COWASJP.COM – style="text-align:center">Joko Intarto
Konsultan dan Praktisi Bisnis Media
Benar-benar anomali. Perusahaan riset pemasaran merilis prediksi iklan media cetak tahun 2015 berkisar di atas Rp 20 triliun, naik 15 persen dibanding 2014.
Anehnya, pada 2015 banyak perusahaan penerbitan media cetak yang kehabisan nafas. Tidak hanya perusahaan media cetak yang kolaps. Biro iklan media cetak pun ikut-ikutan gulung tikar.
Memasuki 2016, perusahaan media cetak dan biro iklan media cetak yang menyerah semakin banyak saja. Namun demikian, perusahaan media berbasis online malah tumbuh. Demikian pula biro iklan media digital.
Lima tahun terakhir ini, bisnis media memang berubah total. Media cetak memasuki ‘’waktu magrib’’ yang berarti tumbuh negatif. Media online baru memasuki ‘’waktu subuh’’ yang berarti tumbuh positif.
Sejak internet dikenal luas sekitar 20 tahun lalu, banyak ahli komunikasi meramalkan pendapatan media cetak akan semakin menurun. Penyebabnya bukan karena media internet ‘’memakan’’ kue iklan media cetak. Tetapi karena internet memungkinkan tumbuhnya trend baru: ‘’self publishing’’.
Pada masa-masa awal kemunculan ‘’self publishing’’ itu, membangun website menjadi sebuah ladang bisnis yang sungguh menggiurkan. Perusahaan harus merogoh kocek Rp 80 juta hingga Rp 100 juta untuk sebuah website pada 1996 dengan waktu pembuatan hingga tiga bulan.
Alasannya sederhana: antrean pemesan website sangat panjang, sementara jumlah web developer sangat sedikit.
Sekarang, membuat sebuah website bahkan hanya perlu menyediakan biaya sekitar Rp 500 ribu dengan membeli domain dan web template secara online. Implementasinya juga sangat mudah. Dalam beberapa jam saja, sebuah website siap dipulikasikan.
Banyak orang yang bisa melakukan tanpa bantuan web developer lagi.
‘’Self publishing’’ menjadi semakin marak ketika muncul media sosial yang ditandai dengan lahirnya aplikasi blog ‘’Friendster’’. Inilah platform portal blog pertama yang member kesempatan semua orang memiliki blog gratis.
Kelahiran Friendster kemudian disusul dengan hadirnya aplikasi Wordpress dan Blogspot. Dua aplikasi terakhir itu lebih menarik dan lebih friendly.
Demam blog menjadi sebuah peluang bisnis baru: pelatihan membuat blog. Pada tahun 2004, saya dan kawan-kawan membuat jasa pelatihan membuat blog.
Kami berkeliling dari kampus ke kampus di Jabodetabek membuka kelas pelatihan membuat blog dengan dukungan PT Djarum dan PT XL (Axiata). Pesertanya dari mahasiswa hingga dosen. Pelatihannya gratis, berhadiah Rp 500 juta! Semua disediakan sponsor.
Friendster akhirnya kalah bersaing dan menyerah. Aplikasi Friendster pun resmi ditutup pada 2010.
Demam blog semakin menjadi-jadi setelah kemunculan platform media sosial baru yang bernama Facebook dan Twitter. Self publishing semakin popular. Populasi pemilik akun Facebook dan Twitter di Indonesia bahkan sudah melampaui jumlah pembaca semua media cetak.
Berkali-kali lipat!
Dalam perkembangannya, Facebook dan Twitter tidak hanya dimanfaatkan untuk saling berbagi cerita dan berita. Facebook dan Twitter juga digunakan untuk membangun citra. Dari perusahaan hingga calon presiden, semua memanfaatkannya.
Fast response! Ini sisi lain menariknya media sosial. Begitu informasi di-upload, respons publik akan diterima hanya dalam hitungan detik.
Begitu cepat. Begitu mudah.
Pengalaman interaktif yang terasa ‘’sesuatu banget’’ itu tidak bisa dihadirkan media cetak. Alhasil, media cetak semakin hari semakin hilang dari keriuhan komunikasi.
Media cetak tidak mati. Tapi media cetak ‘’dilupakan’’ masyarakat. Media cetak tidak mati. Tapi media cetak dianggap ‘’tidak perlu’’ karena masyarakat butuh self publishing.
Setiap orang butuh eksistensinya diakui lingkungannya.
Kondisi itu semakin diperparah dengan sistem pemberitaan media cetak yang ‘’otoriter’’. Media cetak hanya menjejali pembaca dengan informasi yang suka-suka redaksinya.
Fenomena self publishing inilah yang sekarang menjadi peluang sekaligus ancaman. Peluang bagi mereka yang bisa menciptakan konten dengan platform digital. Ancaman bagi yang masih ‘’keukeuh’’ menciptakan konten dengan platform tradisional.
Ketika memutuskan pensiun dini dari Jawa Pos pada 2010, saya langsung banting setir ke bisnis penyedia konten media digital. Saya mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang jasa produksi konten multimedia.
Perusahaan ini berjalan baik sampai saat ini. Selama enam tahun perjalanannya, PT Jagat Pariwara Media Citra semakin fokus bidang garapannya. Menyediakan jasa produksi konten, menyediakan teknologi, menyiapkan infrastruktur dan mengaplikasikan ketiga-tiganya untuk membangun sebuah media digital.
Penulis yang selalu siap dengan peralatan untuk produksi konten guna siaran live streaming.
Pekan lalu, saya berkomunikasi dengan Pak Achsanul Qosasi, owner Madura United, klub sepak bola yang bermarkas di Sumenep, Madura, JawaTimur.
Sebagai klub yang masih baru, Madura United perlu punya stasiun TV online. Fungsi utamanya adalah menyediakan konten video Madura United, baik video siaran langsung setiap pertandingan maupun video rekaman.
Konten video itu bisa diambil secara gratis oleh semua media televisi terestrial, televisi satelit maupun televisi streaming lain. Fungsinya sebagai penyedia dan distributor konten.
Beberapa hari yang lalu, saya dikunjungi Ahmad Zaini, teman lama yang sekarang menjadi creative director di sebuah perusahaan biro iklan digital. Perusahaannya belum berusia tiga bulan, tapi sudah tiga kali menang pitching. Semuanya tentang membuat konten untuk platform media digital.
Zaini menyebut positioning perusahaannya sebagai ‘’content agency’’. Agen penyedia konten. Semua format konten disediakan: text, image, graphic, audio, video. Komplit.
‘’Semua brand harus bisa membuat kantor berita sendiri. Medianya sudah ada. Gratis pula. Yang belum ada adalah kontennya. Ini tugas perusahaan saya,’’ kata Zaini.
Self publishing services. Mungkin itu istilah yang tepat untuk menggambarkan bisnis media yang kini sudah berubah! (wan)