COWASJP.COM – ockquote>
Turis backpacker sudah menjadi fenomena umum yang banyak kita temui. Tapi, turis bulk-packer juga tidak kalah banyak. Apa itu? Inilah ceritanya:
O l e h: Dhimam Abror Djuraid
---------------------------------------------
BULKPACKER bukan model pelancongan baru. Itu istilah yang saya temukan ketika bepergian bersama rombongan keluarga ke Eropa 2014 lalu, dengan membawa koper-koper besar yang berat (dan merepotkan) di tengah cuaca musim dingin yang mengiris.
Turis backpacker terkenal ringkas, serba praktis, dan selalu pahe dalam mengeluarkan anggaran. Mereka hanya membawa ransel yang dicangklong atau ditaruh di punggung. Itulah sebabnya mereka disebut sebagai turis ransel alias backpacker. Petualangan mereka sudah sangat terkenal, keluar masuk destinasi wisata mulai yang paling terkenal sampai yang paling pelosok yang belum pernah dikunjungi turis-turis amatir.
Dibandingkan dengan para backpackers, saya layak masuk dalam kategori pelancong amatir. Tapi, dalam hal berpetualang dalam perjalanan pengalaman wisata, rasanya penglaman saya cukup menantang dan menarik.
Saya memilih Februari untuk bepergian ke Eropa karena beberapa alasan. Yang pertama, kami mengira cuaca musim dingin sudah mulai lumayan bersahabat. Sepanjang November sampai Januari musim dingin di Eropa memang brutal. Temperatur di bawah nol dan hujan salju serta banjir bandang menyapu beberapa wilayah. Kami pun memutuskan berangkat Februari setelah off session, dengan harapan cuaca sudah lumayan bagus dan (tentu saja) berharap masih bisa bertemu salju.
Destinasi pertama London. Tapi "target antara" adalah Hongkong. Cathay Pacific Surabaya-London yang kami tumpangi transit di Hongkong setengah hari. Kami tiba lepas tengah hari dan berangkat lagi tengah malam. Lumayan, bisa jalan-jalan ke Kowloon mencari makan malam di food court pinggir pantai sambil menyaksikan pesta sinar laser dari puncak-puncak pencakar langit.
Perjalanan ke London butuh 12 jam. Kami mendarat di Bandara Heathrow, London pagi buta ketika belum ada sebersit sinarpun muncul. Saya melihat jam di bandara kedatangan. Sudah pukul tujuh pagi, tapi hari masih benar-benar gelap. Musim dingin membuat malam semakin panjang dan siang memendek.
Three Musketeers: Sydney, Jordan, Jericho di puncak gunung Tetris, Swiss. (Foto: Dhimam Abror Djuraid/CoWasjp.com)
Keluar dari bandara Heathrow petualangan dan perjuangan langsung dimulai. Setelah melewati pemeriksaan imigrasi, kami membeli tiket London Express dari Bandara ke Central London selama kira-kira 45 menit. Lima kopor berukuran besar dengan berat rata-rata 20 kilogram ditambah tiga koper handcarry dan tiga tas cangklong, harus kita dorong dengan cepat supaya masuk ke kereta tepat waktu.
Kami berlima, saya, istri, dan tiga anak; Zidny, Jordan, Jericho, sudah tahu tugas masing-masing. Dan dengan sigap kami masuk ke kereta dan untuk sementara aman dari sergapan cuaca dingin.
Tiba di London Central kami kembali mendorong kopor-kopor besar itu dengan kesigapan ala portir Bandara Juanda.
Anak-anak masih sempat bercanda mencari Platform nomo 9 3/4 tempat Harry Potter naik kereta misterius menuju sekolah magic Hogwarts. Platform itu sekarang memang ada untuk para turis penggemar serial Harry Potter yang ingin sekadar berfoto.
Kami membawa kopor-kopor besar keluar stasiun. Hujan rintik-rintik membuat cuaca semakin dingin. Kami mencari taksi besar di antrean. Mendorong kopor-kopor besar dan harus berhimpit-himpitan.
* * * *
Kami sudah membooking dua kamar apartemen di daerah Kilburn Park di pinggiran kota.
London bisa digambarkan dalam dua kata "frantic" alias panik dan "vibrant", penuh tenaga. Tiap hari orang menjubeli kereta bawah tanah maupun atas tanah, berebutan, berlarian. Selalu sibuk pagi buta sampai malam, dan hampir selalu on time.
Hanya beberapa langkah dari apartemen sudah ada stasiun kereta bawah tanah. Dari situ bisa menjnagkau kemana-kamana, ke Picadilly Street tempat belanja, ke Parliament House plus Hyde Park dan Big Ben yang masyhur, atau, berjalan menyusuri Sungai Thames dan nyantai di kaki London Bridge.
Tiga hari terasa pendek. Dari pagi sampai malam kami berkeliling. Destinasi wajib sudah bisa kami datangi semua. Destinasi tambahan seperti stadion New Wembley juga kita datangi.
Perburuan kuliner menjadi petualangan tersendiri. Kami coba semua jenis makanan. Dan makanan India menjadi favorit kami semua.
* * * *
Tiga hari tentu tidak cukup. Tapi, kami harus melanjutkan perjalanan. Pagi buta, kami kembali mengangkut kopor-kopor berat ke taksi menuju bandara Gatwick, dua jam dari London. James, sang sopir taksi, berbaik hati mencari jalur tikus agar terhindar dari macet. James, asli bule keturunan Scotlandia, seorang muslim sejak lahir, sangat ingin mengunjungi Indonesia.
Destinasi berikutnya Italia.
Pesawat tarif murah Jetstar mendarat di bandara Milan Mapensa setelah terbang dua jam. Kami bisa naik Eurostar, kereta bawah tanah yang menembus dari London langsung ke Paris. Tapi, kami pilih pesawat murah untuk efisiensi waktu.
Dari ketinggian pesawat terlihat puncak-puncak gunung yang berjejer-jejer disaput salju putih seperi deretan es krim.
Di depan Arc de Triomphe, Paris, yang mirip dengan SLG (Simpang Lima Gumul), Kediri. (Foto: Dhimam Abror Djuraid/CoWasjp.com
Ritual rutin dilakukan, mendorong kopor-kopor besar masuk ke taksi. Sopir taksi tak terlalu cakap berbahasa Inggris. Dua jam perjalanan menuju pusat kota Milano lebih banyak diam. Tapi, begitu saya mengatakan "calcio", dia tersenyum sumringah. Saya bilang saya (dulu) Milanistas (penggemar AC Milan). Damiano, si driver menggeleng-gelengkan kepalanya, "Juventino", dia suporter Juventus.
Kami memilih hotel di dekat Duomo--katedral abad pertengahan yang kokoh dan indah--agak jauh dari pusat kota tapi nyaman untuk jalan-jalan dan menyantap berbagai varian pizza-pasta.
Udara Italia lebih bersahabat dari Inggris. Jalan-jalan mencuci mata sambil melihat-lihat berbagai jenis model baju musim dingin menjadi lebih nyaman.
Kami mengatur strategi perjalanan. Rencananya kami akan menjelajah Eropa Barat dengan darat, dimulai dari Milan dan berakhir di Paris. Dari Italia, Swiss, Jerman, Belanda, Belgia, lalu Prancis, semuanya dengan perjalanan darat. Kami punya waktu dua belas hari, dan destinasi-destinasi utama harus dikunjungi semua. Mungkin, selain numpang tidur di hotel, waktu kami lebih banyak habis di dalam kendaraan. Kalau total perjalanan Eropa adalah 12 hari maka enam hari kami pakai tidur, empat hari naik bus, dan dua hari dibagi untuk berfoto-foto di tempat wisata, makan, membeli suvenir.
Masing-masing tempat wisata tidak bisa lebih dari dua jam, karena bisa mengacaukan jadwal. Ritual yang rutin adalah menurunkan kopor-kopor besar dari bus, mendorong menuju lobi hotel, mengangkut lewat lift ke kamar dan membongkar yang diperlukan untuk ganti. Esok paginya ritual yang sama dilakukan. Membawa turun ke lobi, menaikkan ke bus, dan melanjutkan perjalanan dan tidur lagi di bus.
Dan, semua harus dilakukan di tengah cuaca yg menyayat kulit....Kaos dalam penghangat tubuh (long john), baju rangkap, jaket tebal, syal di leher, plus penutup kepala yang menjadi kostum wajib semakin membuat ribet proses ritual naik turun bus dan keluar masuk hotel itu.
* * * *
Dari Milan menuju Roma, lalu ke menara Pisa. Di Roma mampir ke Vatikan. Antre dalam deretan ratusan meter untuk bisa masuk ke Basilika. Beruntung cuaca hangat karena matahari bersinar terang. Sambil antre masih bisa menikmati es krim gelate yang kental khas Italia.
Begitu sudah mulai masuk Basiliki kita mulai bergaya ala detektif Prof. Langdon seperti dalam film "Da Vinci Code". Kepala mendongak ke langit-langit dan kita akan selalu terkagum-kagum bagaimana Michel Angelo bisa menyelesaikan lukisan seperti itu.
Dari Basilika langsung mengejar waktu ke Koloseum. Tak ada turis yang boleh masuk, cukup berfoto dan berselfie dari luar. Kita membayangkan film lama "Ben Hur" dan yang lebih baru "The Gladiator" untuk bisa memahami aura masa lalu Koloseum ini. Sampai sekarang, peradaban abad pertengahan itu masih tetap bertahan hidup di kalangan masyarakat Italia. Dulu, mereka masuk stadion untuk menyaksikan balapan kereta kuda yang melesat dengan kecepatan tinggi. Sekarang mereka datang ke arena untuk menyaksikan balapan F1 dengan mobil Ferrari yang menjadi kebanggaan Italia.
Dulu, orang-orang masuk stadion untuk menyaksikan gladiator bertarung sampai mati. Sekarang, setipa tengah minggu dan akhir pekan mereka masuk stadion untuk menonton gladiator-gladiator modern bertarung habis-habisan dengan memakai kostum AS Roma, AC Milan, Juventus, dan lain-lain.
* * * *
Perjalanan berlanjut menuju Swiss. Negara paling makmur di Eropa dengan GNP sekitar USD 40 ribu. Negara yang jumlah penduduknya lebih sedikit dibanding jumlah sapinya. Negara yang tidak merasa perlu punya tentara karena tidak pernah merasa terancam. Tapi, uniknya, Swiss mengekspor tentaranya ke Italia menjadi pasukan khusus pengawal Paus, Swiss Guard, dan pisau militer Swiss diekspor ke seluruh penjuru dunia.
Cokelat dan salju menjadi menu utama di Swiss. Tobleron dan Lynd menjadi ikon cokelat Swiss. Rangkaian puncak gunung Alpen yang selalu bersalju sepanjang tahun mengilhami munculnya produk "Mount Blanc" yang menjadi bolpen paling masyhur di dunia.
Arloji Swiss, tentu saja, tak tertandingi di seluruh dunia. Tinggal pilih harga, mulai yang jutaan rupiah sampai miliaran, semua tersedia dimana-mana.
Kami naik ke puncak gunung Titlis dengan kereta gantung. Orang berdesak-desakan di dalam kereta besar. Mereka mengenakan pakaian ski lengkap dengan peralatannya. Kita terdesak di pojok menjadi minoritas karena naik ke ketinggian seribu meter hanya untuk mejeng berselfie ria.
Dua malam di Swiss, perjalanan berlanjut ke Jerman. Menginap di Heidelberg untuk dapat hotel yang lebih murah. Keesokan harinya menuju Belanda dan hanya mampir sebentar di Koln untuk berfoto di pusat kota, numpang lewat di Frankfurt tapi tinggal berjam-jam di kota kecil Titisse untuk belanja jam dinding dan arloji.
Bus meluncur ke Amsterdam, Belanda. Negeri Kincir angin, begitu kita menyebutnya. Tapi, sepanjang perjalanan yang terlihat bukan kincir tradisional ala Holland Bakery tapi tower modern dari beton dengan baling-baling besar di puncak ketinggiannya.
Dulu, katanya ada puluhan ribu kincir angin, sekarang tinggal ratusan biji saja itupun lebih banyak dipakai sebagai objek wisata. Selain menonton pembuatan keju, mencoba sandal kayu kelompen alias bakiak, sungguh tidak banyak yang bisa dilihat di Amsterdam.
Dari tempat menginap di dekat banda Schipol yang jauh dari pusat kota, keesokan harinya bus meluncur menyusuri tol menuju Belgia. Cuaca mulai mendung dan hujan rintik-rintik. Mampir sebentar untuk berfoto di Atomium yang terlihat malas tertutup kabut, lalu ke pusat kota untuk melihat si Patung Pipis sambil mencicipi kue wafel yang dilumuri cokelat Belgia yang hitam dan manis-pahit. Cukup lewat beberapa jam di Belgia. Next destination adalah Paris.
Lewat Samp Ellyses, Arc de Tromp dan Menara Eifel. Turun dari bus terburu-buru dan berfoto dengan cepat karena bus tidak boleh parkir. Paris, kota yang mengesankan. Bangunan-bangunan abad pertengahan masih terjaga dan terawat indah. Kota dengan harga real estate paling mahal di dunia. Tempat orang-orang paling kaya di dunia berkumpul. Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei mempunya apartemen mewah satu deret di pusat kota.
La Fayyate, tempat belanja yang dianggap surga pagi penggila belanja. Turis-tursi Asia berebutan mencari berbagai belanjaan mulai dari tas sampai perhiasan dan suvenir. Semua agen perjalanan pasti memberi waktu panjang bagi peserta tur untuk berbelanja disini. Kalau tempat lain dialokasikan dua jam di surga belanja ini akan empat jam. Dan mereka berbelanja seperti orang kesurupan.
Keesokan harinya di pagi buta kami menuju bandara Charles de Gaulle terbang 12 jam menuju Hongkong dan lima jam lagi ke Surabaya. Petualangan berakhir. Kuncinya satu: kalau kita sudah memutuskan untuk cuti dan bepergian, nikmatilah apapun keadaan dan kondisinya. Di tengah segala keribetan menjadi turis bulk-packer itu pasti banyak hal yang mengasyikkan. **