COWASJP.COM – HARI Jadi Kota Surabaya ke 723 tanggal 31 Mei 2016 akan diperingati warga kotanya. Puncak acara hari jadi ini akan dipusakan di Taman Surya, depan Balai Kota. Berbagai acara hiburan akan disajikan malam gembira tersebut.
Untuk memberiahkan hari jadi Surabaya berbagai kegiatan telah dilakukan, termasuk berbagai lomba. Tahun lalu ada lomba kuliner Rujak Ulek yang diadakan di sepanjang jalan Kembang Jepun. Di tenpat bekas Kya-Kya ini dari ujung jalan sebelah barat sampai ke timur dipenuhi peserta lomba rujak ulek.
Nah, salah satu masakan tradisional khas Surabaya lain yang perlu dikenang adalah Semanggi Suroboyo dan Lontong Balap Wonokromo.
Kalau mendengar masakan khas tradisional Surabaya ini saya teringat waktu tahun 1950-an ada sebuah lagu:
Foto: Sudirman/CoWasJP.com
“Semanggi Suroboyo…. Lontong Balap Wonokromo….. “, sepenggal lirik lagu ini sering saya dengar dari radio RRI Surabaya. Mengapa masakan khas tradisional tersebut di embel-embeli nama Suroboyo dan Wonokromo ?
Seperti kita ketahui, dalam peta lama kota Surabaya dan Wonokromo masih terpisah. Kalau orang Surabaya mau ke Wonokromo harus naik angkutan kota yang murah yaitu bus Damri, kereta api atau trem listrik . Becak pun banyak, tapi ongkosnya dari Surabaya ke Wonkoromo lebih mahal. Di samping Kebun Binatang Surabaya (KBS) ada sebuah stasiun trem listrik dan kereta api uap.
Di sekitar stasiun kereta api Wonokromo, sebelah pasar banyak penjual lontong balap. Di samping warung lontong balap ada penjual minuman es kelapa muda (degan), es cau hitam, dan es dawet.
Penjual lontong balap sekarang bukan lagi hanya dijual di Wonokromo.
Tapi makanan yang lezat ini sejak lama sudah banyak kita jumpai di beberapa titik dalam kota. Seperti di Jl. Kombes Dulyat (dekat bekas bioskop RIA), Jl. Kranggan (depan bekas bioskop Garuda), Di Jalan Rajawali dan semping taman bermain Jl. Sulawesi.
Salah satu makanan tradisional khas lain di Surabaya adalah Pecel Semanggi. Tumbuhan semanggi biasanya disebut paku air (Salvianiles) dari marga Marsika. Daun semanggi ini banyak ditemui di pematang sawah dan tepi saluran irigasi. Di Surabaya tanaman daun semanggi banyak ditemui di kawasan Benowo, Bakal, dan Kendung. Bibit tanaman semanggi ditabur di petak-petak yang berair dan dalam waktu singkat sudah dipanen.
Foto: Sudirman/CoWasJP.com
Dulu pecel semanggi dijajakan masuk kampung keluar kampung. Penjualnya membawa rincing dari bambu dan digendong. Dalam rincing tersebut berisi daun semanggi, kecambah, kangkung, petis, bumbu pecel yang dicampur dengan ubi , dan kerupuk puli.
Sebagian penjual semanggi sekarang sudah mengikuti perkembangan. Ibu-ibu yang menjual semanggi sudah banyak yang membawa sepeda pancal dan gerobak dorong. Ciri khas penjual semanggi di tahun ‘50an menjual dagangannya memakai jarit.
”Kalau sekarang jualan kan praktis pakai celana panjang atau baju muslim,’’ kata Tya, penjual semanggi di kawasan Perum Bukit Palma, Citra Land.
Pembeli pecel semanggi ada yang datang dari luar perumahan Bukit Palma. Seperti Pak Roy, dari Kedurus, minggu pagi lalu bersama keluarganya ke Bukit Palma hanya membeli semanggi.’’Kalau lewat disini saya pasti mampir beli semanggi dulu,” katanya.
Foto: Sudirman/CoWasJP.com
Di sekitar Bukit Palma, Benowo penjual semanggi menggelar dagangannya dengan lesehan. Makanan pecel semanggi kini bisa ditemui dibeberapa tempat seperti di sebelah selatan Masjid Agung Surabaya. Harga sepincuk pecel semanggi hanya Rp 5.000.- .
Pecel semanggi sekarang sudah “naik kelas”. Selain dijual dibeberapa tempat dan restoran terkadang juga bisa ditemui di pesta perkawinan. **