COWASJP.COM – INILAH kisah kelam masa lalu. Sungguh, cerita duka ini yang terjadi sekitar 60 tahun lalu, tempatnya di Cemoro Sewu Surabaya. Memang bagi mereka yang kini berusia di bawah 50 tahun akan bertanya-tanya di mana letak Cemoro Sewu itu? Tapi bagi mereka yang kini berusia 70 tahun lebih akan tahu persis tempat yang cukup legendaris sejak sebelum Indonesia merdeka ini.
Menurut Kaspun (84), salah seorang warga Banyuurip Wetan, cerita sedih ini dimulai sejak sebelum Bala Tentara Jepang mendarat di tanah air, yakni sekitar tahun 1941, Cemoro Sewu sudah mulai dikenal. "Semula hanya sekitar lima warung saja yang beroperasi di situ, tapi lama-lama berkembang menjadi banyak," katanya kepada Cowasjp, kemarin.
Kehadiran kompleks Cemoro Sewu sendiri memang dipicu dengan digusurnya warung remang-remang yang berada di sekitar Jalan WR Supratman (dulu dikenal dengan nama Rebeceland Straat), Surabaya, sekitar tahun 1940. Mereka kemudian bergeser ke barat menyeberangi jembatan Sungai Kembang Kuning. Mereka merangsek naik ke jalan makadam yang berbatas gapura besar. Gapura setinggi tiga meter itu berhiaskan dua patung singa di kanan-kirinya.
Ketika itu, kata Kaspun, di sekitar Jalan Kembang Kuning dan Cemoro Sewu masih sepi. Tapi awal tahun 1950 an mulai ramai, seiring dengan semakin berkembangnya warung remang-remang di area itu. "Lha kenapa dikenal dengan nama Cemoro Sewu? Ya karena di lokasi itu banyak pohon-pohon cemara," ujarnya.
Benar yang dikemukakan Kaspun, di jalan yang dulu lebarnya 5 meter itu bertebaran pohon-pohon cemara. Tidak kurang 30 pohon cemara berderet di jalan sepanjang 250 meter itu. Tapi karena ambisi para calon mucikari untuk mendirikan warung, maka satu per satu (pohon cemara) yang dianggap menghalangi pandangan, maka tak ayal lagi ditebasnya. Sehingga sekitar enam tahun kemudian, tidak kurang 40 warung remang-remang telah berdiri kokoh. Sementara cemara-cemara itu tinggal sekitar 10 pohon.
"Seingat saya, tahun 1957 Cemoro Sewu sudah penuh dengan wanita nakal. Lha ya toh, wong warungnya ada kira-kira 40. Satu warung paling sedikit punya enam kamar. Saya memang ndak ngetung jumlah WTS-nya, cuma ini kira kira ya 250 orang," katanya sambil tertawa.
Masih menurut Kaspun, ketika itu hiruk-pikuk Cemoro Sewu sampai juga ke telinga orang-orang di daerah Malang, Kediri, Tulungagung dan sekitarnya. Karena itu, sang Mucikari pun, seperti sudah “tradisi", mereka punya kaki tangan di desa-desa untuk merayu, bahkan menipu janda-janda dan perawan desa untuk diajak ke Surabaya dengan dalih dipekerjakan di toko atau di depot.
Ternyata sudah bisa ditebak akhirnya mereka terjerembab di "lembah" Cemoro Sewu. Bisa dibayangkan betapa pilunya nasib janda-janda dan perawan desa 60 tahun lalu itu. Mengharukan.
Salah satu sisi kampung Banyuurip Jaya yang tenang dan rindang. (Foto: CoWasJP)
Ketika itu tidak jarang dini hari buta terdengar tangis perawan yang usianya antara 16 sampai 18 tahun. Sang perawan biasanya terduduk di dekat kamar mandi. Dia menangisi hilangnya mahkota keperawanan sambil mencuci bercak darah yang menodai sprei putih.
Sprei itu memang menjadi saksi bisu, begitu "lahap"-nya si hidung belang menerkam gadis-gadis desa ketika itu. Sementara gadis yang malang masih meratapi "gugurnya keperawanan" beberapa kupu-kupu malam yang sudah hinggap satu atau dua tahun di Cemoro Sewu, menjelang pagi itu sudah mulai menata sprei lagi untuk "kiwir-kiwirnya," sebutan pacar di kalangan wanita nakal.
"Ya..ya kalau kiwir kiwir itu biasanya arek-arek nom yang usianya masih di bawah 25 tahun dan perkasa. Tentu saja semua biaya hidup (sang kiwir-kiwir) yang nanggug ya WTS-nya," kata Kaspun.
Benar yang dikatakan Kaspun, tidak jarang akhirnya WTS itu diboyong ke kampung oleh kiwir-kiwirnya.
Tentu saja dengan harapan si WTS benar benar insyaf dan hidup bersama serta mengais rezeki bersama pula. Seperti kebersamaan dan tekad masyarakat sekitar Cemoro Sewu yang mulai mendesak ke pemerintah ketika itu untuk segera memindahkan lokalisasi itu ke tempat yang lebih jauh.
Desakan itu akhirnya membuahkan hasil seiring hengkangnya Dolly dari Jalan Kembang Kuning ke kawasan Putat (yang kemudian menjadi Gang Dolly ). Maka lokalisasi Cemoro Sewu pun awal tahun 1970 an ikut tergusur ke kawasan Jarak Surabaya.
Demikianlah, kini peristiwa terenggutnya keperawanan gadis desa yang terjadi sekitar 60 tahun lalu telah berakhir. Nama Cemoro Sewu pun sudah musnah. Bahkan sekitar 400 penghuninya banyak yang tidak tahu kalau kampung yang kini bernama Banyuurip Jaya ini, puluhan tahun silam telah menjadi saksi kisah antara kepedihan gadis-gadis desa dan ganasnya para hidung belang.
"Sudahlah itu kan dulu. Sekarang kampung ini sejak 43 tahun lalu telah bersih dan ditempati para pedagang, pegawai swasta, pegawai negeri. Rumah rumahnya pun sekarang bagus-bagus, " tukas Kaspun di sela sela kesibukannya telepon cucu-cucunya. Dan tentu saja cucu Kaspun pun tidak tahu bagaimana riwayat Cemoro Sewu. Pastinya kini tidak ada satu pun pohon cemara di Banyuurip Jaya.
Yang ada hanya beberapa rumah saling berebut langit. Seolah menggantikan pohon cemara yang sudah rata dengan tanah. (*)