COWASJP.COM – ockquote>
Ini kisah nyata. Saya alami ketika saya wartawan koran Jawa Pos (JP). Saya dedikasikan tulisan ini buat Anda yang bekerja di hari Lebaran. Sebagai pembanding. Supaya Anda tetap semangat melaksanakan tugas.
------------------------------------------
SUATU sore, pekan ke-3 Ramadhan 1995. Kantor koran JP Biro Jakarta, Jl Prapanca Raya 40, Blok M, banyak orang tapi hening. Belasan Wartawan dan Redaktur konsentrasi mengolah berita. Itu menjelang deadline.
Wartawan foto Umar Fauzi, datang menghadap meja Redaktur Pelaksana Nani Wijaya. Saya, wartawan tulis, berada tak jauh dari situ.
Umar bicara sangat pelan, saya tak mendengarnya. Saya hanya mendengar jawaban Nani yang keras:
“Apa? Mau mudik? Kamu kayak babu saja, Mar…”
Ooow… Umar minta izin cuti mudik, Lebaran nanti. Tapi ditolak. Katanya, kayak babu yang tiap tahun selalu mudik.
Seketika Umar melengos dengan wajah cemberut. Dia tinggalkan Nani yang masih belum selesai bicara. Umar berlaku tidak sopan terhadap atasan. Kelihatan sekali dia kecewa.
Akhirnya, Umar tetap bertugas di hari Lebaran. Hunting foto untuk koran JP. Maklum, saat itu dia-lah satu-satunya fotografer JP Jakarta. Sebagian wartawan, termasuk saya, sudah dapat izin mudik, sehari sebelumnya.
Kenangan itu mendadak muncul di benak saya, jelang Lebaran kemarin. Sebab, beberapa kawan ngedumel, karena bertugas di hari Lebaran.
Kenangan itu teraduk dengan peristiwa serupa yang dialami @Zarmansyah, menjelang Lebaran 1994. Saat itu dia Wartawan JP dengan jabatan Kabiro (Kepala Biro) JP Jakarta.
Aturannya, Kabiro dilarang mudik.
Namun, Zarman tak kurang akal. Sebulan setelah Lebaran berlalu dia minta izin, ke Nani juga. Kebetulan saat itu saya berada di dekat Nani. Sehingga saya mendengar jelas pembicaraan mereka.
Zarman: “Nenek isteri saya sakit keras di desa, Mbak. Saya mau pulang kampung. Anggaplah, saya mudik Lebaran.”
Saya pikir: Zarman ini ‘licin’. Bisa berkelit bagai belut. Dia sudah terlarang mudik, sekarang pakai cara begitu.
Nani memandang Zarman dengan tajam. Lalu balik bertanya:
“Nenek daripada (menirukan gaya bicara Pak Harto) isterimu? Bukan nenekmu, kan? Bagaimana kalau nenek daripada saudara isterimu yang sakit?”
Kalimat sangat jelas. Pedas. Nani menolak mengizinkan. Zarman jelas kecewa. Dia pun mendebat.
Sedangkan saya yang berada di dekat mereka, segera menyingkir. Tidak etis menguping para atasan saya bersilat lidah. Biar mereka bertempur.
Hasilnya: Zarman tetap bertugas di hari Lebaran. Suka atau tidak suka.
Ilustrasi cak gedhebuk/CoWasJP.com
***
Dari Prasejarah sampai Facebook
Di satu sisi, saya memperkirakan: Itu kasih sayang Nani kepada wartawan JP. Maksudnya: Wartawan janganlah kolokan. Ini profesi keren (saat itu, ya…) Sayang jika potensi wartawan yang begitu besar, minta libur Lebaran.
Apalagi mudik, butuh paling sedikit 4 hari. Sayangi-lah karir. Kapan jadi wartawan besar kalau suka libur? Juga sayangi-lah perusahaan JP. Kapan meraksasa jika sering ditinggal wartawan?
Di sisi lain, saya terpengaruh beberapa literatur. Berdasarkan Ensiklopedia Sejarah Indonesia, kebiasaan mudik sudah ada sejak zaman pra-sejarah. Disebutkan, manusia Indonesia keturunan Melanesia yang sebagian berasal dari Yunan, China.
Nenek moyang bangsa Indonesia adalah pengembara. Mereka datang dari belahan bumi mana pun menuju kesini. Mereka mencari nafkah berburu hewan. Menyebar ke berbagai tempat di Nusantara.
Manusia prasejarah punya momentum tertentu untuk kembali ke daerah asal. Kegiatan ritual penyembahan arwah nenek moyang, jadi dasar mereka pulang ke tanah asal. Pada bulan-bulan tertentu yang dianggap baik, mereka berbondong-bondong mudik. Kemana? Ya ke wilayah asal mereka, naik perahu.
Agama? Saat itu belum berkembang disini. Animisme dan dinamisme, latar belakang mereka mudik.
Pada zaman Kerajaan Majapahit (1293 – 1500 Masehi), kegiatan mudik kian jelas. Setahun sekali, para punggawa Majapahit yang ditempatkan di berbagai wilayah, berbondong mudik. Itu terjadi setelah panen raya.
Jangan salah, para punggawa Majapahit berada di Tumasek, Filipina, Malaysia, Thailand, Brunei, Madagaskar. Di zaman keemasan, semua wilayah itu di bawah kekuasaan Majapahit.
Para punggawa beramai-ramai mudik ke Jawa. Sebab, mereka berasal dari Jawa.
Islam masuk Indonesia, mudik berubah bentuk. Jika manusia prasejarah mudik menyembah arwah leluhur, zaman Majapahit di panen raya, kini Idul Fitri. Dan, kebiasaan itu berlanjut sampai sekarang.
Tradisi mudik merupakan wahana klangenan. Jembatan nostalgia dengan masa lalu. Pemudik yang rata-rata berasal dari desa, rindu bercengkerama dengan romantisme alam desa. Dalam konsep anthropologi dikenal sebagai close coorporate community.
Menurut Sosiolog Pierre Bouerdieu (1930 – 2002) dari Prancis, itu membawa manusia ke refleksi jati dirinya. Menyangkut pengetahuan, selera, dan makna lokasi desa yang didatangi dan kerabat yang dijenguk (Scott Lash, Sosiologi Posmodern; 2004).
Anthropolog Abraham Maslow (1908 – 1970): Mudik kebutuhan mendasar manusia. Sebab, dengan begitu manusia bisa meninggalkan sementara segala kepenatan yang ada di kehidupan masyarakat perkotaan.
Sosiolog Emile Durkheim (1859-1917) menyebutnya sebagai solidaritas organik. Mudik melanggengkan solidaritas. Sebab, sebelum Lebaran orang sibuk dengan urusan masing-masing yang bisa saling melupakan silaturahmi sesama.
Tapi, bukankah kini sudah modern? Sudah ada internet mencakup: email, facebook, twitter, instagram, whatsapp. Semuanya sudah dalam genggaman tangan.
Apakah mudik kini masih relevan? Bukankah sudah tergantikan internet?
Sosiolog Universitas Gajahmada Yogyakarta, Arie Sudjito, menjawab begini: Ada beberapa kelemahan teknologi. Dia menyebut 4 hal yang membuat mudik tak tergantikan teknologi.
(1). Mencari berkah bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, tetangga, sahabat.
(2). Terapi psikologis. Refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari.
(3). Mengingat asal usul. Refleksi akar budaya.
(4). Unjuk diri, bahwa mereka telah sukses di kota besar.
***
AH… Terjadi-lah…. Kecelakaan itu
Kenangan saya kemudian hinggap di jelang Lebaran 2008. Saat itu saya Redaktur Pelaksana koran Indo Pos Jakarta. Saya main ke kantor JP Jakarta. Lokasi kantor sama-sama di lantai 10 Graha Pena, Keb Lama Jkt. Koran Indo Pos adalah anak perusahaan koran JP.
Ilustrasi cak gedhebuk/CoWasJP.com
Saya ngobrol dengan wartawan JP Agus Sudjoko (berinisial ADO) sambil nonton berita televisi. Puluhan wartawan lainnya sibuk mengetik berita di ruangan besar tanpa penyekat.
ADO: “Dwo (inisial saya) Lebaran nanti kamu mudik, gak? Aku meskipun gak mudik minta izin cuti, ah…”
ADO lantas merinci beberapa cerita tentang sulitnya wartawan JP minta izin libur mudik.
Saya menyimak saja. Sebab, kami sama-sama tahu hal ini.
Mendadak, Bos JP Dahlan Iskan muncul. Padahal, jarang-jarang dia ke Jakarta.
Dahlan keluar dari lift, menenteng jaket. Dia berjalan cepat ke arah kami. Kebetulan, kami duduk ngobrol hanya berjarak sekitar 10 meter dari pintu lift.
Pak Dahlan berhenti persis di belakang ADO. Sementara, ADO serius bicara ke saya: “Sejak dulu, kita ini selalu dipersulit kalau minta izin cuti…..”
Saya bingung. Panik. Saya garuk-garuk kepala, ADO… ADO…
Saya mencari cara cepat menghentikan ADO bicara. Maka, saya tendang-tendang kaki dia. Kode agar dia cepat diam.
Tapi, ADO malah menjawab cepat: “Lho, ini kenyataan, kan? Kita ini benar-benar diperas, lho.”
Wadhooow, Biyung…. Tambah nemen Arek iki, Rek….
Akhirnya saya berdiri, memotong: “Pak Dahlan…” saya mengulurkan tangan, berusaha menyalami.
Suasana langsung kacau. Chaos abis…
Sontak, ADO berdiri menoleh ke belakang. Ya… ampuuun…. Persis, tepat, berhadapan hidung dengan Pak Dahlan.
Mereka saling berpandangan. Uluran tangan saya ke pak Dahlan belum diterima. Ya… saya tarik lagi.
Sedetik kemudian Pak Dahlan bergerak menjauh. Saya perhatikan, raut wajahnya kecewa.
Beberapa langkah, Pak Dahlan berhenti. Membalikkan badan ke arah saya dan ADO.
Kini dia berucap: “Silakan, siapa yang mau libur terus?”
Suasana sepi. Sunyi. Pahit. Saya dan ADO diam.
Pak Dahlan beralih ke puluhan wartawan yang sibuk mengetik berita. “Ayo…. Siapa yang mau libur terus? Silakan,” ucap Pak Dahlan keras.
Para wartawan bengong. Mereka melihat, karena ruangan tanpa penyekat. Tapi mereka tidak tahu kronologisnya. Mereka melihat Pak Dahlan, lihat saya dan ADO. Beberapa detik kemudian, Pak Dahlan masuk lift. Pergi.
Saya langsung kembali ke meja saya. Teman-teman bertanya-tanya. Saya dan ADO saling lempar, ogah menjawab. Akhirnya saya keluar merokok, menghindari pertanyaan. ADO pun kabur…
Waktu itu saya pikir: Betul Pak Dahlan. Wartawan termasuk profesi yang tidak bisa libur sembarangan. Seperti dokter, polisi, perawat, bidan, penjaga pintu tol, penjaga palang KA.
Dan….. kepada Anda yang Lebaran sekarang tetap bertugas, terimalah hormat dari saya. Tetaplah semangat melaksanakan tugas. Indonesia membutuhkanmu.
Selamat Lebaran. Mohon maaf lahir batin, kawan2-ku….(*