COWASJP.COM – SIMPANG siur berita pencabutan SK Pembekuan PSSI masih membingungkan masyarakat. Dua pemuka bangsa, Jusuf Kalla dan Agum Gumelar secara tegas menyebut Presiden Joko Widodo setuju adanya pencabutan.
Sisi lain, pemerintah melalui pejabat kementerian dan pihak istana melansir presiden hanya memerintahkan Menpora Imam Nahrowi mengkaji ulang keputusannya membekukan PSSI.
Dua sikap yang bertolak belakang ini, kian menjadi lelucon. Super lucunya lantaran pernyataan tersebut berhulu dari satu atap: Wilayah Kekuasaan Presiden RI.
Betapa tidak! Pejabat yang menyuarakan amat sangat kredibel. Siapa yang tak kenal Jusuf Kalla. Seorang Wakil Presdien. Agum juga begitu. Seorang jenderal yang berjiwa ksatria. Dia mewakili komunitas sepak bola sebagai Ketua Komite Ad Hoc Reformasi PSSI.
Di pihak lain ada Menpora Imam Nahrowi. Ada Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Ada Juru Bicara Presiden dan Istana Negara Johan Budi dan Sukardi Rinakit.
Mereka ini adalah wakil rakyat. Bukan penjual cilok atau asongan di pinggiran jalan. Atau suporter liar yang suka pakai kostum apa saja he he.
Memang, aneh bin ajaib. Berita yang berasal dari satu sumber, kok, ya, bisa-bisanya berbias dengan nada sumbang. Sumir!
Tak heran jika masyarakat kian muak dengan retorika ini. Keputusan yang ditunggu-tunggu, dan bisa membahagiakan banyak orang, justru jadi mainan. Sudah sejauh itukah wakil rakyat kita: SALAH PERSEPSI!
Jika dua kata itu yang menjadi persoalan, tidak apa-apa sih. Tapi, kalau mereka sudah mendustai umat, itu masalahnya. Kalau masyarakat sudah tidak akan percaya lagi, mau dikemanakan lagi bangsa ini BRO!
Agum Gumelar, yang menjadi bulan-bulanan media, tetap ngotot tidak mendustai masyarakat. Apa yang disampaikan adalah rilis dari pertemuannya dengan Presiden Jokowi. Begitu pula Jusuf Kalla (JK).
Keduanya mengakui presiden setuju pencabutan SK Pembekuan PSSI.
Hal itu disampaikan Agum dan JK, setiap kali bertemu wartawan. Namun pernyataannyai tetap mentah, karena Menpora Imam Nahrowi baru melaporkan hasil kajiannya kepada Presiden Jokowi, Senin.
Apa pun keputusannya, itu tergantung dari riset kemenpora. Jika dalam laporan tim pengkaji itu tidak didasari niat yang tulus, bukan tidak mungkin akan mentah lagi. PSSI tetap dibekukan dalam waktu yang tidak jelas lagi.
Karena itu, tidak heran jika mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut buka mulut. Melalui akun twitternya, SBY menilai kesimpangsiuran kabar tersebut berefek buruk bagi psikologi masyarakat.
“Rakyat mulai lelah, bingung & kehilangan harapan bakal terselesaikannya krisis dan kemelut PSSI & persepakbolaan Indonesia,” tulisnya.
Roy Suryo juga berharap demikian. Menpora di era Kabinet Presiden SBY ini mengaku heran, kenapa Menpora Imam Nahrowi membekukan PSSI. Kalau toh dibekukan, kata Roy, jangan sampai berlarut-larut kevakumannya.
“Kasihan pemain serta peranti lainnya. Sampai sekian lama vakum itu, namanya keblabasan,” tegas Roy saat ditemui cowasjp.com di kediaman Raja Paku Alam X, tempo hari. “Menpora harus segera rekonsiliasi dengan PSSI,” imbuhnya.
Benar tidaknya berita yang disampaikan Agum dan kemudian dikonter pihak presiden itu, bagi masyarakat bola tidak terlalu urgen. Mereka hanya berharap presiden benar-benar punya iktikad baik dan tulus, menghidupkan kembali persepakbolaan nasional. Jangan dibunuh!
“Presiden jangan sampai mencla mencle. Isuk dele, sore tempe. Itu namanya selegenje,” ujar seorang pecinta sepak bola nasional. Pria yang akan diwisuda di PTN ini juga berharap Presiden Jokowi harus berani meminta pertanggungjawaban Menpora terhadap keputusannya.
Sebab, pembekuan PSSI itu telah berdampak buruk di semua aspek. Jika tidak ada sanksi apapun terhadap bawahannya, ”Bukan tidak mungkin kebijakan Menpora itu juga atas rekayasa Sang Presiden,” analisis pecandu bola lainnya.
Asumsi ini, bukan hanya isapan jempol. Simpang siurnya berita dari satu atap yang nadanya bertolak belakang itu adalah sebuah fakta. Fakta tidak adanya kesiapan presiden untuk menyampaikan hasil pertemuannya dengan Agum melalui juru bicaranya.
Sehingga Agum, yang merasa di atas angin, langsung berbicara di media sesuai dengan persepsinya. Entah benar atau tidak, yang jelas Presiden Jokowi sudah menyiratkan kesadarannya, terhadap besarnya efek pembekuan tersebut.
Penulis dan posternya. (Foto: CoWasJP.com)
Presiden menyadari ketidakpedulian Menpora terhadap dampak pembekuannya, adalah dengan matinya roda kempetisi sepak bola di seluruh negeri. Sebuah kompetisi berjenjang dan berkesinambungan, yang sudah dibangun puluhan tahun itu mandek jegrek. Ini belum termasuk efek domino lainnya.
Masyarakat juga tidak ingin Menpora kehilangan kepentingannya sebagai pengelola olahraga nasional. Di mana cabang sepak bola, merupakan supremasi tertinggi dan bergengsi.
Jika gagal atau absen di event terdekat Piala AFF 2016, SEA Games 2017 dan Asian Games 2018, bukan tidak mungkin lubang kehancuran sepak bola nasional semakin menganga. Dia bakal tinggal gelanggang colong playu. Alias meninggalkan kehancuran olahraga nasional ketika sudah tidak lagi menjadi menteri.
Presiden juga diharapkan jangan sampai gagal melihat. Melihat kenyataan bahwa membangun sepak bola dari titik nol lagi itu, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Juga, tidak mudah membangun sepak bola yang kokoh tanpa melibatkan para ahlinya.
Kendati orang bola yang diduga terhinggapi penyakit kanker kronis, janganlah langsung dibantai. Masih ada cara yang lebih arif dan manusiawi. Cari penyebab kankernya dan matikan penyakit yang mematikan itu. Memperbaiki sistem yang sudah berjalan, jauh lebih mudah daripada membuat sistem baru yang belum tentu cocok dengan komponen yang sudah ada.
Kita perlu melihat bahwa kepemimpinan presiden dan kabinetnya hanya dihitung dengan lima jari. Cuma lima tahun berkuasa.
Sistem pembinaan yang dibangun melalui organisasi sepak bola yang berbunyi PSSI itu, butuh waktu yang super lama. Kita jangan sampai gagal melihat kenyataan ini.
Memang, sepak bola tidak bisa dipisahkan dari orang-orang politik. Presiden Soeharto mengelola PSSI dengan Golkarnya, sudah menghabiskan triliunan rupiah.
Kalaupun Presiden Gus Dur, Megawati atau SBY nekad mengambil alih pengelolaan sepak bola nasional pasti mikir panjang. Berapa duit yang harus dibelanjakan untuk “membeli” aset yang sudah dikeluarkan penguasa lama PSSI. Mafi muskilah. Hil yang mustahal!
Mengurusi sepak bola itu, boleh-boleh saja sumber dananya dari orang partai dan koleganya. Ini lebih baik, ketimbang kita harus kembali mengelola sepak bola dari hasil judi, Porkas misalnya, atau barang haram lainnya.
Inilah seninya mengelola sepak bola nasional. Mampukah Presiden Jokowi Cs membawa sepak bola kita dikelola secara profesional hingga menghasilkan modal dari uang yang halal dan legal. Semoga mereka tidak gagal melakukan dan menyelesaikan peluang yang masih terbuka lebar.
Terlebih lagi nawaitu presiden melalui menpora amat mendambakan reformasi sepak bola yang bersih. Murni! Yaitu berangkat dari mental yang telah terevolusi dari kerusakan jiwa yang tidak nasionalis.
Semoga!
By Pesantren Jurnalis
Baca dan Simak Berita Olah Raga Lainnya Klik Di Sini