COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: M. Nasaruddin Ismail
------------------------------------------
OPERASI militer di Aceh yang menewaskan sekitar 2.000 prajurit maupun sipil pada Mei 2003, mempunyai kenangan tersendiri buat saya. Sebab, saya ikut dalam rombongan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) yang terjun dari Hercules di wilayah konflik tersebut.
Suatu pagi pada pertengahan Mei 2003, delapan pesawat Hercules TNI Angkatan Udara, nampak beriring-iringan meninggalkan landasan Bandara Abdurrahman Saleh, Malang. Pesawat yang mengangkut ratusan prajurit Divisi-II Kostrad, Malang, itu menuju ke Polonia Medan. Aroma perang terlihat pada pasukan yang sudah berbulan-bulan berlatih untuk diterjunkan membasmi separatis Gerakan Aceh Merdeka.
Usai shalat subuh di landasan dengan beralaskan koran, saya pun naik ke pesawat. Dari rumah mengenakan kaos, tapi begitu bergabung dengan pasukan, satu stel seragam doreng tempur lengkap dengan sepatu boot dan ransel sudah disiapkan. "Biar menyatu dengan prajurit, Anda ganti pakaian doreng aja," perintah Komandan PPRC, Mayjen TNI Erwin Sudjono, yang saat itu memimpin pasukan PPRC TNI.
Seiring dengan terbitnya mentari di ufuk timur, satu demi satu pesawat jenis angkut yang mengangkut prajurit berikut mesin pembunuhnya itu take off dari landasan. Lagu-lagu bernuansa perjuangan mendorong semangat melawan musuh, mengiringi keberangkatan pasukan yang sudah bertekad "mati atau hidup" tersebut.
Setelah tiga hari berada di Pangkalan Udara TNI AU, Polonia, Medan, akhirnya perintah operasi militer pun diumumkan. Tepat pada 18 Mei tengah malam, Presiden Megawati mengumumkannya.
Penulis (tengah) saat mengikuti operasi militer di Aceh. (Foto: Nasaruddin Ismail/CoWasJP.com)
Pada 19 Mei 2003, suasana di Bandara Polonia bagaikan darurat perang. Sekitar pukul 03.00 pagi, suara sirine bahaya perang pun sudah meraung di Markas Komando TNI AU itu. Dalam hitungan menit, pasukan sudah siap berkumpul di lapangan. Lengkap dengan peralatan tempurnya.
Berbarengan dengan terbitnya matahari, iring-iringan pesawat pun mulai meninggalkan landasan. Pasukan lintas udara (Linud) yang bermarkas di Jabung, Malang, yang hampir seluruhnya berusia belia itu bersiap-siap dengan parasut tempur yang ada di punggung. Sedangkan ransel logistik berada di dada. Sebab, mereka akan diturunkan dari udara di sejumlah bandara seluruh wilayah Aceh.
Saya kebagian satu pesawat dengan komandan PPRC, Mayjen TNI Erwin Sudjono. Dia pulalah yang mengajak ke Aceh, karena pernah gabung dengan Pasukan PBB Garuda XII A, di Kamboja, yang dipimpinnya.
Meski tidak terjun, namun kami harus mengikuti prosedur airlanding. Begitu pesawat mendarat, pintu belakang dibuka, kami pun loncat dengan ransel dipunggung. Tanpa mematikan mesin, pesawat itu pun langsung take off lagi. Maka pada 19 Mei itu, operasi militer dengan kekuatan 30 ribu tentara dan 12 ribu polisi dinyatakan dimulai. Sekitar 2.000 korban, baik sipil maupun militer, mati terbunuh. *