COWASJP.COM – ockquote>
O L E H: M. Nasaruddin Ismail
-------------------------------------------
CERITA tentang rokok, mengingatkan saya kepada almarhum HM Rosyidi, bapak mertua beberapa tahun yang lalu.
Kalau saya sejak kecil memang tidak merokok. Almarhum abah sangat keras melarang anak-anaknya merokok. Jangankan merokok, pegang rokok saja sudah diomelin.
Tapi alhamdulillah, berkat sikap disiplin ayah itu pula yang membuat saya tidak merokok sampai sekarang.
Beda dengan ayah mertua, yang juga teman main abah. Sejak muda sudah senang merokok.
Pada suatu hari datang menengok cucunya di Rungkut, Surabaya. Kebetulan, beliau tinggal di Jakarta, sejak almarhum mertua perempuan meninggal. Ibu mertua meninggal akibat pendarahan ketika melahirkan isteri saya, di perkebunan Gunung Tambora, gunung yang terkenal akibat letusan dahsyat yang sempat menggegerkan dunia itu.
Dengan guyon saya melarang beliau merokok. "Ayah, jangan merokok. Kan sudah tua," ucap saya, sembari menikmati sarapan pagi, dengan hidangan ala Bima yang disuguhkan nyonya.
Makanan khas Bima memang agak beda dengan di Jawa. Tapi itulah yang disenangi ayah mertua. Ada cacah tomat, bawang merah, lombok dan timun. Juga sedikit jeruk. Orang Bima menyebutnya doco.
Tanpa saya duga, beliau dengan spontan menjawab. Tak kurang dari sepuluh orang temannya yang sudah almarhum, disebutnya satu -demi satu. "Teman ayah yang meninggal itu semuanya tidak merokok," ucapnya singkat. "Meski tidak merokok, tapi umurnya pendek. Bahkan usinya di bawah saya," sambungnya.
Dasar menantu yang tak sopan, ucapan ayah mertua itu, langsung saya jawab. "Ya kebetulan umurnya pendek," komentar saya.
Saya memang akrab dengan beliau. Sebab, masih keluarga sendiri. Beliau juga teman sekolah abah saya ketika masih SGB (Sekolah Guru Bantu) di Bima sana.
Singkat cerita, beberapa tahun lalu, beliau datang lagi menengok cucunya di Surabaya. Datangnya kali ini sudah sering batuk. Kalau sudah batuk tak henti-henti. Maklum, usinya juga sudah lebih dari 80 tahun.
Saya kembali menggoda beliau. "Ayah. Sekarang kok nggak merokok lagi," sapa saya sembari tersenyum, agar beliau tidak tersinggung.
Jawabannya, tidak seperti dulu lagi. Nadanya sedikit tinggi. Bahkan nyaris tak terdengar akibat batuk. "Sudah tahu saya batuk-batuk, kok tanya merokok," ucapnya dengan nada sedikit tinggi. Saya pun hanya membalas dengan senyum, sembari membisiki isteri yang ada di sebelah.
Foto ilustrasi: cowas.com/ghedebuk
Kali ini beliau tidak berani lagi menyebut temannya yang sudah mendahuluinya, dan tidak merokok itu. Kali ini jawabannya justeru langsung nasihat kepada orang yang merokok.
"Anak cucu saya, jangan merokok seperti saya. Cukup ayah yang sengsara begini karena efek merokok," ucapnya dengan mimik yang serius. Beliau memberikan nasehat itu sambil batuk-batuk. Bahkan nasihatnya itu sempat terputus-putus, karena batuk pula.
Dasar mantu yang mbeling. Dengan gurau saya katakan. "Lhoh, ayah dulu bilang, temannya sudah duluan meninggal. Padahal tidak merokok. Kali ini, saya kena marah. "Kamu tidak melihat ayah yang batuk-batuk setengah mati ini."
Untuk meredamkan emosinya, saya langsung memijat punggungnya. Sebab, batuknya betul-betul menyiksa. Dan rupanya, itulah wasiat terakhir H.M. Rosyidi, ayah mertua sebelum mengembuskan napas terakhir setahun yang lalu.
Gurauan saya dengan mertua ini tidak bermaksud menyindir teman-teman yang merokok. Saya bercerita pengalaman lucu dengan mertua yang sangat akrab dengan saya.
Beliau katakan itu, karena betul-betul tersiksa. Menurut pengakuannya karena merokok.
Selamat jalan ayah, nasihatmu selalu saya ingat. ***