COWASJP.COM –
PERCAYALAH! Saya dulu adalah mantri yang suka nyuntik. Tapi nanti dulu. Saya bukan orangnya yang suka sembarangan menyuntik pantat orang. Apalagi nyuntik pantat nenek nenek. Yah, mungkin ini yang dinamakan takdir. Saya ditugasi menyuntik punggung kodok jantan, minimal empat ekor setiap hari. Jadilah saya tukang suntik kodok meski tak jarang dipanggil dengan sebutan Pak Mantri oleh beberapa pasien wanita.
Cerita tukang suntik kodok ini memang jadi bagian perjalanan hidup saya selama tiga tahun, sejak awal 1971 hingga awal 1974. Sungguh, tak mungkin saya mampu mengingkari jalan berliku sebagai tukang suntik kodok, meski setelah itu pintu kehidupan terbuka dengan benderang.
Alkisah, 45 tahun lalu saya merasakan betapa sulitnya mencari pekerjaan dengan hanya mengandalkan ijazah SMA. Karena itu, apa pun pekerjaan yang bisa saya dapatkan, itulah yang harus saya tekuni.
Sehingga ketika mendapat tawaran menjadi tenaga asisten di Laboratorium Kesehatan di kawasan Jalan Kedungsari Surabaya, saya pun langsung bersedia. Mula-mula memang merasa jijik dan maaf perut ini serasa diaduk aduk, manakala melihat air kencing, feaces (kotoran) dan darah.
Bersama salah seorang cucunya. (Foto: CoWasJP)
Tapi setelah tiga empat bulan kemudian jadi terbiasa. Apalagi saya mulai ditugasi oleh salah seorang analis seniornya untuk belajar memeriksa air kencing pasien yang diduga terkena diabetes, gangguan ginjal atau yang fungsi levernya terganggu. Nah, setelah enam bulan " berkubang" dengan air kencing milik pria dan wanita dari yang bocah sampai kakek nenek, maka tibalah saatnya harus fokus mempelajari bagaimana menentukan hamil atau tidaknya seorang wanita dari air kencingnya.
Caranya? Ya seperti yang sudah saya kemukakan tadi, jadilah saya tukang suntik kodok. Sang kodok yang korban ketajaman jarum suntik saya adalah kodok jantan dewasa. Tapi maaf, jangan salah, kodoknya bukan kodok yang biasa di hidangkan di atas meja restoran. Sekali lagi bukan swieke. Jadi kodok yang dipilih adalah kodok Bufa Vulgaris atau biasa disebut kodok kampung. Kemudian si kodok itu saya suntik di bagian bawah punggungya dengan spued yang diisi air kencing wanita. Tentu saja biasanya yang memeriksakan diri adalah wanita yang terlambat datang bulan sekitar tiga minggu.
Setelah saya suntik, binatang amfibi ini biasanya terdiam. Kasihan kelihatan kesakitan. Tapi apa mau dikata, saya digaji untuk melakukan eksekusi dengan disertai bau pesing itu. Pada tahap selanjutnya, seperti prosedur standar yang diajarkan, dua jam setelah disuntik punggung kodok harus ditepuk tepuk ringan. Dan...crut keluarlah cairan dari kloaka sang kodok. Cairan itu kemudian saya taruh kaca preparat dengan menggunakan pipet dan tentu saja harus dilihat di microscope.
Dan terlihatlah puluhan sperma kodok berenang di atas cairan, seolah mereka bersorak riang. Seperti riangnya pasien pengantin baru yang menunggu cemas hasil pemeriksaan kehamilannya. Nah dengan melihat keriangan sperma kodok itu, maka bisa dipastikan pasien yang air kencingnya saya suntikan ke kodok itu positif hamil. Pemeriksaan ini dikenal dengan nama metode Galli Mainini Test ( GM Test). GM Test ini sendiri adalah hasil riset dari Galli Mainni seorang dokter dari Buenos Aires pada tahun 1952.
Ketika masih menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Liberty. (Foto: CoWasJP)
Kepiawaian Galli memang diakui canggih di zamannya. Karena seperti dijelaskan oleh para dokter bahwa air kencing wanita hamil mengandung hormon HCG. Hormon ini menyebabkan kodok terangsang memproduksi sperma. Memang, metode GM ini sekarang sudah tidak dipakai lagi.
Karena ilmu kedokteran semakin maju pesat sehingga dengan mudahnya seorang calon ibu bisa melakukan sendiri apa sudah hamil atau belum. Karena tersedia test pack yang sangat praktis. Bayangkan delapan hari pembuahan sudah diketahui posiitif hamil atau belum. Jadi yah sudah tidak perlu lagi tukang suntik kodok seperti saya ini.
Layaknya saya, pada akhirnya di awal tahun 1974 pun harus dengan rela melepas predikat " Pak Mantri" karena dunia pers nampaknya lebih bisa memberikan ruang berkarya. Ternyata benar setelah empat tahun menjadi wartawan free lancer, maka di tahun 1978 memantapkan hati bergabung di Harian Jawa Pos. Di sana tak bisa ditolak harus ikut berjuang agar koran yang didirikan tahun 1949 ini bisa berkembang. Sungguh, tak bisa dipungkiri takdir berkata:
Setelah 12 tahun di Jawa Pos, saya diangkat sebagai Redaktur Senior. Dan selang enam bulan kemudian saya ditugaskan sebagai Pemimpin Redaksi/Wk. Pemimpin Umum Majalah Liberty, sejalan dengan bergabungnya Liberty dalam Grup Jawa Pos. Suatu prestasi yang tak terbayangkan sebelumnya. Tapi bagaimana pun saya masih tetap teringat bagaimana bau air kencing wanita hamil.
Jangan dikira harum. Akh...sama saja. Pesing...! **