COWASJP.COM – ockquote>
O L E H: Sulaiman Ros
---------------------------------
BACA tag Cowas JP membuat saya tersenyum-senyum: “Nulis Sampek Tuwek, Seduluran Sampek Matek”, terus ada yang nyeletuk “...Nek Matek Ditulis Arek-Arek ...wekekek...”.
Kalau gak salah,... karena ujung kosa katanya berakhiran “ek”, bahasa ludruknya bisa disebut wangsalan. Nah, kalau wangsalan dilagukan dengan alat musik terbang/gendang besar, namanya kentrungan. Itu termasuk salah satu kesenian Jawa Timur yang saya sukai.
Kembali ke Konco Lawas JP. Lebih dulu, saya mohon maaf, karena tidak bisa menghadiri acara kumpul-kumpul silaturrahim (reuni) komunitas Cowas JP yang sudah beberapa kali pertemuan sebelumnya. Alasan utamanya, ya masalah instabilitas.
Foto dan ilustrasi: cowas.com/ghedebuk
Apalah istilahnya, perkumpulan, komunitas, jamaah, atau anggota Cowas ( ...hehehe, mau nyebut habitat gak enak. Red.), yang penting tetap pada sehat, saling mendoakan, saling komunikasi, dan rezeki tetap lancar. Amin.
Tag “Nulis Sampek Tuwek” juga memang pas. Artinya, wartawan gak pernah pensiun (...cuma gajiannya yang pensiun, kali ya..). Keinginan menggebu untuk menulis masih tetap sering muncul tiba-tiba di benak kita. Tapi ketika akan nulis, tiba-tiba muncul pertanyaan-pertanyaan “syaiton”: Mau nulis soal apa? Untuk siapa? Buat apa?, yang melemahkan semangat kita untuk menulis.
Nah, dari seringnya keinginan kita untuk menulis, dan sering pula dimentahkan oleh pertanyaan-pertanyaan ‘syaiton’ itu, lalu saya coba bikin blog elek-elekan. Keinginan bikin blog itu pun sebetulnya sudah sejak dua tahun lalu, baru terealisasi Oktober 2015. Yah, meski gaya tulisannya lucu, tumpul, dan jadul banget. Isinya ya tentang pengalaman-pengalaman yang menurut saya monumental sebagai wartawan pemula saat itu.
Sub judulnya, memang saya tulis ‘Catatan Ringan Wartawan Pensiun’, terinspirasi sinetron ‘Preman Pensiun’.
Tapi gak apalah, kan sekedar pelampiasan yang positif, serta pembuktian pameo, bahwa ‘Wartawan Tidak Pernah Pensiun’... sampek tuwek, sampek matek. Paling tidak, memberikan gambaran, seperti itulah, kerja wartawan era dulu, sebelum virus digital melanda.
Foto dan ilustrasi: cowas.com/ghedebuk
Untuk mengejar target, berita kelas satu dan eksklusif, harus melakukan usaha maksimal, apa pun caranya, beresiko, selain berdoa (lihat tulisan2 nostalgia saya di bagian lain, Red.). Proses berat seperti itu tidak akan pernah dialami oleh wartawan di era digital sekarang.
Sumpah, saya nggak ngiri dengan wartawan sekarang yang demikian lengkap fasilitas pendukungnya dan canggih. Perubahan zaman, mau tidak mau, memang harus dinikmati dan diikuti. Saya cuman ingin bernostalgia. **