Karyawan yang ketika saya pensiun hanya 3-4 orang, sekarang ada 27 orang. Di saat-saat menjelang Ramadhan hingga lebaran tiba, karyawan bisa mencapai 40-an orang.
Saya pertama kali membuka usaha (tepatnya buka toko) pada 27 September 2002 --tanggal itu sekarang saya tetapkan sebagai ulang tahun Anggun Busana Group--. Saat itu, posisi saya masih ngepos di istana dan nyambi kuliah pasca sarjana (S2) ilmu Politik di UI Jakarta. Saat itu, modal yang saya miliki sangat minim. Hanya, Rp 30 Juta. Rp 22,5 juta untuk merenovasi toko serta membeli peralatan display dan Rp 7,5 juta untuk modal pertama mengisi toko baju busana muslim yang saya beri nama Anggun Busana.
Dalam hal modal awal ini, saya harus bersyukur. Sebab, meski modal yang berupa uang sangat kecil, tapi ada beberapa hal yang sangat menunjung perintisan usaha itu. Pertama, tempat yang kami sulap untuk usaha adalah rumah mertua di Tuban, yang kebetulan posisinya di tempat yang sangat stretegis, Jalan Pemuda. Kawasan ini dikenal sebagai kawasan toko busana. Ini tentu anugerah dari Allah SWT yang luar biasa besar. Kedua, posisi di Jakarta, memungkinkan saya kulakan barang dengan mudah, yakni di Pasar Tanah Abang. Sebab, usaha yang saya tekuni sejak awal adalah berdagang busana muslim. (Mengapa saya pilih berdagang busana muslim akan saya paparkan dalam tulisan berikutnya.)
Lalu, mengapa saat itu saya punya niat memulai bisnis? Pertama, kelihatannya saya memang punya darah sebagai pedagang. Meskipun profesi utamanya sebagai petani, kakek dan ayah saya juga berprofesi sebagai pedagang kecil-kecilan. Dari dagang beras, emas, hingga sepeda onthel. Begitu juga dari orang tua istri. Mertua saya, lagi-lagi meski tergolong kecil, tapi juga menghidupi keluarganya dengan cara berniaga. Jadi, insting bisnis itu selalu bergelora dan sering kali mengganggu ketenangan saya. Setiap ada peluang, keinginan berdagang itu selalu muncul dan menari-nari di depan mata.
Suasana dalam Anggun Busana yang serba warna ungu, (Foto: Cowasjp.com).
Kedua, sejak awal, saya memiliki keyakinan kalau berdagang adalah pilihan yang terbaik. Rezeki yang diperoleh bisa benar-benar halal, jika bisnis yang kita tekuni sesuai dengan syariat Islam. Saya berpendapat, sebaik dan sesukses apapun karier seorang karyawan, ada keterbatasan pendapatan yang akan dia peroleh. Beda dengan berdagang, jika ditakdirkan sukses, maka penghasilannya bisa tak terhingga. Selain itu, sering kali saya mendengar penuturan ustadz atau kiai yang mengatakan bahwa 9 pintu rezeki itu ada di perniagaan. Sedang sisanya (satu jalur), ada di berbagai profesi.
Ketiga, Saya punya feeling kalau saya tidak bisa selamanya jadi karyawan di sebuah perusahaan media cetak, meski hakekatnya saya senang dengan dunia jurnalistik. Tapi, tidak untuk selamanya. Di atas usia 40 tahun, saya ingin hidup normal. Saat itu, budaya nomaden (pindah-pindah tempat tugas) yang ‘’menimpa’’ beberapa teman dan senior, saya nilai punya dampak kurang baik terhadap keluarga. Khususnya terhadap anak-anak yang masih usia sekolah. Saya punya trauma masa lalu yang harus pindah sekolah. Saya tidak ingin kondisi itu menimpa anak-anak saya.
Saat keputusan untuk membuka usaha itu saya ambil pada 2002, status keluarga saya masih keluarga muda. Usia pernikahan baru 2 tahun. Anak pertama baru berusia satu tahun. Namun, dalam benak saya sudah terpikir tentang tempat anak saya menempuh pendidikan. Saya ingin, ketika dia memasuki usia sekolah, kami sekeluarga sudah mapan di suatu tempat, tidak pindah-pindah tempat lagi.
Pertimbangan berikutnya, karena usia pensiun di Jawa Pos sangat muda: 50 tahun. Saya menghitung, ketika saya memasuki usia pensiun, beban ekonomi keluarga saya pas berat-beratnya. Anak saya kira-kira masih kuliah di semester awal, adik-adiknya tentu masih di SLTA atau di SLTP. Maklum, saya termasuk katagori agak telat nikah. Sehingga, saya berpikir, sedini mungkin saya harus mempersiapkan diri.
Berdagang, saya nilai sebagai pilihan yang pas. Dan itu, harus dimulai sedini mungkin. Sejak dulu, saya berprinsip berdagang atau berbisnis harus dimulai ketika saya masih dalam posisi aman. Punya pegangan lain. Jangan ketika sudah menjelang pensiun atau malah sudah masuk masa pensiun. Saya sadar betul, modal yang saya miliki sangat minim. Orang tua (orang tua kandung atau mertua) bukanlah orang kaya yang bisa dijadikan topangan. Artinya, saya harus mulai dari nol. Sangat beresiko kalau saya memulai usaha ketika saya sudah tidak punya penghasilan lain.
Pengalaman saya membuka warung makan di kampus ketika masih kuliah dan toko material di depan rumah Kendal, ketika sudah lulus kuliah dan belum bekerja di JP, memberikan pelajaran kalau bisnis atau usaha bisa dinikmati hasilnya setelah usaha berjalan, minimal satu tahun. Itu pun kalau bisnis berjalan lancar alias tidak mengalami kegagalan. Nah, rasanya terlalu beresiko bila kondisi itu, dialami ketika kita sudah tidak memiliki pegangan lagi.
Asumsi saya, bila usaha dirintis ketika kita masih berstatus karyawan dan memiliki gaji bulanan, maka ada beberapa keuntungan yang bisa didapat. Pertama, kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (usaha gagal, misalnya) maka resikonya relatif kecil. Kita masih bisa memberikan makan anak istri dengan cukup. Kedua, merintis usaha itu butuh waktu dan butuh kesabaran. Kalau kita masih punya gaji tetap setiap bulan, maka kita tidak panik dan bisa bersabar ketika di awal-awal usaha, kita belum menemukan jalan yang pas. Kepanikan, menurut saya, sesuatu yang tidak boleh terjadi dalam berbisnis.
Berikutnya, keuntungan lainnya adalah, hasil usaha yang jumlahnya mungkin masih kecil, tidak langsung kita ambil untuk kebutuhan sehari-hari. Sebab, kebutuhan dapur masih ter-cover oleh gaji bulanan kita. Selanjutnya, hasil usaha itu bisa diinvestasikan lagi untuk mengembangkan usaha. Dari sinilah, usaha kita akan cepat berkembang. Pengalaman ini benar-benar saya rasakan. Toko saya yang awalnya sangat kecil bila dibanding dengan toko lain, dalam waktu singkat bisa menyamai, dan kemudian menyalip mereka. Ini karena hasil usaha yang saya peroleh, saya investasikan lagi untuk memperbesar toko. (bersambung)