COWASJP.COM – MENGERIKAN! Dalam kurun waktu empat hari terakhir Rabu lalu sampai sabtu (6 Februari kemarin) di wilayah Yogjakarta, 19 nyawa, terenggut. Mereka tewas setelah mabuk minuman oplosan. Ke 19 anak muda, dua orang di antaranya mahasiswa itu, meninggal setelah dirawat delapan hari di rumah sakit Sarjito, Hidayatullah, dan rumah sakit lainya di Yogjakarta.
Sungguh, korban mabuk oplosan ini tidak tanggung tanggung. Akhir Desember 2015 lalu, di kawasn Depok, oplosan telah menelan nyawa tujuh orang. Sementara di awal Januari 2016 lalu, empat orang tak berdaya, mereka terpaksa harus meninggalkan anak istrinya tercinta. Lagi lagi biang keroknya adalah minuman oplosan. Sungguh suatu hal sangat sangat memprihatinkan. Bayangkan, kalau dicermati, dalam kurun waktu dua tahun terakhir sudah puluhan nyawa melayang, karena ganasya oplosan.
Betapa tidak, dalam kandungan oplosan itu ternyata terdiri dari Ethanol 95 persen, gula cair dan perasa buah. Ada pula yang mencampur alkohol murni 96 persen dicampur dengan soft drink dan spirtus. Bukan cuma itu, ada yang lebih brutal lagi, alkohol dioplos dengan obat pembasmi serangga. " Ini dia yang bikin cepat kau melayang" Barangkali begitu yang ada di benak penjualnya.
Tapi memang, reaksi alkohol tak bisa dibantah lagi, antara lain bisa mengganggu mental organik dan fungsi berpikir. Semua itu bisa terjadi karena reaksi langsung alkohol ke sel sel pusat saraf. Tapi kalau sudah minum oplosan, itu tingkat sudah " bunuh diri". Dalam bahasa Suroboyoan " Niat Golek Matek"
Benar, saya jadi teringat, sekitar tahun 50 sampai pertengahan 1990 an, tak pernah sekali pun ada yang tewas gara gara mabuk. Kecuali karena korban dari amarah teman sesama pemabuk yang kehilangan kontrol. Pada pokoknya, terutama bagi sebagian kecil orang Surabaya tempo doeloe itu, punya kebiasan " Mabuk Sampek Elek, Gak Sampek Matek". Artinya boleh teler tapi jangan sampai mati.
Semua ini terlaksana karena sejak zaman Belanda dulu anak muda atau mereka yang berusia 45 tahunan hanya terbiasa minum tuak dan bier yang kandungan alkoholnya tidak lebih dari 5 persen.
Kemudian yang koceknya pas pasan, memang kadang tuaknya dicampur bier. Karena mereka berpendapat kalau cuma minum tuak saja, biarpun delapan orang habis tiga sakeh ( satu botol sakeh seukuran tiga botol bier ) belum bisa melayang layang. Sehingga jika ingin benar benar mabuk mereka butuh waktu sampai lima jam nongkrong di warung tuak yang biasanya ada di ujung gang.
Pokoknya "Mabuknya sampek Elek Tapi Gak Sampek Matek" bagamana gak jelek, minum tuak sampai lebih dari lima jam. Benar, pertengahan tahun 50 an di Jalan Pakis Surabaya ada warung tuak cukup terkenal" Warung Tuak Wak Untung" kemudian di Banyuurip ada warung tuak Wak Djan. Di Embong Malang ketika itu ada juga warung tuak yang top.
Sementara sebagian kecil orang Surabaya duwitnya cukup, misalnya pemborong atau pegawai mingguan, punya kebiasaan minum minum bier saat mereka mengadiri khitanan. Biasanya mereka menggelar acara di malam Minggu dalam terop (semacam tenda terbuat dari seng) karena pertengahan tahun 50 an belum dikenal punya hajat di gedung.
Nah dalam pesta khitanan atau pernikahan itulah terjadilah pesta bier. Tapi jangan berfikir, bier itu gratis disuguhkan oleh yang punya hajat. Sama sekali tidak. Bier itu harus beli. Biasanya du setiap tiang terop terdapat tulisan " Bier Rp 500. A Contan". Karena itu yang hadir biasanya berkumpul dalam satu meja yang ditata memanjang terdiri 8 sampai 10 orang. Kemudian mereka patungan beli bier dengan cara mengitarkan piring tepat di depan tamu ke tamu lainnya.
Bersama isteri tercinta.
Setelah komplet maka hasilnya langsung dibelikan bier. Kadang bisa memperoleh sepuluh botol, kadang bisa juga sampai 15 botol bier. Begitulah berulang ulang. Demikian juga di grup meja lain. Mereka bersuka ria sambil menikmati teri dan bandeng goreng,nasi plus sambel kecap yang disediakan oleh yang punya hajat.
Pokoknya malam itu serasa cuma milik mereka, apalagi mereka minum dengan satu gelas bergantian Itu. Satu gelas bergantian itu mereka lambangkan sebagai bentuk kerukunan dan kekompakan sesama konco. Memang, sekali srkali memang gelanya minta diganti.
Tentu saja suasana semakin riuh apabila yang punya hajat mendatangkan tandak terutama dari daerah Jombang atau Mojokerto yang terkenal cantik cantik itu.
Nah, seperti yang diungkap, karena kadar alkohol dalam bier " hanya " berkisar 5 persen, apalagi diselingi celoteh dan guyon khas Surabaya misalnya: Jancuk gak tau ketok. Sik urip ko en " yang artinya " jancuk gak pernah kelihatan, masih hidup kamu". Pokokya ramsi sekali. Tentu saja karena diseling celoteh canda itulah, untuk benar benar mabuk butuh waktu berjam jam.
Sehingga yang mengenakan jas pun wajahnya jadi memerah. Lusuh dan jelek. Apalagi yang gak ngganteng, tambah"elek soro". Itulah sebagian kecil orang Surabaya," Mabuk Sampek Elek, Gak.Sampek Matek." (*)