COWASJP.COM – MALAM itu, Si Kempit dan Si Kempot baru saja menunaikan salat tarwih. Kedua santri taat ini, tak pernah absen sejak ramadhan tiba. Cuma mereka lebih suka memilih salat tarwih sebelas rakaat. Tidak mau lebih dari itu.
Mengapa? Sederhana saja alasannya. “Selain traweh, saya juga pingin dapet pencerahan dari pak ustad,” aku Si Kempit yang diamini Si Kempot. Apalagi materi ceramahnya tidak menggurui atau meden-medeni soal surga atau neraka. “Koyok ceramahe Gus Mus iku sing paling tak senengi,” timpal Si Kempot.
Kebetulan Kemis malam Jumat lalu, giliran Gus Mus yang naik mimbar. Dai asal Sidoarjo ini dikenal cukup gaul, Materi yang disampaikan juga simple. Tidak mengesankan adanya perintah dan perintah. Gus Mus lebih suka berkias, layaknya seorang ahli tasawuf.
Pesan Gus Mus,“Kalau pingin puasanya sukses jadilah ulat,” Mengapa? Ulat termasuk hewan yang paling menjijikkan. Ketika bentuk fisiknya mendekati manusia, Si Ulat pasti disingkirkan. Bahkan, tak jarang yang tega membunuhnya.
“Gak percaya,” tanya Gus Mus sembari menunjuk Si Kempit. “Apa sampean mau pas tiduran ditemani ulat bulu,” Si Kempit geleng kepala. Begitu juga saat Si Kempot ditanya, “Apa sampean juga rela, ketika buah-buahan yang sudah siap santap, ternyata di dalamnya ada ulat?”
Si Kempot dan Si Kempit kian penasaran! “Opo hubungane Pot, agama sama lalat?” pikir Si Kempit. Gus Mus lantas menjelaskan,”Hubungan agama dengan ulat memang tidak ada korelasinya. Ini hanya analogi.”
Orang yang berpuasa selama tiga puluh hari, kata Gus Mus, kalau cuma begitu-begitu saja amalannya, hasilnya tetap tidak istimewa. Seusai lebaran nanti tidak ada perubahan yang berarti dalam dirinya. Artinya, puasa sebulan penuh hanya dijadikan formalitas.
Misalnya, lanjut dia, usai makan sahur, kemudian salat subuh berjamaah, terus tidur lagi dan bangun langsung kerja. “Pulang kerja, mandi dan siap-siap di meja untuk berbuka puasa he he,” ujar Gus Mus.
Amalan harian seperti ini, menurut Gus Mus, tidak beda jauh dengan hari-hari pada bulan sebelum ramadhan. Sama saja! Cuma bedanya, mereka tidak makan dan tidak minum. “Nah, orang seperti ini perlu belajar dari kepribadian ulat,” ujarnya seraya melirik Si Kempit yang masih serius memandangnya.
Kepribadian ulat? Iya. “Ulat termasuk hewan yang paling istimewa diantara binatang lainnya. Dia bisa metamorphosis menjadi kepompong ketika dirinya tidak disukai manusia,” jelas Gus Mus serius. “Dia itu sebenarnya berdoa kepada Allah agar manusia berfikir terhadap dirinya, yang sering jadi sasaran dari ketidaksukaan dan kejijikan.”
Doa Si Ulat kemudian dikabulkan Allah. Selama sebulan penuh,”Dia menjadi entung (kepompong). Kalau ditanya Entung endi lor endi kidul (mana utara dan selatan), dia pasti menoleh ke utara dan selatan,” jelas dai cerdas ini sembari menambahkan,”Kenapa kok tidak ditanya Entung endi etan (mana timur) endi kulon (mana barat)?”
Mengapa? Karena Si Kepompong itu sedang berzikir menyebut asma Allah. “Laila hail Allah (tiada tuhan selain Allah) sembari menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan, kepompong selalu menghadap kiblat. Tafakur,” ujar Gus Mus.
Oleh karena itu, begitu keluar dari kepompong, Si Ulat berubah menjadi kupu-kupu. Bentuk dan warnanya indah. Disukai semua orang, terutama para wanita. “Mangkane nek kepingin posone berhasil, dadio uler. Selama sebulan penuh harus mendekatkan diri kepada Allah, biar hasile nyenengno banyak orang,” ujar ustad.
Si Kempit dan Kempot hanya bisa manggut-manggut. Tawa merekapu meledak ketika Gus Mus menolehnya dan menyindir,”Ojok koyok awakmu. Mari poso tambah nyebelno. Gak onok perubahan blass kikik.” (*)