COWASJP.COM – SEPULANG dari Jakarta, Rabu lalu (22 Juni 2016) badan saya masih terasa lelah. Saya harus balas dendam, tidur sepuasnya, karena selama tiga hari dihajar oleh capeknya perjalanan pulang pergi Surabaya – Jakarta PP yang memakan waktu 40 jam lebih.
Belum lagi selama di Jakarta, saya kurang istirahat karena padatnya acara. Sehingga semua perangkat komunikasi (hand phone) sengaja saya istirahatkan juga he he he…
Saya baru bangun menjelang adzan duhur. Rasanya pingin sekali membuka handphone yang seharian tak tersentuh sama sekali. Pertama yang saya lihat adalah tanda hijau di List WhatsApp (WA). Karena media sosial inilah yang sering memberikan informasi terkini soal apa saja. Baik yang ada di grup maupun personality.
Dan, pasti ada skala prioritas yang harus say abaca duluan. Terutama yang japir-japri. Nah, saat ada tanda hijau bulat di sebelah kanan nama Haji Kholili Indro sebagai tanda chating (1), saya langsung terkejut.
Terkejut? Karena tidak biasanya, rekan seprofesi yang sama-sama pernah menggawangi halaman Olahraga Jawa Pos ini, njapri saya. Saya sama Kholili lebih suka saling memantau via status di facebook, yang selalu update itu.
Abdul Muis (paling kiri) dan Kholili Indro (tengah berpeci) foto bersama legendaris Persebaya saat menghadiri resepsi pernikahan putri Joko Malis Mustofa. (Foto: Cak Amu/CoWasJP)
Apalagi Kholili, yang akrab disapa Pak Ko ini, selalu sibuk dengan dua aktivitasnya. Selain sebagai redaktur olahraga, dia juga sibuk merawat kesehatannya yang terganggu bertahun-tahun oleh Kanker Getah Bening.
Kholili juga harus keluar masuk rumah sakit untuk kemoterapi. Apalagi dia juga sengaja tidak ingin masuk Grup CoWas JP (Konco Lawas Jawa Pos) karena masih berstatus aktif di perusahaan, karena diperpajang statusnya setelah dinyatakan pensiun.
Tentu saja, saya terkejut dengan tanda centang hijau itu. “Jangan.. jangaaan…,” pikir saya saat membuka pesan japri Kholili. Eeeh.. ternyata ada sapa tertulis: Assalamualaikum cak Amu. Maaf mau tanya, bgmn kondisi Pak Aboe Ramli saat ini?
Pesan yang masuk pukul 11.26 itu baru saya balas sepuluh menit kemudian. “Walaikumsalam wr wb hajj. Wah aku dah lama gak hub. Beliau tinggal di mana sekarang,” jawab saya dalam WA itu.
Saya sendiri heran, kok Kholili tiba-tiba tanya Pak Aboe, yang saya sendiri sudah lama tidak berhubungan. Apalagi sejak tahun 2007, saya lama tinggal di Bandung dan kota-kota di Jawa Barat hingga pensiun 2011. Sehingga kontak person saya dengan Pak Aboe nyaris putus.
Satu jam kemudian, jawaban saya baru dibalas oleh WA Kholili. “Maaf cak Amu, ini sy Diyah istrinya pak KO. Td itu sy dimintai tlg nanyakan Pak Aboe Ramli, Saat ini pak KO lg di Graha Amerta krn senin kmrn sempat nggak sadar. Skrg pun ingatannya jg msh blm pulih betul. Td bangun tidur tiba2 sy disuruh nanya mslh tsb ke njenengan. Mungkin sblmnya pak KO mimpi Pak Aboe. Ngapunten nggih mas,” tulis istri Kholili, Diyah Kusuma.
Mendapat balasan ini, saya kian gelisah. Seusai membalas japri itu, saya menghubungi rekan seprofesi Djoko Tetuko, yang semasa jadi wartawan olahraga sering ngepos di Kantor Pengda PSSI Jatim Gelora 10 Nopember Tambaksari .
Djoko memberi info dua nomer telepon, tapi keduanya tidak aktif. Selang beberapa jam saya nanya Djoko via WA, apakah Pak Aboe sudah meninggal? ”Lho sehat! Cuma agak kurang dengar sama sering meludah. Pak Aboe InshaAllah sehat,” tulisnya.
Informasi yang akurat ini langsung saya “bungkus” dan segera saya kabarkan kepada Kholili. Sembari membawa bekal buka puasa, Rabu petang itu, saya meluncur ke Graha Amerta Lantai 3 Kamar 326 RS dr Soetomo Surabaya. Saya berpikir jangan-jangan Kholili masih penasaran dengan pertanyaannya yang disampaikan istrinya.
Sesampai di Kamar 326, yang berisi dua pasien itu, saya melihat Kholili terkulai lemas dengan tangan berbalut selang infuse. Istrinya tengah di kamar mandi dan hanya ditemani seorang putri anak keduanya.
Penulis saat menjenguk sahabatnya Kholili Indro di rumah sakit. (Foto: Cak Amu/CoWasJP).
“Assalamualaikum hajj,” sapa saya. Kholili hanya diam dan sorot matanya masih kosong. Tak lama kemudian istrinya muncul dari pintu bilik mandi. “Ooo walaikumsalam Cak Amu too. Waduh jenengan akhirnya ke sini. Maaf lho, kita ngrepotin cak,” ujar wanita berhijab ini.
Diyah Kusuma lantas mohon ijin salat asar. Saya lantas menyeret kursi lipat duduk di sebelah kiri ranjang Kholili. Saya juga hanya bisa berdoa dan memijit mijit kakinya. Sementara tangannya yang berbalut selang infuse beberapa kali bergerak ke arah hidung dengan gemetaran.
Seusai salat, istrinya membisiki Kholili. “Paak ini Cak Amu.” Kholili baru tersenyum dan langsung berbicara sembari menggerakkan tangann kanannya yang gemetaran. Saya sendiri belum paham apa yang diucapkan dan dimaksud Kholili.
Diyah kemudian bercerita banyak tentang kondisi suaminya. Dalam dua bulan terakhir ini, Pak KO sudah empat kali keluar masuh rumah sakit. Terakhir kemo hari Kamis lalu. Tapi, hari seninnya tidak sadarkan diri. “Pandangannya kosong.Sehingga harus saya bawa lagi ke sini. Dan, baru hari ini agak mendingan,” ceritanya.
Menurut Diyah, selama dalam tidurnya, Kholili sempat bermimpi bertemu Pak Aboe Ramli. Dia sendiri tidak tahu orang yang disebut suaminya. “Akhirnya saya kontak jenengan itu,” akunya. Dan, saat menjelaskan mimpinya, lanjut Diyah, suaminya bercerita dalam kalimat yang tidak lancar.
“Ngomongnya putus-putus tidak cetho, tapi tidak pelat,” katanya.
Diyah pun kemudian mengijinkan saya untuk nanya langsung perihal mimpi Kholili dengan Pak Aboe Ramli. Setelah saya pancing dengan beberapa pertanyaan, Kholili hanya memandang dan mencari suara saya. Dengan bahasa isyarat sembari diterjemahkan istrinya, Kholili mengaku telinganya sudah tidak mendengar lagi. Juga pandangan matanya mulai kabur.
Itu dialami setelah kemo yang kesekian kalinya, Kamis lalu. “Maaf ya Cak Amu kalau Pak Ko tidak nyambung diajak bicara,” pinta Diyah. Tapi, saya tetap berusaha mengajak Kholili dialog.
Selang beberapa menit, Kholili baru tahu atas kehadiran saya. Matanya berkaca kaca sembari mengulurkan tangan kanannya yang terus gemetaran. Diapun kemudian bercerita tentang mimpinya dengan kalimat terputus-putus.
“Saya barusan mimpi sama cak Amu ngeliput pertandingan. Di situ ada Pak Aboe Ramli. Cak Amu bilang, O.. Ko iki eksklusif,” cerita Kholili kemudian tertawa sembari mengulangi kalimat,” kata cak Amu iki ekslusif O.. he he..
Mendengar cerita Kholili itu, istri dan putrinya lantas tersenyum. “Oo bapak sudah pulih. Alhamdulillah! Ayoo .. Terus pak, terus pak certain sama Cak Amu mimpinya,” pinta Diyah. Kholili mengaku setelah bertemu Pak Aboe , ternyata ada kabar pria yang jago menyusun kompetisi sepak bola se-Jawa Timur itu, meninggal dunia. “Makanya, saya minta istri saya nanyakan ke cak Amu hehe..,” imbuh Kholili masih dengan kalimat terbata-bata.
Diyah mulai heran. Istri Kholili ini terus tersenyum dan meminta saya agar ngajak ngobrol sesukanya. Karena dokter ahli yang menangani Kholili, meminta lawan bicaranya harus aktif. “Pak KO nggak boleh didiemin. Silahkan caak.. Gak papa, ajak dia bicara terus aja,” pinta istrinya.
Sayapun melihat perubahan Kholili begitu cepat. Obrolan kami sampai tak menghiraukan suara adzan magrib sebagai tanda pembatal puasa tiba.
Petang itu, daya ingat Kholili benar-benar berangsur-angsur membaik. Saya pun mencoba cerita masa silam, ketika sama-sama meliput Piala Dunia Korea-Jepang 2002. Juga status-statusnya di Facebook yang selalu dihiasi dengan foto-foto legenda sepak bola nasional. Juga foto-foto bidikannya, tentang bunga, binatang dan tumbuhan yang amat fotogenik itu.
Kholili Indro (kiri) dan Abdul Muis saat meliput Piala Dunia Korea-Jepang 2002. (Dok CoWasJP
Saat saya minta potret untuk mengunggah fotonya di Grup WA Cowas, Kholili merelakan dan bahkan tersenyum. “Salam untuk konco lawas he he he.” Dia mengaku sebenarnya kepingin ikut reonian dimanapun Cowas bikin acara. Tapi karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan, dia mengaku hanya bisa turut berbahagia.
Kata Kholili, acara silaturahmi yang dikemas CoWas sangat bermanfaat untuk para pensiunan Jawa Pos. Terutama untuk mereka yang hendak bisnis. “Acara di rumah Darul itu baik. Saya sendiri juga pingin bisnis kalau sudah benar benar pensiun nanti,” akunya sembari melirik istrinya yang senyumnya terus mengembang.
Tak lama setelah berbuka puasa, saya kemudian pamit untuk salat magrib. Saya sebenarnya tak tega meninggalkan Kholili yang masih bersemangat untuk bercerita. Namun waktu jua yang tidak bisa membuat kami berlama-lama. Apalagi jam besuk sudah habis waktunya.
Dari kiri, Kholili Indro (KO) (kiri), Arif Afandi (RIF), Agung Pamujo (PAM), dan Bahar Maksum (BM) saat menunaikan ibadah haji. Berangkat dari kloter berbeda-beda, bisa ketemu di Makkah. (Foto: Dok/CoWasJP)
Saya hanya bisa berpesan agar Kholili tetap semangat. Semangat seperti saat mengunyah sebiji buah kurma, yang saya suapkan sebelum meninggalkan Kamar 326 Graha Amerta itu. (*)