COWASJP.COM – ockquote>
SEPATU kecil itu semuanya enam buah. Tapi sungguh tak saya duga sebelumnya. Tak sepasang pun bisa dipakai. Sungguh sia-sia, saya membawanya dari sebuah toko di daerah Pucang Anom Surabaya. Kasihan anak anak saya memang. Tapi apa mau dikata itulah kenyataannya. Sebuah kisah yang cukup menggores hati di saat saya baru lima tahun menjadi wartawan dan baru satu tahun bergabung di Jawa Pos.
Kisah ini tentu saja dimulai ketika saat itu saya harus bertugas meliput berita-berita kriminal antara tahun 1975 sampai 1982. Tugas itu diberikan oleh D.Subali salah serorang Pejabat Pemimpin Redaksi Jawa Pos. Tentu saja tugas itu saya terima dengan senang hati, karena saya menganggap sebagai pengakuan bahwa saya telah secara resmi sebagai Wartawan Jawa Pos. Meski di balik itu ada rasa cemas menggayuti hati, bukan lantaran saya takut sangarnya penjahat atau takut pada pelaku tindak kriminal lainnya. Sama sekali tidak. Yang membuat saya gamang, yakni saya tidak punya motor. Apalagi SIM C.
Bayangkan dengan bekal Kartu Pers yang ditandatangani D. Subali itu, saya harus keliling dari Polresta (dulu disebut Koresta ) Surabaya Selatan di Jalan Dr. Soetomo ke Polresta Surabaya Utara di Jalan Bubutan, Kemudian ke Jalan Sidodadi. Karena di sanalah Markas Polresta 3 berada. Polresta 3 sendiri nemiliki daerah hukum di wilayah Surabaya Timur. Belum lagi kalau kebetulan di Polres Polres sedang kering berita saya juga harus gerilya ke Polsek-Polsek.
Tak cuma itu, kalau perlu pendalaman tentu harus siap mewancarai korban perampokan atau penodongan misalnya. Tentu saja ini jadi perlu pemikiran ekstra keras, karena ya itu tadi. Tidak mampu beli motor. Mending kalau ke rumah korban atau TKP (Tempat Kejadian Perkara ) ada lyn angkot, kalau tidak ada pasti harus jalan kaki. Karena tidak mungkin naik becak, karena saya harus berhemat. Maklum, honor Wartawan Jawa Pos sangat kecil ketika itu.
Bertolak dari masalah itu, di saat berangkat dari rumah bisa dipastikan naik bus. Kalau harus ke Polresta 3 di Jl. SIdodadi, ya turun di Jembatan Merah, kemudian jalan kaki. Di sana harus ngepos minimal tiga jam, siapa tahu ada laporan peristiwa. Kalau pas ada tragedi atau ada kebakaran saya pun siap-siap ikut mobil patroli. Tapi jangan dikira duduk di samping pengemudi. Karena di samping pengemudi itu khusus untuk Wadan Sabhara.Saya sendiri cukup di bak belakang dengan diapit dua anggota Bharada. Namanya saja nunut. Nah dengan nunut di bak belakang, maka bisa lebih tepat dan cepat sampai di TKP. Tentu saja bisa lebih banyak berhemat.
Tapi di balik itu semua, tidak jarang saya harus korban perasaan. Karena tidak jarang dikira tersangka penodongan atau penganiayaan. Yakh, semua itu biasanya tercetus dari mulut pengendara motor yang berhenti pas di belakang mobil patroli yang saya tumpangi ketika kendaraan berhenti di lampu merah. Saat itu biasanya pengendara motor setengah berteriak pada pengendara di sebelahnya: "Itu lho..paling paling jambretnya," teriakan itu paling sering menampar telinga saya. Belum lagi yang mengira saya penodong : "Penodongnya kok ndak diborgol?" Kalau sudah begitu dua Sabhara yang mengapit saya, biasanya langsung menegur mereka.
Begitulah, tapi mau apa dikata, meski perasaan ini sering teraniaya, saya tetap tidak jera untuk nunut polisi ke TKP. Karena sekali lagi, lebih berhemat.
Selain itu, persahabatan saya dengan para anggota polisi pun semakin erat. Ke mana dan di mana pun ada peristiwa di Surabaya nyaris tak pernah lepas dari liputan saya. Mulai dari pembunuhan, perampokan sampai kebakaran. Pendek kata saya ingin benar-benar total waktu itu.
Penulis dengan salah seorang cucunya. (Foto: CoWasJP)
Akhirul kata, pada awal tahun 1979 ketika saya nongkrong di Polresta 3, tiba-tiba saya lihat mobil patroli siap-siap berangkat Ada laporan terjadi kebakaran sebuah toko di kawasan Jalan Pucang Anom Surabaya. Wess..sebagai "wartawan nunut" saya pun langsung naik di bak belakang. Mobil melaju kencang tak sampai setengah jam sampailah di TKP.
Ternyata yang terbakar toko sepatu. Dan apinya pun sudah padam. Sudah tentu tinggal puing-puing saja yang disertai sisa-sisa kepulan sedikit asap yang tersisa. Ya.. di antara puing puing itu terlihat puluhan sepatu berserakan. Wouw..siapa yang tak tergiur melihat aneka macam sepatu itu, apalagi salah seorang anggota polisi menyuruh saya memilih yang pas untuk anak saya. "Yang punya toko bilang boleh diambil kok," katanya meyakinkan. Tak perlu menunggu lama, langsung enam buah sepatu pun saya bersihkan dari balutan debu dan abu. Kebetulan sudah hampir dua tahun belum bisa membelikan ketiga anak saya sepatu baru.
Selesai sudah, misi saya meliput kebakaran dan memberi oleh-oleh sepatu baru untuk anak-anak saya. Karena itu selepas menulis berita di kantor Jawa Pos, ketika itu masih di Jalan Basuki Rahmad, saya pun cepat-cepat pulang.
Sesampainya di rumah, kebetulan ketiga anak saya sudah pulang dari sekolah. "Ini bapak dapat rezeki. Pakai sepatu yang baru ini", ujar saya.
"Ya..bagus-bagus gini pak, " sambut anak saya yang nomor dua sambil mencoba sepatu warna coklat. "Lho..pak kok bawahnya gosong. Sek..sek mana yang kiri..wah kok kanan semua, " keluh anak kedua saya ini.
Seketika itu wajah saya serasa panas bak disambar petir. Tak terasa ada genangan air di mata saya.
Rupanya pasangan keenam sepatu itu sudah terbakar ludes. Sedangkan yang kanan cuma gosong.
Seperti gosongnya wajah saya karena berlama-lama ditimpa terik matahari ketika memilah-milah sepatu. Ujung ujungnya kanan semua. Kali ini saya tersenyum. **
Simak dan Baca Berita Menarik Lainnya. Klik Di Sini