COWASJP.COM – AKHIRNYA setelah lima tahun menyandang predikat wartawan, saya bisa memiliki motor. Saya masih ingat, hari itu di pertengahan 1979 saya benar-benar happy. Soalnya motor milik saya bukan sembarang motor, tapi si ' Pantat Bahenol' Vespa. Vespa bukan sembarang Vespa. Bukan pula Vespa Super yang lagi ngetrend ketika itu. Tapi Vespa 1961 warna biru muda.
Bisa dibayangkan ketika itu umur motor buatan Piaggio Italia ini sudah 18 tahun. Sungguh, seandainya gadis, si' Pantat Bahenol' ini benar benar menggemaskan. Tapi ini...yakh sudahlah, saya jalani saja, daripada mencari berita jalan kaki atau naik turun bus kota. Masih lumayan bisa sedikit menghemat biaya dan tentu saja bisa mengajak anak istri jalan-jalan.
Vespa yang tingkat presneling 1, 2 dan 3 ini pun berkat kebaikan seorang teman. Saya diwajibkan mengangsur enam kali setiap tanggal 5. Ketika saya tanya kenapa dijual? Si teman menjawab akan ganti motor buatan Jepang. Saya percaya saja, apalagi harganya di bawah pasaran.
Ilustrasi Vespa tahun 1961 (Foto: Istimewa)
"Onderdilnya sudah tak ganti semua cak. Pokoke kepancal tikus saja langsung greng", ujarnya berpromosi, sambil menginjak pedal starter. Benar! Langsung greng. Tanpa banyak bicara lagi saya langsung Ok. Jadilah saya punya Vespa. Karena si teman yang berperawakan subur ini merelakan Vespanya langsung saya miliki, meski ketika itu hanya mampu membayar setengah dari uang pertama angsuran.
Tapi..aduh, setelah sepuluh hari kemudian pas menggenapkan angsuran pertama, tiba tiba ketika si Vespa ini akan saya stater. Wus..mbleketek tak sedikitpun bereaksi. Hanya asap yang mengepul.
Sementara istri saya yang sudah siap dengan rok barunya, dengan sabar menunggui sampai saya nyaris kehabisan tenaga. Tak kurang dari 16 kali saya mancal tuas stater. Itupun saya masih ngotot Vespa saya miringkan ke kiri. Sampai enam kali pancalan, tetap saja si Pantat Bahenol ini tak bergeming.
Yaaa..terpaksa Vespa saya dorong ke Jalan Diponegoro di dekat pertigaan WR Supratman. Di sana lah tukang servis yang konon mengerti ' penyakit' Vespa berusaha menyehatkan. O..ya istri saya pun tak mau lama lama pakai rok baru. Segera ganti daster batiknya yang sudah berumur tiga tahun. Dia langsung tidur.
Esoknya terpaksa saya kembali meliput berita dari Polres ke Polres dengan naik turun bus disambung jalan kaki. Sungguh di sinilah ujian saya, baru 10 hari menikmati mencari berita dengan mengendarai Vespa sudah harus kembali melakoni'gerak jalan' selama tiga hari. Karena si Vespa belum selesai diperbaiki. Tapi ya begitulah meski sudah berbulan bulan saya pelihara dan sedikitnya sebulan sekali ' opname', di bengkel, sakit' Vespa ' angsuran ini tak bisa sembuh total.
Pernah suatu saat saya bersama istri menghadiri undangan pengantin, tiba tiba di tengah ramainya lalu lintas di jalan Wonokromo Surabaya, sakit bengek si Vespa kumat. Ya..terpaksa saya bersama istri turun mendorong, kasihan istri saya. Sambil mringis jalannya tertatih tatih. Waduh...kakinya lecet, gara gara pakai sepatu baru. Haknya tinggi pula.
Bukan itu saja, pada suatu hari di awal 1982 sepulang dari kantor Jawa Pos di Jl. Kembang Jepun, tiba tiba tanpa diduga di jalan Tunjugan si Vespa yang sudah hampir tiga tahun sakit sakitan ini tiba tiba " tak sadar diri" . Spontan saya belokkan ke kiri. Ous...secara tak sengaja menyerempet yang sedang mengatur lalu lintas. Des..tubuh polisi itu nyaris terjengkang. Tak pelak lagi Pak Polisi marah bukan main. Saya pun pura pura tak menyadari.
Penulis saat menjadi memimpin majalah Liberty. (Foto: CoWasJP.com)
Seperti saya, juga pura pura tak menyadari bahwa mestinya Vespa ini harusnya dijual. Tapi ya itu tadi uang tambahannya yang sulit dicari. Seperti juga betapa sulitnya mencari motor kreditan waktu itu.
Karena sampai nyaris sekarat Vespa itu tetap saya pertahankan.
Tapi seperti kata orang bijak: Malang Tak Bisa Ditolak, Untung Tak Bisa Diraih.
Begini: di siang hari di bulan Juli 1982, ketika sedang mengerjakan berita berita kriminal, saya mendapat khabar dari istri saya lewat telepon tetangga yang menyatakan bahwa kios bengkel di depan Asrama Polisi Jalan Diponegoro terbakar. Mendapat khabar iru, saya masih tenang tenang saja, karena saya berpikir wong cuma kios bengkel saja kok telepon.
Akh kebakaran kecil. Tidak layak diberitakan, pikir saya. Tiba tiba istri saya di ujung telepon setengah berteriak:" Lho pak kok tenang saja. Vespane khan diservis di situ. Vespane katut kobong". Seketika itu saya baru sadar, Vespa saya lkut terbakar. Tragis memang, Si ' Pantat Bahenol' akhirnya meninggalkan saya. Terus terang, ketika saya berhasil melangkahkan karir sebagai pimpinan media di tahun 1990, sering rindu pada Si " Pantat Bahenol". Tapi ya sudahlah. Takdir di atas segalanya. (*)
Baca Berita-berita lainnya di CoWasJP.com. Klik Di Sini