COWASJP.COM – TIBA di Bandara Heathrow menjelang sore, saya langsung mengontak Mas Djoko dari telepon umum bandara. Tak bisa nyambung. Saya agak bingung. Apalagi, perut mules akibat tak cocok dengan menu pesawat Alitalia yang membawa saya dari Jakarta ke London, transit di Frankfurt.
Di bandara Frankfurt itu saya sempat tertahan karena membawa laptop. Saya dibawa ke ruang pemeriksaan karena komputer jinjing itu tak bisa dinyalakan di pintu pemeriksaan. Saya lihat petugas wanita meletakkan laptop milik Jawa Pos tersebut di bawah pipa besar yang dihubungkan pada alat semacam vacuum cleaner. Sementara di layar monitor ada petugas lain memberi komando pada wanita itu.
BACA JUGA: Kali Pertama Kirim Berita via Internet
Tak lama kemudian laptop dikembalikan. Dalam perjalanan menuju gate saya iseng bertanya mengapa perlu memeriksa laptop. Perempuan itu menjawab, hanya pemeriksaan rutin. Sebab, belum lama ini ada pengeboman pesawat melalui sarana laptop. Ah, masak saya berwajah pengebom.
TEMPAT BERTANYA: Polisi Berkuda itu siap memberikan informasi apa saja bagi yang membutuhkan. (Foto: Fuad Ariyanto/CoWasJP.com)
Di pemeriksaan imigrasi bandara Heathrow, saya berhadapan dengan petugas perempuan, masih muda. Mungkin belum lama bertugas. Paling tidak, dia lama sekali memeriksa saya dan bolak-balik keluar masuk ruangan di belakang konternya, mungkin untuk konsultasi.
Biasa, di konter itu saya ditanya tentang keperluan datang ke Inggris, tinggal di mana, berapa lama, dan sebagainya. Saya katakan, akan meliput kejuaraan sepak bola, saya tunjukkan faksimili dari UEFA, urusan pun beres.
Ketika tanya tentang tempat tinggal, saya menyebutkan sesuai alamat yang diberikan Mas Djoko Susilo. ’’Siapa yang tinggal disana?’’ tanya petugas yang lumayan cantik itu. Saya jawab ada mahasiswa Indonesia di sana, namanya Djoko Susilo.
Petugas itu masuk ruangan lagi. Tampaknya dia mencari nama Djoko Susilo. Dia keluar dan bilang, tidak ada nama itu (Djoko Susilo). Saya lupa bahwa Mas Djoko tinggal di Wales. Dia menyewa rumah di London Barat-Utara itu dari mahasiswa Indonesia lain yang belakangan saya kenal namanya Boedi Soesetyo.
DARI KIRI: Solihin Hidayat. Boedi Soesetyo, Djoko Susilo, dan Auri Jaya di salah satu cafe di London. (Foto: Fuad Ariyanto/CoWasJP.com)
Akhirnya urusan pun beres. Tapi, ada pertanyaan yang bikin saya tolah-toleh sebelum cewek itu menstempel paspor saya. ’’Kamu mau meliput sepak bola kan, tentu tahu lagunya suporter bola,’’ katanya. ’’Ya, tentu saja,’’ jawab saya. ’’Coba nyanyikan,’’ katanya lagi.
Hah, saya tingak-tinguk, masih banyak antrean orang di belakang saya, juga di konter-konter lain. Merasa dikerjai, saya pun mbonek. Saya teriakkan Oleee…ole..oleee…di konter itu. Ya…ampuun. Tentu saja banyak orang menoleh ke arah saya. Petugas di dalam ruangan di belakang konter cewek itu juga keluar. Sementara perempuan itu tertawa lebar. Paspor pun distempel. Ada-ada saja. Suhu memasukkan pengalaman itu di rubrik serba-serbi dilengkapi ilustrasi Mas Budiono.
Di lobi bandara saya coba mengontak Mas Djoko lagi, tapi masih belum sambung. Akhirnya saya pesan ke fasilitas kotak suara yang ada di telepon rumah kontrakan. Saya sebutkan sudah tiba di London dan naik taksi menuju ke alamat. Saya tergesa tiba di alamat karena sudah lama menahan perut mules.
Driver taksi London yang antik itu langsung tahu alamat yang saya tunjukkan. Tiba di alamat, taksi saya minta menungggu. Saya belum yakin itu alamat yang benar. Saya langsung menekan tombol nomor 6. Itu nomor rumah di apartemen yang disewa Mas Djoko. Tak ada jawaban, pintu tidak terbuka.
Ada satu tombol tidak bernomor di depan pintu utama apartemen tersebut. Iseng saya pencet. Eh…pintu terbuka. Rumah nomor 6 saya ketok tidak ada jawaban. Saya tanya rumah di depannya, orang India, mengaku tak kenal dengan tetangga depannya. Saya pun turun tangga.
LAUTAN MANUSIA: Sekitar 5 kilometer menuju Wembley, jalanan tertutup untuk kendaraan umum. (Foto: Fuad Ariyanto/CoWasJP.com)
Di belakang pintu itu ada semacam tempat surat untuk penghuni rumah. Untung-untungan saya selipkan secarik kertas dari bloknot Jawa Pos di kotak nomor 6. Isinya, saya cari hotel untuk menginap malam ini.
Kemudian driver saya minta mencarikan hotel murah untuk menginap semalam. Saya lantas dibawa ke hotel kecil nan asri. ’’Oke, di sini saja,’’ pikir saya. Tapi, kemudian saya lihat banyak pria berjanggut, berjubah hitam, dan bertopi lebar hitam –ciri khas orang Yahudi-- berjalan di sekeliling hotel. Wah, gak tepak di sini. Cari hotel lain saja.
Pencarian hotel pun dilanjutkan di tengah perut yang terus muelles. Di depan sebuah rumah mungil, driver menghentikan taksinya. Dia lalu masuk rumah, tak lama kemudian keluar lagi. ’’Anda bisa tinggal di sini,’’ katanya. Itu homestay B&B, bed and breakfast. Saya pun langsung oke.
Setelah melepas segala beban, mandi, dan istirahat sejenak, saya ngopi di kafe kecil di bagian belakang rumah sambil menikmati Surya 12, bekal pemberian mbak Oemi, sekretris redaksi. ’’Dari Indonesia ya?’’ tanya pemilik penginapan itu. ’’Kok tahu,’’ saya balik bertanya. ’’Saya pernah ke Bali. Di sana selalu tercium bau clove seperti rokok Anda,’’ katanya.
Saya habiskan sepotong malam itu dengan ngobrol bersama pemilik penginapan tersebut. Tentang kondisi Indonesia, tentang sepak bola, tentang penginapannya, dan sebagainya. Tengah malam obrolan baru berhenti dan saya pun masuk kamar, tidur.
Jarum jam di kafe itu sudah menunjukkan pukul 06.00 ketika saya minta kopi dan sarapan. ’’Anda bangun paling pagi, dan orang pertama yang minum kopi di sini hari ini,’’ katanya sambil terseyum.
Pagi itu saya harus menghubungi Mas Djoko. Saya menggunakan telepon kafe itu dengan tarip per menit. Alhamdulillah nyambung. Tak berapa lama Mas Djoko datang menjemput. Ternyata homestay itu tak jauh dari rumah kontrakan.
Ketika saya menyelesaikan administrasi homestay, rasanya ada yang kurang dalam kuitansi tagihan. Penggunaan telepon tidak tertulis. Ketika saya ingatkan, pemilik penginapan itu dengan tersenyum mengatakan tidak usah dibayar, gratis. Tampaknya, kemurahan itu berkat diplomasi Surya 12. Suwun Mbak Oemi. *