COWASJP.COM – PAGI itu SiKemprit dapat telpon dari bosnya. Beruntung dia tidak nggowes. Sehingga SiBos tidak kecewa lantaran hari minggu itu bisa berkomunikasi langsung dengannya.
“Assalamualaikum Prit. Tumben ada di rumah. Tak kira ada kegiatan pelatihan out bond,” ujar bos media yang hobi menulis buku ini. SiBos mengira SiKemprit los kontak, karena pagi itu baru saja mengunggah foto pelatihan di Bumi Perkemahan Ndlundung Mojosari Mojokerto.
SiKemprit bahkan dengan senang hati menjawab uluk salam SiBos. Dia mengaku sengaja mengunggah foto lama, saat pelatihan Caracter Building di Grup Whats App pagi itu, dengan harapan agar rekan rekannya tidak mengontaknya. Eh..ternyata SiBos nekad juga menelpon dirinya.
Karuan saja SiKemprit gedandapan. “Siyap bos! Ada perintah?” Jawab SiKemprit. Iya, lanjut SiBos. SiKemprit ditugaskan mewawancarai seorang pejabat militer di markas Gedangan Sidoarjo. Dia diminta menemani SiKemprut yang sehari-hari sebagai pemimpin redaksi medianya.
Tak banyak pikir, SiKemprit langsung ngontak SiKemprut. Putra SiBos ini sudah siap menunggu SiKemprit di kantor redaksi bersama fotografer, SiMat Kodak, yang seumuran dengannya. Masih muda banget! Tapi, semangatnya untuk jadi wartawan luar biasa tinggi.
Sesampai di markas SangKomandan, SiKemprit Cs tak menemui kendala. Sejak masuk pintu gerbang markas surodadu itu, kesan ramah petugas jaga begitu terasa kental. Beberapa pria berkepala plontos dan berseragam doreng menyapa tanpa sorot mata yang tajam. Penuh persahabatan. Tidak lagi ada kecurigaan!
“Surodadu sekarang beda dengan jaman saya awal awal jadi wartawan Prut,” kata Si Kemprit yang diangguki SiMat Kodak. “Dulu masuk markas mereka diliputi perasaan dag dig dug... walaupun sudah membawa kartu pers,” imbuhnya.
Emang kenapa Prit? Tanya SiKemprut. Ya, semua itu tidak lepas dari sosok pemimpinnya. Jika komandannya garang, maka anah buahnya tak kalah sangar. Sebaliknya jika sang komandannya ramah, murah senyum, dan dilandasi keimanan dalam kepemimpinannya, suasana damai itu berimbas pada lingkungannya.
Penjelasan SiKemprit ini benar-benar tidak bertepuk sebelah tangan. Saat menemui reseptionis, SiKemprit bersama SiKemprut dan SiMat Kodak langsung ditemukan SangKomandan. Tidak pakai lama menunggu. Bahkan, tidak terkesan birokratif ala militer.
Siang itu, kebetulan SangKomandan berpangkat kolonel itu tengah potong rambut di ruang kerjanya. Ia hanya ditemani seorang pria berjenggot, lengkap dengan peci dan celana setinggi mata kaki. Ternyata SiTukang Cukur itu sudah menjadi langganannya sejak menjadi Wakil Komandan.
“Silahkan masuk dik. Maaf ya, saya layani sambil potong rambut. Mumpung lagi jam istirahat nih,”SangKomandan lantas mempersilahkan SiKemprit Cs, mencicipi roti kaleng dan hidangan minum siang sesukanya.
Setelah memberikan lembaran uang merah kepada SiTukang Cukur, SangKomandan menyambut tamunya dengan senyum khas. Bibirnya yang mungil dengan hiasan kumis lebat ternyata menyimpan misteri ketauhidan yang luar biasa.
Sepanjang cerita, tak sedikitpun kalimat yang meluncur dari bibirnya berbau perintah dan perintah. Pria berputra dua berusia kepala lima ini, justru merasa salah jika memerintahkan anak buahnya tidak ada kaitannya dengan ketuhanan.
“Saya hanya memerintahkan kepada semua prajurit untuk selalu ingat kepada Allah. Caranya, setiap kali mendengar adzan, harus segara sholat. Sholatnya juga harus berjamaah di masjid. Ini perintah Allah yang harus saya sampaikan. Kalau saya mati nanti, saya sudah menjalankan tugas menyampaikan perintah Allah. Sholat!”aku SangKomandan serius.
Dengan begitu, menurut dia, dirinya sebagai pemimpin tidak akan punya hutang lagi kepada Allah. Setiap manusia yang selalu ingat akan Allah, pasti hidupnya akan dijamin. Sifat sifatnya juga tidak seperti manusia umumnya. “Semua sifat Allah yang ada dalam asmaul husna itu, akan tercermin dalam diri manusia yang selalu beserta denganNya,” sambung SangKomandan.
SiKemprit hanya bisa diam. Dia lebih banyak menjawil SiKemprut, agar menulis semua statemennya. Sebab, selama mewawancarai tokoh pemerintahan, jarang ada pemimpin yang selalu mengutamakan Tuhan dalam kehidupan kesehariannya.
Pengalamannya kali ini jauh berbeda. Sikap dan sifat SangKomandan beda banget dengan umarok lainnya. Meski namanya tidak Islami, alias njawani, sikap dan amaliahnya lebih Islami ketimbang pemilik nama-nama Islam.
“Saya berani taruhan sama kiyai manapun, yang namanya Islami dan sudah berhaji, apakah mereka bisa menjalankan perintah Allah secara ikhlas dan Istiqomah? Saya yakin tidak semuanya bisa. Karena, ajaran Islam itu harus diamalkan bukan diomongkan tok, hehehe...”tutur SangKomandan saat menutup komentarnya sembari mengajak SiKemprit, SiKemprut dan SiMatKodak foto bersama di ruang kerjanya.
By Pesantren Jurnalis