COWASJP.COM – SEPASANG suami istri tua berjalan beriringan di antara deretan batu nisan, di Pemakaman Umum, Ngagel Surabaya, Selasa, 19 April 2016. Mereka berusaha mencari nisan yang betuliskan RA Srijati Mochamad, istri R. Mochamad, Bupati Magetan 1965 -1968. Tapi apa daya, sekalipun sudah hampir satu jam, nisan itu tak berhasil ditemukan. Pencarian yang sia sia memang, meski makam yang dicari baru berusia 43 tahun.
Tapi ya..apa mau dikata RA makam Srijati yang meninggal di pertengahan 1973 ini, sudah cukup lama tidak dijenguk oleh keluarganya. Inilah membuat pasangan tua yang ternyata keponakan R. Mochamad ini, diliputi tasa bersalah. Bahkan tak terasa peluh nereka telah membaur bersama genangan air mata haru. Tak ayal lagi, di antara sengatan matahari, mereka memutuskan membawa kembali bunga yang rencananya ditaburkan di pusara tantenya itu.
R. Mochamad Dirjowinoto Bupati Magetan tahun 1965- 1968 bersama salah seorang keponakannya. Pak Bupati ini sampai akhir hayatnya tak pernah memiliki rumah.(Foto: Koesnan Soekandar/CoWasJP )
Sungguh, membawa bunga itu kembali pulang seolah membuat panasnya matahari tiba tiba tertutup gelapnya mendung. Seperti gelapnya kehidupan suami istri R. Mochamad bersama RA. Srjati ketika sang suami sudah tidak lagu menjabat Bupati Magetan lagi di akhir 1969. Bayangkan sejak saat itu tidak ada lagi yang menghadap atau minta tanda tangan. Apalagi yang nembukakan pintu mobil. Jangan harap. Sudah tidak ada lagi.
"Padahal sejak tahun 1955 beliau sangat dihormati para tetangga dan para pegawai pamong praja. Karena tahun itu beliau sudah menjabat Wedono di Besuki. Kemudian tahun 1957 Om ditugaskan di Batu Malang dan tetap menjabat wedono, " ujar R. Hendro Siswanto (76) keponakan R. Mochamad, pada Cowasjp, kemarin siang.
Menurut Siswanto, setelah TIga tahun di Batu, pak Wedono kelahiran Rejotangan Tulungagung 1911 ini mendaoat tugas di Bondowoso dengan kenaikan jabatan sebagai patih. Nah, karena dinilai berprestas, maka R. Mochamad didapuk sebagai Wakil Bupati Magetan pada tahun 1963. Kemudian pada saat Bupati Soewandi harus lengser maka giliran R. Mochamad yang menggantikan sebagai bupati terhitung sejak tahun 1965.
"Meskipun sudah menjabat bupati, Om saya ini orangnya sangat sederhana dan tidak memiliki rasa ingin memperkaya diri sendiri. Hidupnya benar benar diabdikan untuk rakyat Magetan," ujar sang keponakan.
Ucapan Siswanto memang tak layak disangkal, buktinya sejak menjabat sebagai patih sampai bupati, tak sebuah rumah pun mampu dibelinya. Memang sejak 1967, lelaki yang menjadi guru ini, memiliki mobii, tapi itupun hasil dari penjualan dua perangkat gamelan dan barang barang lain peninggalan Raden Haryo Dirdjowinoto ayahandanya.
Pendapa Kabupaten Magetan yang meninggalkan kesan yang mendalam bagi R. Mochamad Dirjowinoto. (Foto: CoWasJP)
Masih menurut, Siswanto mungkin karena pernah menjadi guru itulah, maka sifat andap asor selalu melekat di jiwa R. Mohammad. Karena itu meskipun sudah resmi menjabat bupati, lelaki yang tidak dikaruniai putra ini lebih memilih tetap tinggal rumah dinas Wakil Bupati di Jalan Raya Magetan.
Karena itu pula, pada pertengahan tahun 1968 dengan berbekal kesederhanaanya, Pak Bupati akhirnya dengan legawa meninggalkan rumah dinasnya untuk kemudian bergabung dengan anak angkatnya di sebuah rumah sederhana kawasan Potroagung Surabaya. Yah..masa pengadian R. Mochamad sebagai bupati sudah purna.
Di rumah anak angkatnya R. Mochamad tidak cuma berpangku tangan hanya menunggu uang pensiun saja. Dia pun mencoba berusaha kecil kecilan bersama salah seorang keponakaannya yang sejak kecil sudah diasuhnya. Lelaki yang menguasai Belanda dan Inggris ini mencoba menjadi agen minyak tanah. Tapi memang tidak punya aliran darah berdagang maka hanya berlangsung enam bulan.
Seperti diduga, usaha itu akhirnya tutup. Apalagi sang istri RA Srijati sudah sakit sakitan, karena sejak usia 40 tahun sudah menderita diabetes. Derita RA Srijati juga derita R. Mochamad. Istri tercintanya butuh biaya beribat. Karena itu satu satunya harta yang dimiliki pun terpaksa dijual. Apa lagi kalau bukan mobil tua buatan tahun 1962.
Seolah derita R. Mochamad belum berarkhir sampai di situ. Coba dirasakan, tiba tiba tiba saja keponakannya bermaksud menjual rumah yang ditempati bersana itu.
Tak ada jalan lain, suami istri R. Mochamad yang baru dua tahun melepas jabatan sebagai Bupati Magetan ini, terpaksa harus menyewa rumah kecil di Jalan Ketintang Surabaya. Tapi terus terang tak bisa dielak, sesungguhnya rumah itu kurang pas buat seorang yang pernah menjabat bupati.
Bayangkan rumah kecil yang disewa tahun 1970 itu bersebelahan dengan kuburan. Tak pelak lagi, suasana sunyi ini semakin menambah kegelisahan. Tapi ya itu, akan menyewa rumah layak, R. Mochamad sudah jelas tidak mampu. Uang penjualan mobil sudah habis. Tapi di balik itu semua RA Srijati di sela sakit yang dideritanya tetap menunjukkan senyumnya. Dia tampak ikhlas dengan keadaan yang berubah 180 derajat di banding ketika sang suami masih menjabat dulu. Tak ada lagi kawan atau karyawan Pemkab yang menjenguknya. Hanya keponakan keponakan yang silih berganti menjenguk.
Sementara hari hari terus berjalan dan di tahun 1972 sakit RA Srijati semakin parah. Suatu malam, kehendak Allah tak bisa ditolak. RA Srijati pun berpulang dalam senyum. Putri jaksa kelahiran Mojokerto ini dimakamkan di Pemakaman Umum Ngagel Surabaya.
Sudah terbayang betapa dukanya R.Mochanad setelah ditinggal sang istri yang telah menemani dengan setia lebih dari 35 tahun. Yah.. derita dan duka telah menyatu dari hari ke hari dan dari bulan ke bulan.
Tapi semua harus ada jalan. Dan jalan itu adalah di usianya yang menjelang 62 tahun, R. Mohammad yang sudah tidak mampu lagi menahan kegelisahannya itu memutuskan untuk pulang ke rumah pamannya di Jalan Riau, Sanan Wetan, Blitar. " Di sana Om berusaha melupakan duka dan deritanya. Saya tidak tahu mampukah beliau melepaskan semua", ujar Siswanto.
Tapi agaknya Siswanto tidak tahu, bahwa di Blitar lah derita sang mantan bupati itu telah sampai ke ujung. Di Blitar juga, akhir Oktober 1990 Pak Bupati Magetan 1965- 1968, menghembuskan napas terakhir di usia 79 tahun. Makamnya memang terpisah jauh dengan makam istri tercintanya. Antara Blitar dan Surabaya. Tapi dua makam itulah yang mengantar mereka mengakhiri derita. (*)