COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Roso Daras
----------------------------
HADIR di acara “Diskusi Budaya Humor” bertema “Humor Masa Kini”, Jumat 11 Maret 2016, nikmatnya 10 kali lipat dibanding liburan di kesejukan Tretes, Pasuruan. Tiga narasumber: Jaya Suprana, Arswendo Atmowiloto, dan Deddy “Mi’ing” Gumelar, benar-benar menyiram kepenatan batok kepala. Wartawan dan peneliti humor senior, Seno Gumira Adjidarma, memandu acara koplak itu dengan baik.
Tidak main-main, “diskusi ger-geran” itu digelar di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia West Mall lantai 8, Jakarta. Saya harus berterima kasih atas undangan sahabat sekaligus pemrakarsa event itu, Darminto M. Sudarmo. Lelaki asal Kendal, Jawa Tengah ini, selama ini dikenal sebagai salah satu pendiri Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu), dan Pakarti (Persatuan Kartunis Indonesia).
Ruang model cinema setengah lingkaran itu, berisi tak lebih dari 60 orang. Meski begitu, derai tawa yang bergulung-gulung sepanjang lebih dua jam acara, benar-benar gayeng. Adalah Arswendo yang diberi kesempatan bicara. Di tangannya ada dua lembar makalah. Tahu apa yang terjadi? Mungkin hanya dua alinea saja yang dia baca, selebihnya, lontaran-lontaran guyon yang benar-benar mengocok perut.....
“Suatu hari... saya diundang pak Jaya Suprana ke Semarang. Acara ulang tahun beliau. Tiket ditanggung, hotel ditanggung, semua ditanggung.... Anda tahu apa yang terjadi sesampai saya di rumahnya, dia malah tanya, ‘lho... ngapain kamu ke sini....?’” kata Arswendo disusul ledakan tawanya. Rupanya, Jaya Suprana sendiri lupa dengan hari ulang tahunnya....
Disusul kisah Arswendo tentang kelucuan antara Jaya Suprana dan mendiang Gus Dur. “Coba pak Jaya, ceritakan... itu lucu sekali...,” mic pun dioper ke Jaya yang masih terkekeh-kekeh. “Waktu itu perjalanan dari satu tempat menuju kantor PBNU di Kramat, Jakarta Pusat. Saya tanya, Gus, kantornya mana? Gus Dur kalem menjawab, ‘ya nggak tahu, wong saya ndak bisa melihat.” Saya ya menimpali, “Apalagi saya, wong saya bukan orang Jakarta...,” Jaya menutup kisahnya dengan, “Nah ini yang lucu... Lucunya, kami sampai juga di kantor PBNU...ha...ha...ha....”
Foto: istimewa
Lalu, Jaya Suprana melempar analisa “ngawur”-nya, tentang mengapa grup-grup lawak sekarang tidak semoncer zaman Bagito, dan lain-lain. “Tahu kenapa lawak sekarang tidak laku? Ya, karena kalah lucu sama pemerintah... ha...ha...ha....”
Disusul cerita yang lain, tentang sentilan “DPR seperti taman kanak-kanak”. Dikisahkan Jaya Suprana (lagi) bertemu Gus Dur. “Saya protes Gus kalau dikatakan DPR seperti taman kanak-kanak.... Gus Dur tidak terima.... Kami pun eyel-eyelan.... tapi akhirnya dia menyerah waktu saya katakan, “anak-anak TK bisa tersinggung, Gus!” Tawa Jaya dan Gus Dur pun meledak.....
Mi’ing Bagito lebih banyak bicara perjalanan karier Bagito yang dirintisnya dari panggung lomba ke lomba. Lima kali menjuarai lomba lawak. Puncaknya diundang Bu Tien ke Istana dalam rangkaian acara Hari Ibu. “Waktu itu, Setneg menolak... banyak pejabat tidak berkenan Bagito tampil di depan Pak Harto. Tapi karena permintaan Bu Tien, maka tidak ada yang bisa menolak. Belum usai Mi’ing bercerita, mic disamber Jaya Suprana, “Tunggu. Tolong jawab pertanyaan saya... kenapa Bu Tien ngotot ngundang Anda? Tolong, jujur saja, toh Pak Harto sudah meninggal....” tawa pun meledak.
Gelak tawa tidak berhenti sampai di situ. Sudahlah... benar-benar dua jam yang kocak. Toh, Seno Gumira Adjidarma bisa merumuskan, bahwa humor tidak bisa dibedah secara ilmiah. Ia akan hidup justru kalau tidak dibedah secara ilmiah. Mengalir saja sesuai konteks zamannya. Dan yang lebih penting, adalah permintaan Jaya Suprana kepada Darminto untuk segera menyiapkan “Simposium Humor Nasional”. “Ini akan menjadi yang pertama di Indonesia, bahkan di dunia.” ***