COWASJP.COM – ockquote>
C a T a T a N: Slamet Oerip Prihadi
-----------------------------------------------
WARTAWAN adalah jiwa yang bebas. Tak ingin dikekang kreativitas dan aktivitasnya untuk berburu berita. Jika ada pihak yang bertikai, wartawan harus sebisa mungkin menempatkan diri di atas kedua pihak yang bertikai. Mendengarkan aspirasi dan jerit emosi kedua pihak (yang biasanya masing-masing merasa benar, bahkan mungkin merasa paling benar).
Bahasa ilmiahnya mengatakan, wartawan mesti meliput kedua pihak (yang bertikai). Cover both side. Tujuannya untuk memperoleh objektivitas dan keadilan. Pembaca akan bisa menyimpulkan sendiri pokok persoalan sebenarnya karena mereka memperolah data yang lebih lengkap.
Berpatok pada prinsip itulah, kami bersama mantan pelatih Persebaya, Freddy Muli berangkat ke Solo kemudian lanjut ke Jogjakarta untuk menyaksikan Charity Game (Laga Amal): Tim Garuda Merah kontra Garuda Putih. Telah kami tuliskan sebelumnya. BACA BERITA SEBELUMNYA: (http://www.cowasjp.com/read/1103/20160209/105254/bertemu-cucu-dan-cicit-sang-legenda/), dua laga amal di Stadion Manahan Solo dan Stadion Meguwoharjo Sleman dimaksudkan untuk memberikan sumbangan kepada mantan bintang sepakbola dan bintang sepakbola masa kini yang sedang dirundung musibah.
Namun, di balik hajatan yang mulia dan sangat langka ini, kami juga ingin tahu lebih banyak tentang persoalan besar yang kini melanda sepakbola Indonesia. Mengapa sepakbola Indonesia harus dibekukan? Dan, mengapa kami harus mendapatkan penjelasannya di event Charity Game ini?
Sebelum mengurai persoalan serius itu, sebaiknya kami ceritakan dulu romantika perjalanan ke Solo dan Jogja. Sebagai jurnalis tua, 65 tahun, dengan hanya berbekal uang Rp 50 ribu, kami pun berangkat ke sana. Mboh yaopo carane. Andai kami minta tambahan sangu kepada anak tunggal kami, ya bisa saja. Tapi kami tidak ingin mengusik usaha barunya, yaitu Warkop Cowas JP Tropodo Indah. Biarkan seluruh pemasukan dia olah untuk menghidupkan dan membesarkan Warkop Cowas JP perdana itu. Kami akan mencari sponsor.
Sponsor kami adalah mantan anak didik (mantan wartawan Jawa Pos) pada tahun 2000 silam. Dia tak ingin disebutkan namanya. Yang jelas, dia juga ikut nonton di Stadion Manahan Solo. Dialah yang membelikan tiket Sancaka untuk kami, dan kami berangkat bareng, Kamis 4 Februari pagi pukul 07.30 dari Stasiun Gubeng. Mbonek, tapi numpak Sancaka. Asyiik.
Freddy Muli (kiri) di Warkop CoWas JP Tropodo Indah Waru. (Foto: cowasjp.com)
Tiba di Stasiun Balapan Solo, kami naik taxi gelap (Avanza). Langsung ke Hotel Fave dekat Stadion Manahan. Di situlah para pemain, ofisial Garuda Merah dan Garuda Putih menginap. Di situ pula panitia Charity Shield menginap. Ternyata, mantan anak didik kami sudah sangat akrab dengan Boss PT Gilbol Indonesia, Erwiyantoro yang akrab disapa Mbah Coco(meo Cacamarica) itu. Singkat cerita, mantan anak didik kami yang baik hati ini, juga pernah membantu Mas Toro (demikian panggilan akrabnya di antara para wartawan) dalam satu kasus yang lumayan besar.
Karena itu, kami dan Freddy Muli, juga mantan anak didik kami di Jawa Pos, Abdul Muis, free menginap di hotel Fave Solo (bintang dua) dan Hotel Sahid Rich Jogjakarta (bintang 4). Makan minum tentu saja ikut rombongan, tersedia di hotel. Transportasi dari hotel ke stadion ikut rombongan, bahkan disediakan satu mobil. Abdul Muis langsung gabung di Solo karena kebetulan dia punya acara di Ngawi, Rabu 3 Februari 2016.
Akeh konco akeh rejeki (banyak teman banyak rejeki), bukan peribahasa hampa. Konco lawas akeh nang endi-endi kepenak (teman lama banyak di mana-mana tidak akan kesulitan).
Uang Rp 50 ribu utuh. Pingin rokok, rokok dibelikan konco lawas. Pingin ngopi, ya ditraktir konco lawas. Alhamdulillah. Lo kurang enak opo urip iki. (Lo kurang enak apa hidup ini). Free!
****
Kita mulai masuk paragraf agak serius. Pemrakarsa dan pelaksana Charity Game ini adalah PT Gilbol Indonesia. Ketua sukunya adalah Erwiyantoro yang di facebook dikenal dengannama Mbah Coco(meo Cacamarica). Berduet dengan Yon Muis. Keduanya adalah wartawan sepakbola dan olahraga senior di Jakarta. Juga ada di situ Ferry Kodrat, mantan Ketua SIWO PWI Jaya, dan yang junior Ahmad Marhali dan sejumlah wartawan lainnya.
Mereka inilah sebenarnya konseptor pembekuan PSSI dan yang menginginkan reformasi total sepakbola nasional. Mereka juga punya hot line ke Megawati dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di Solo, Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo juga mem-back up.
Namun, kami belum memperoleh jawaban mengapa PSSI harus dibekukan, walaupun sempat ngopi bareng di lobby samping yang bebas merokok. Itu karena kami bertemu pelatih dan mantan pemain top di situ. Antara lain Daniel Rukito, Isman Jasulmei, Rully Neere, Ahmad Muhariah, tentu juga Freddy Muli ada di situ.
Asyik ngobrol. Mulai dari yang ringan dan guyonan sampai pada mengapa sepakbola Indonesia sekarang sulit merebut juara Asia Tenggara. Toro dan Yon Muis juga larut dengan topik perbincangan.
Baru setelah lewat pukul 00.00, ketika Freddy Muli pamit pulang duluan ke Surabaya. Ahmad Muhariah dkk pamit pulang, kami bisa berbincang dengan Mbah Coco. “Kalau reformasi sepakbola ini dilakukan setengah-setengah, sepakbola kita akan begini-begini saja. Atur skor di mana-mana. Sepakbola gajah terulang lagi. Ini karena seluruh lini sepakbola Indonesia sudah terserang virus atur skor dan judi. Manajemen, pelatih, pemain, wasit, pengurus sudah masuk angin. Tidak semua, tapi yang pegang posisi kunci sebagian besar kena,” tutur Mbah Coco.
Prananda Prabowo (kiri), putera Megawati, dan Erwiyantoro. (Foto: Dok. Erwiyantoro)
Karena itu, Rezim Nirwan Dermawan Bakrie (NDB) dan La Nyalla Mahmud Mattalitti harus lengser. “Sekarang ini yang ada hanyalah klub profesional abal-abal. Kalau ada klub profesional sepakbola Indonesia, maka klub itu sudah harus menyediakan dana untuk minimum tiga musim kompetisi. Klub itu juga paling tidak punya lapangan sendiri untuk latihan. Lapangan milik sendiri. Jadi tidak akan ada lagi pemain yang tertunggak gajinya. Mana ada pemain top yang dikontrak lebih dari satu musim kompetisi di Indonesia. Nggak ada!” urai Toro atau Mbah Coco.
Sepakbola Indonesia, lanjut Toro, dipaksakan punya klub profesional. Padahal sejatinya klub sepakbola profesional di Indonesia saat ini tidak ada. “Masa sekarang ada manajer yang memotong nilai kontrak pemain dan masuk kantong pribadinya. Tentu saja yang seperti ini di bawah meja semua. Manajer klub profesional sejati justeru memberi duit, bagi-bagi bonus dan sebagainya. Bukan mencari keuntungan dari kontrak pemain. Roman Abramovich, Big Boss Chelsea, tidak hanya membiayai semua kebutuhan klub, tapi juga rajin menonton di stadion jika klubnya bertanding. Mana ada big boss klub di Indonesia melakukan hal yang sama dengan Roman?”
Staf Menpora itu tidak punya konsep. “Road map apa. Mana? Konsepnya ya dari kami ini. Wartawan-wartawan senior yang peduli kemajuan sepakbola nasional.”
Ilustrasi gedhebug/cowasjp.com
Tentang pembekuan PSSI sebenarnya sudah didesakkan kepada Roy Suryo saat masih menjabat Menpora. “Tapi Menpora Roy Suryo tidak berani,” timpal Budi Djarot, adik Slamet Rahardjo yang mendukung gerakan Erwiyantoro dkk.
“Justeru sebenarnya klub profesional Indonesia ada di era Galatama (Liga Sepakbola Utama) dulu. Sekarang yang ada abal-abal. Oleh sebab itu, sepakbola Indonesia harus dikembalikan seperti era Perserikatan dulu. Semuanya berangkat dari klub amatir lagi,” tukas Toro.
Dengan menjadi klub amatir, maka dana APBD bisa dikucurkan kembali untuk klub-klub papan atas. Jumlah klub tidak perlu banyak, tapi heroismenya luar biasa. Begitu juga jumlah klub divisi utamanya juga harus dibatasi. Maximum 20 klub.
“Kita rencanakan ada Seri A, Seri B, dan Seri C. Dengan memperkecil jumlah klub Seri B dan Seri A, maka tidak sembarang pemain bisa gabung klub Seri B dan apalagi Seri A. Tidak seperti sekarang, pemain baru muncul langsung bisa gabung klub ISL,” sahut Yon Muis.
Dengan proses pembinaan yang ketat akan lahir pemain yang lebih berkualitas. Di sisi lain, pemerintah harus menghidupkan kembali Diklat-Diklat. Membangun Akademi Sepakbola kelas dunia.
Dana APBD masing-masing daerah akan disediakan selama empat musim kompetisi untuk masing-masing klub. “Nah setelah itu, dana APBD akan dikurangi bertahap hingga klub-klub bisa makin mandiri dan berubah jadi klub profesional. Pokoknya kalau satu klub tidak memiliki dana siap cair untuk minimum empat musim kompetisi tidak bakalan menjadi klub Seri A. Bukan dana per musim seperti sekarang,” jlentreh Toro.
Yon Muis (paling kiri). (Foto: Dok. Yon Muis)
Kalau memang Seri A harus dimulai dari 10 klub dulu, mengapa tidak? Bukankah tahun 1980 dulu jumlah klub divisi utama Perserikatan PSSI juga hanya 10. Tapi mengapa saat itu Timnas Indonesia bisa juara SEA Games, semifinalis Asian Games, dan klub Kramayudha Tiga Berlian berhasil merebut juara III Piala Champions Asia 1985/1986. Itu karena tidak sembarang klub dan pemain yang bisa gabung Divisi Utama dan Galatama.
Nah, di era kepemimpinan HAM Nurdin Halid itulah jumlah klub membengkak luar biasa. Begitu bebas orang bikin klub Divisi Satu, Dua, Tiga. Akibatnya jumlah klub Divisi Utama dipaksakan membengkak jadi 60 klub lebih. Maksudnya mungkin baik, tapi tak dipikirkan stok pemain berkualitas A yang sangat terbatas. Juga tak dipikirkan dan direncanakan dengan baik bagaimana proses pembinaan pemain remaja level Asia-nya.
Yang terjadi kemudian adalah gaji pemain edan-edanan, tapi prestasinya jeblok.
Bundesliga hanya bermuatan 18 klub, tapi Jerman 4 kali juara dunia. Liga puncak Ceko hanya bermuatan 16 klub, tapi mereka sukses menembus final Piala Eropa 1996. Musim perdana J-League (Jepang) 15 Mei 1993 hanya mempertandingkan 10 klub. Lihatlah sekarang betapa moncernya J-League di mata dunia.
Jadi, lanjut Toro, mau nggak mau harus reformasi total. Divisi wasit pun disiapkan yang baru. Namanya AWAPPI (Asosiasi Wasit dan Perangkat Pertandingan Profesional Indonesia). “Harus bebas virus judi atau atur skor. Kalau ada yang terindikasi langsung coret,” kata Aris Munandar, wasit yang bersertifikat FIFA itu.
Seperti itulah konsep reformasi total yang diusung Toro dkk. yang didukung penuh Menpora dan Presiden Jokowi. Tapi sampai kapan sepakbola Indonesia dikucilkan oleh FIFA? Dan akan semulus itukah reformasi yang digelindingkan? Tunggu tulisan berikutnya. ***