COWASJP.COM – BISNIS Warkop (Warung Kopi) kini lagi menjamur. Di setiap sudut jalan khususnya di Surabaya bermunculan usaha Warkop. Usaha warkop yang lagi ngetren ini memang hasilnya sangat menguntungkan. Tanpa modal besar orang yang mau buka Warkop tentu akan mendapat penghasilan lumayan untuk menyambung hidup sehari-hari.
Ba’da Magrib, di salah satu jalan kawasan Surabaya Barat mulai kelihatan ramai. Di depan toko yang sudah tutup ada yang memasang tenda terpal plastik. Perangkat yang dibawa dengan sepeda motor itu mulai diturunkan satu per satu. Tabung elpiji melon dan kompor mulai ditata di sudut tenda. Meja yang terbuat dari triplek (meja lipat) dipasang. Sedangkan peralatan lain juga mulai dibenahi sambil menunggu orang yang mau pesan kopi di warung lelehan tersebut.
Pemilik warung sore itu tak lupa memasang bener ukuran 4 x 3 meter. Bener dengan dasar warna mencolok itu terlihat tulisan nama warkop. Sementara di bagian bener tersebut ada tulisan Free Wifi, Ada TV untuk nonton bola. Dan ada tulisan di sini tersedia kopi hitam, wedang jahe merah, kopi Luwak dan lain-lain.
Contohnya seperti foto di atas ini, salah satu warung kopi yang ada di Tropin 44 selalu dipadati anak-anak muda. (Foto: CoWasJP.com)
“Usaha Warkop sekarang bersaing ketat lho mas. Kalau yang dijual tidak lengkap konsumen tidak akan balik lagi,’’ kata pemilik warkop yang baru kena PHK di perusahaan.
Lelaki setengah baya yang tak mau disebut identitasnya ini mengaku buka warkop sejak enam bulan lalu. Hasilnya lumayan bisa untuk tambahan belanja istri setiap hari.
Berdasarkan pantauan CowasJP mereka yang buka warkop pada umumnya tidak mempunyai penghasilan tetap. Sebelum buka warkop mereka ada yang jualan batu akik, pedagang burung, dan jasa mengurus surat-surat. Mereka mengaku buka warkop merupakan lahan baru yang menjanjikan.
Inilah pengakuan beberapa pemilik Warkop :
Suwari, mantan ketua RT Perum Griya Kebraon ini sejak pensiun dari Jawa Pos membuka usaha Warkop di rumahnya. Dia memilih nama Angkringan Samping Waduk. Ketika akik lagi booming omsetnya lumayan, sehari bisa mengumpulkan uang Rp 700.000. Namun sekarang merosot sehari omsetnya sekitar Rp 300 ribu rupiah saja.
Lelaki bertubuh tambun ini buka Angkringan mulai jam 11.00 sampai 23.00 WIB. Mereka yang cangkrukan di sana ada bapak-bapak dan anak muda. “ Mereka di sini senang ada fasilitas TV, Wifi, dan hidangannya lengkap”, katanya.
Seperti Cangkruk'an CoWas Karmen selalu ramai di kunjungi mahasiswa/wi dari unair. (Foto: CoWasJP.com)
Meski bersaing dengan 10 Warkop yang ada di daerahnya, Suwari tidak “keder”. Ilmu pemasaran surat kabar yang dimiliki bertahun-tahun diterapkan di tempat angkringannya. Suwari memang sosok orang yang mudah bergaul. Sehingga banyak masyarakat sekitarnya senang cangkrukan di Angkringannya.
Mas Yono, mempunyai usaha warkop di Buduran, Sidoarjo, dekat SPBU. Dia sebelumnya berkerja sebagai tenaga marketing sebuah media cetak. Setelah media cetak yang dijadikan tumpuan hidup tidak terbit, dia langsung mempunyai ide untuk membuka warkop.
Warkop yang dikelola Mas Yono buka pada sore hari dan tutup tengah malam. Sebab, dia esok harinya harus bekerja di sebuah perusahaan asuransi di Surabaya. “Lumayan kalau ramai sore sampai malam omsetnya bisa mencapai Rp 500 ribu”, katanya.
Budi Susetyo sehari-hari akrab dipanggil Tyo. Lekaki berkacamata minus ini sejak pensiun dari sebuah media cetak langsung memuka usaha Angkringan. Lokasinya sangat strategis di depan Radio Pertanian Wonocolo (RPW). Di tempat angkringan ini satu kompleks dengan Kantor Dinas Pertanian Wonocolo. Lokasi angkringan diberikan kepada Tyo di situ berkat jasa dari Untung Suroyo, pimpinan RPW Angkringan “Flamboyan” yang dikelola Tyo setiap hari buka pada jam kerja. Hari Sabtu libur.
Tyo (kiri) dengan salah seorang pelanggannya. (Foto: CoWasJP.com)
Meski tidak buka hingga larut malam, omzetnya lumayan juga. Kalau lagi ramai sehari bisa mencapai Rp 300 ribu. “Kalau yang pesen pakai kopi sasetan sudah jelas untungnya banyak,’’ katanya sambil mengotak-atik WA.
Menurut Tyo, Angkringan ini sebenarnya juga bisa dikatakan Warkop. Namun hidangan yang dijual meniru Angkringan gaya Jawa tengah. “Kalau pakai nama Angkringan yang dijual harus ada makanan kecil berupa sate cecek, tahu, dan tempe bacem”, tambahnya.
Kopi hitam yang disedu Tyo memang mempunya rasa yang khas. Ini terbukti dari pengakuan beberapa orang karyawan kantor Dinas Pertanian yang lagi istrirahat dan hobi minum kopi.
Mas Tyo orangnya kreatif. Dia menjual kopi tidak hanya menunggu pembeli. Terkadang “jemput bola” masuk ruang pertemuan RPW menawari tamu yang lagi datang ke stasiun radio tersebut.
Wawang, pemuda yang baru lulus SMK jurusan Komputer ini buka Warkop tak jauh dari rumahnya dikompleks Perumas Tandes. Sudah dua tahun ini Wawang buka warkop. Lokasinya di pinggir jalan depan rumah Dinas Statistik. Di Warkop 98 fasilitasnya dan dagangannya lengkap. Selain kopi yang menjadi andalannya, di situ juga tersedia makanan ringan. “Pengunjung di sini bebas bisa nonton bola dan main WA. Di sini juga ada Wifi kok,’’ katanya.
Yoyok. Lain lagi dengan pemuda yang satu ini. Dia merenovasi rumah milik saudaranya dipakai usaha Kafe. Lelaki berkulit sawo matang ini adalah putra seorang purnawirawan Polri. Meski baru beberapa minggu Kafe milik Yoyok ini sdah banyak dikenal anak-anak muda di sekitar kampungnya. Kafe dibuka selepas Magrib hingga tengah malam. Kafe yang menjual kopi dan lain-lain ini banyak dikunjungi anak-anak muda. (*)