COWASJP.COM – ockquote>
O L E H: Imam Kusnin Ahmad
-----------------------------------------
JAGAT tinju profesional di Jatim bak pepatah mati enggan hidup tak mau. Betapa minimnya gelaran dan kejuaraan di Jatim yang kini dipimpin duet Pak De Karwo dan Gus Ipul.
Karena event pertandingan jarang digelar, maka generasi juara dari Jatim minim sekali. Dalam 5 tahun belakangan ini hanya satu dua orang petinju yang bisa meraih juara.
Sepinya event kejuaraan di wilayah Jatim membuat banyak petinju Jatim yang alih profesi. Dari tinju profesional beralih menjadi petarung bebas atau terjun di pencak dor yang biasa di gelar di wilayah ex Karesidenan Kediri.
Tujuannya agar periuk tetap mengepul. Padahal di Jatim ada tiga komisi yang menaungi mereka. Komite Tinju Indonesia ( KTI), Asosiasi Tinju Indonesia (ATI), Komisi Tinju Profesional Indonsia (KTPI). Namun ketiga badan itu tidak berkutik karena tidak ada promotor dan sponsor yang merapat untuk melakukan gelaran. Kalaupun ada sifatnya regional saja. Bukan perebutan sabuk kejuaraan nasional atau juara dunia. “Boro-boro dunia. Asia saja jarang,’’ ungkap Monod, petinju top tahun 1980-an asal Malang. Tidak sedikit mantan petinju yang alih profesi ke pencak dor atau tarung bebas.
Meski uang sakunya tidak lebih dari Rp 1 juta setiap gelaran. Padahal resiko cedera lebih besar dari event tinju profesional. Selain itu tidak ada asuransi bagi yang mengalami luka atau cedera, bahkan sampai terjadi kematian. Paling-paling hanya sekadar partisipasi dari panitia. Itupun jumlahnya tidak seberapa.
Beberapa nama petinju yang alih profesi antara lain La Syukur, Syamsul Abdul Hadi, Bugiarso dan banyak lagi.
Karena kondisi ini, ATI Jatim pernah menginiisiasi untuk melakukan pelatihan, promotor, pelatih dan wasit/juri di Blitar. Namun hasilnya tidak begitu signifikan.
Kondisi Jatim benar-benar ambruk. Ini setelah dua tokoh tinju Jatim P. Setijadi Laksono dan Herry Aseng Sugiarto meninggal dunia. Perkembangan tinju Jatim bagai mundur 25 tahun. Sebenarnya fenomena ini bukan hanya terjadi di Jatim, tetapi sudah menjadi gejala umum di Indonesia. Namun Jatim yang pernah menjadi tolok ukur perkembangan tinju nasional sangat terasa pengaruhnya.
Saat ini sangat jarang digelar pertandingan. Dari catatan penulis dalam kurun waktu 2006-2015 akhir lalu, di Jatim hanya ada 17 kali pertandingan. Di bawah pengawasan Komisi Tinju Indonesia (KTI) delapan kali kali, Asosiasi Tinju Indonesia (ATI) enam kali, dan si bungsu Komisi Tinju Profesional Indonesia (KTPI) dua kali.
Bandingkan dengan ketika kedua tokoh itu masih hidup. Setiap bulan rata-rata ada dua atau tiga kali pertandingan tinju di Jatim. Paling tidak ada pertandingan tinju di Jakarta atau tempat lain yang melibatkan petinju dan wasit tinju Jawa Timur. Ibaratnya mereka tidak kehabisan order dan bisa menggantungkan hidup dari tinju professional.
Seiring dengan surutnya pertandingan, seleksi alam bicara. Sasana-sasana besar satu per satu bubar atau hanya tinggal nama. Diawali dengan Sawunggaling kemudian Akas dan lainnya. Kini hanya tinggal beberapa yang masih bertahan karena didukung pendanaan yang masih kuat seperti Pirrih BC, Semen Gresik BC dan Mirah BC Banyuwangi. Sasana-sasana kecil sebenarnya masih ada, namun tidak lagi mengasramakan petinju. Apalagi memberikan uang saku bulanan.
Petinju hanya diberi kesempatan berlatih saja. Itupun jika mau. Jika malas berlatih pun tidak ada sanksi. Mau bagaimana lagi? Pemasukan sasana sangat minim. Pertandingan sangat jarang. Belum tentu seorang petinju dalam setahun dapat kesempatan tanding walau hanya sekali. Latihan saja tanpa ada petandingan lalu makan apa? Otomatis mereka mundur dengan teratur: Mencari pekerjaan lain,yakni masuk di arena Tarung Bebas.
Bukan hanya petinju yang kehidupannya mengalami kemunduran secara ekonomis. Para wasit pun demikian. Dulu ketika masih banyak pertandingan seorang wasit bisa tiga bahkan empat kali memimpin pertandingan per bulan. Paling sering mereka memimpin pertandingan yang dilaksanakan di stasiun televisi, baik itu di Indosiar, RCTI, SCTV dan JTV serta TVRI. ***