COWASJP.COM – BEBERAPA waktu lalu, ya, di bulan Juni, tingkat kunjungan ke komplek makam Bung Karno, Blitar, naik drastis. Satu bulan di antara 12 bulan yang diistimewakan bangsa kita, dengan dinobatkan sebagai “Bulan Bung Karno”. Tiga pasal karenanya; pertama, 1 Juni adalah tanggal pidato Bung Karno tentang Pancasila, 6 Juni adalah tanggal kelahiran Putra Sang Fajar di Surabaya, dan 21 Juni adalah tanggal wafatnya Sang Proklamator.
Juni ke Juni tahun berikutnya, selalu dan selalu ramai pengunjung. Juni ke Juni, dari tahun ke tahun, ada saja acara spesial di lokasi komplek makam Bung Karno. Pernah (relatif rutin) digelar pertunjukan wayang kulit, pernah juga berlangsung acara kenegaraan, sampai “parade tumpeng” yang digelar Juni tahun ini.
Aneka kegaitan yang dilangsungkan, sejatinya hanya bermuara tunggal: Apresiasi terhadap Bung Karno. Penghargaan yang tinggi kepada “manusia pertama Indonesia” itu.
“Manusia pertama”? Ah, ini hanya menyitir sebutan yang dilemparkan Sukarnois muda bernama Reno Muhammad. Dalam event yang digelar 30 September mendatang bertajuk Tribute to Sukarno, Ren –panggilan akrabnya—mencomot “Manusia Indonesia Pertama” sebagai tema besar.
Tanpa bermaksud memancing debat panjang, Ren hanya berdalih, “Sebelum ada Indonesia, negara ini bernama Hindia Belanda. Dan setelah 17 Agustus 1945, barulah lahir Republik Indonesia. Anda tahu? KTP Bung Karno bernomor 001, dan Bung Hatta 002...,” ujar Ren seraya menambahkan, “dus, dia adalah manusia Indonesia pertama.”
Makam sang Proklamatordi Blitar Sukarno Presiden Pertama untuk Indonesia. (Foto: CoWasJP)
Kembali ke soal komplek Makam Bung Karno di Blitar. Lokasi yang saat ini menjadi salah satu objek wisata sejarah unggulan itu, mengalami banyak perubahan sejak tahun 1970, saat tanah Blitar ditunjuk Soeharto sebagai bumi pemeluk jazad Bung Karno.
Makam Bung Karno awalnya biasa saja tanpa bangunan pendopo menaunginya. Kemudian berangsur-angsur dilakukan pemugaran, baik semasa era Soeharto, maupun di tahun 2004, di akhir masa jabatan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI ke-5.
Bentuk joglo Jawa-Timur-an itu pun mengalami beberapa kali perubahan, meski bukan perubahan besar. Joglo pertama, misalnya, masih dikelilingi “dinding” kaca. Para peziarah tidak bisa mendekat ke nisan Proklamator, melainkan hanya duduk lesehan di emperan joglo. Kemudian, kaca itu dihilangkan. Pada saat itu, pengunjung bisa lebih mendekat, meski tidak persis di sisi nisan. Kini, peziarah bisa lebih leluasa menabur bunga, duduk berdoa di tepian nisan, bahkan... berselfie-ria di sekitar nisan dan batu besar di belakang.
Perjalanan waktu pula yang membuat perubahan dan pergeseran adat ziarah di makam Sang Proklamator. Tanpa sadar, keganjilan demi keganjilan makin merusak kekhidmatan ziarah.
Penulis (kanan) saat berziarah ke Makam Proklamator Presiden Pertama Indonesia di Blitar. (Foto: CoWasJP).
Kedua, pemandangan tak sedap di “bawah” makam. “Bawah”, maksudnya posisi di selatan nisan (bagian kaki), untuk membedakan bahwa utara (bagian kepala) jenazah, disebut “atas”. Nah, di bagian bawah nisan terdapat benda berbentuk nampan terbuat dari batu. Di atasnya, tampak lembaran uang kertas dan beberapa uang koin.
Ketiga, petugas jaga makam yang merangkap fotografer. Ia akan proaktif mendekati peziarah menawarkan jasa berfoto-foto di area makam.
Keganjilan pertama, soal kotak sumbangan sukarela yang ada di counter pengisian buku tamu. Tidak jelas, uang sumbangan pengunjung digunakan untuk apa? Apakah mungkin digunakan untuk perawatan area makam? Rasanya tidak. Sebab, pemerintah daerah tentunya sudah menganggarkannya.
Jika dibutuhkan dana tambahan, atau jika dirasa anggaran pemerintah kurang, mengapa tidak sekalian mengenakan tiket masuk, setidaknya bukan tiket masuk ke komplek makam, tetapi tiket masuk ke beberapa venues lain. Misal, tiket masuk ke perpustakaan. Tiket masuk ke ruang pameran foto. Tiket masuk ke ruang pemutaran film.
Penulis (kiri) bersama Abdul Muis (salah seorang penulis buku Sepak Bola Gajah Paling Spektakuler. (Foto: CoWasJP).
Lalu batu nampan berisi beberapa lembar uang kertas dan beberapa uang koin di bawah nisan Bung Karno... itu uang apa? Siapa pula yang menaruh uang di sana? Peziarah? Atau oleh petugas makam, untuk memancing peziarah (demi melihat ada uang di tempat itu) lalu mengikutinya dengan –juga—menaruh uang di sana? Entahlah. Tapi benar-benar ganjil. Tempat uang receh di bawah nisan Bung Karno!
Kemudian soal juru foto. Entah pegawai organik pemerintah atau petugas honorer komplek makam Bung Karno. Apa pun status dia... yang diperbuatnya sungguh bisa mengganggu kekhidmatan suasana orang berziarah. Satu jam saja mengamati suasana di sekitar pendopo, Anda akan melihat banyak pemandangan kontras. Deretan peziarah berdoa dengan khusuk, dan satu-dua atau sekelompok orang bergaya di depan kamera.
Sungguh, Pemkot Blitar atau otoritas pengelola Komplek Makam Proklamator Bung Karno harus berbenah. Mereka harus membua “adab”, tata-laku berziarah di makam Bung Karno. Bukan saja demi khidmatnya orang berziarah, tetapi juga demi menghargai jazad Bung Besar yang ada.
Tanggalkan saja slogan Blitar “Kota Proklamator”, jika mengelola komplek pemakamannya saja tidak baik. ***